Sabtu, 10 Juli 2010

mengenal media pembelajaran

MENGENAL MEDIA PEMBELAJARAN

Oleh: Ardiani Mustikasari, S. Si, M. Pd

A. LATAR BELAKANG

Media pembelajaran merupakan salah satu komponen pembelajaran yang mempunyai peranan penting dalam Kegiatan Belajar Mengajar. Pemanfaatan media seharusnya merupakan bagian yang harus mendapat perhatian guru / fasilitator dalam setiap kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu guru / fasilitator perlu mempelajari bagaimana menetapkan media pembelajaran agar dapat mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran dalam proses belajar mengajar.

Pada kenyataannya media pembelajaran masih sering terabaikan dengan berbagai alasan, antara lain: terbatasnya waktu untuk membuat persiapan mengajar, sulit mencari media yang tepat, tidak tersedianya biaya, dan lain-lain. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika setiap guru / fasilitator telah mempunyai pengetahuan dan ketrampilan mengenai media pembelajaran.

B. PERMASALAHAN

1. Apakah media pembelajaran?

2. Bagaimana manfaat media pembelajaran?



C. PEMBAHASAN

1. Arti media pembelajaran

Istilah media berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari medium. Secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Pengertian umumnya adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada penerima informasi.

Media menurut AECT adalah segala sesuatu yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan. Sedangkan gagne mengartikan media sebagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang mereka untuk belajar. Briggs mengartikan media sebagai alat untuk memberikan perangsang bagi siswa agar terjadi proses belajar

Istilah pembelajaran lebih menggambarkan usaha guru untuk membuat belajar para siswanya. Kegiatan pembelajaran tidak akan berarti jika tidak menghasilkan kegiatan belajar pada para siswanya. Kegiatan belajar hanya akan berhasil jika si belajar secara aktif mengalami sendiri proses belajar. Seorang guru tidak dapat mewakili belajar siswanya. Seorang siswa belum dapat dikatakan telah belajar hanya karena ia sedang berada dalam satu ruangan dengan guru yang sedang mengajar.

Pekerjaan mengajar tidak selalu harus diartikan sebagai kegiatan menyajikan materi pelajaran. Meskipun penyajian materi pelajaran memang merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran, tetapi bukanlah satu-satunya. Masih banyak cara lain yang dapat dilakukan guru untuk membuat siswa belajar. Peran yang seharusnya dilakukan guru adalah mengusahakan agar setiap siswa dapat berinteraksi secara aktif dengan berbagai sumber balajar yang ada.

Media pembelajaran adalah media yang digunakan dalam pembelajaran, yaitu meliputi alat bantu guru dalam mengajar serta sarana pembawa pesan dari sumber belajar ke penerima pesan belajar (siswa). Sebagai penyaji dan penyalur pesan, media belajar dalam hal-hal tertentu bisa mewakili guru menyajiakan informasi belajar kepada siswa. Jika program media itu didesain dan dikembangkan secara baik, maka fungsi itu akan dapat diperankan oleh media meskipun tanpa keberadaan guru.

Peranan media yang semakin meningkat sering menimbulkan kekhawatiran pada guru. Namun sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi, masih banyak tugas guru yang lain seperti: memberikan perhatian dan bimbingan secara individual kepada siswa yang selama ini kurang mendapat perhatian. Kondisi ini akan teus terjadi selama guru menganggap dirinya merupakan sumber belajar satu-satunya bagi siswa. Jika guru memanfaatkan berbagai media pembelajaran secara baik, guru dapat berbagi peran dengan media. Peran guru akan lebih mengarah sebagai manajer pembelajaran dan bertanggung jawab menciptakan kondisi sedemikian rupa agar siswa dapat belajar. Untuk itu guru lebih berfubgsi sebagai penasehat, pembimbing, motivator dan fasilitator dalam Kegiatan Belajar mengajar.

2. Manfaat media pembelajaran

Secara umum manfaat media pembelajaran adalah memperlancar interaksi antara guru dengan siswa sehingga kegiatan pembelajaran lebih afektif dan efisien. Sedangkan secara lebih khusus manfaat media pembelajaran adalah:

1. Penyampaian materi pembelajaran dapat diseragamkan

Dengan bantuan media pembelajaran, penafsiran yang berbeda antar guru dapat dihindari dan dapat mengurangi terjadinya kesenjangan informasi diantara siswa dimanapun berada.

2. Proses pembelajaran menjadi lebih jelas dan menarik

Media dapat menampilkan informasi melalui suara, gambar, gerakan dan warna, baik secara alami maupun manipulasi, sehingga membantu guru untuk menciptakan suasana belajar menjadi lebih hidup, tidak monoton dan tidak membosankan.

3. Proses pembelajaran menjadi lebih interaktif

Dengan media akan terjadinya komukasi dua arah secara aktif, sedangkan tanpa media guru cenderung bicara satu arah.

4. Efisiensi dalam waktu dan tenaga

Dengan media tujuan belajar akan lebih mudah tercapai secara maksimal dengan waktu dan tenaga seminimal mungkin. Guru tidak harus menjelaskan materi ajaran secara berulang-ulang, sebab dengan sekali sajian menggunakan media, siswa akan lebih mudah memahami pelajaran.

5. Meningkatkan kualitas hasil belajar siswa

Media pembelajaran dapat membantu siswa menyerap materi belajar lebih mandalam dan utuh. Bila dengan mendengar informasi verbal dari guru saja, siswa kurang memahami pelajaran, tetapi jika diperkaya dengan kegiatan melihat, menyentuh, merasakan dan mengalami sendiri melalui media pemahaman siswa akan lebih baik.

6. Media memungkinkan proses belajar dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja

Media pembelajaran dapat dirangsang sedemikian rupa sehingga siswa dapat melakukan kegiatan belajar dengan lebih leluasa dimanapun dan kapanpun tanpa tergantung seorang guru.Perlu kita sadari waktu belajar di sekolah sangat terbatas dan waktu terbanyak justru di luar lingkungan sekolah.

7. Media dapat menumbuhkan sikap positif siswa terhadap materi dan proses belajar

Proses pembelajaran menjadi lebih menarik sehingga mendorong siswa untuk mencintai ilmu pengetahuan dan gemar mencari sendiri sumber-sumber ilmu pengetahuan.

8. Mengubah peran guru ke arah yang lebih positif dan produktif

Guru dapat berbagi peran dengan media sehingga banyak mamiliki waktu untuk memberi perhatian pada aspek-aspek edukatif lainnya, seperti membantu kesulitan belajar siswa, pembentukan kepribadian, memotivasi belajar, dan lain-lain

D. KESIMPULAN

Media adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada penerima informasi. Sedangkan pembelajaran adalah usaha guru untuk menjadikan siswa melakukan kegiatan belajar. Dengan demikian media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan informasi dari guru ke siswa sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa dan pada akhirnya dapat menjadikan siswa melakukan kegiatan belajar. Manfaat media pembelajaran tersebut adalah: penyampaian materi pembelajaran dapat diseragamkan, proses pembelajaran menjadi lebih jelas dan menarik, proses pembelajaran menjadi lebih interaktif, efisiensi dalam waktu dan tenaga, meningkatkan kualitas hasil belajar siswa, memungkinkan proses belajar dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, menumbuhkan sikap positif siswa terhadap materi dan proses belajar serta mengubah peran guru ke arah yang lebih positif dan produktif.

This entry was written by Ardiani Mustikasari,S.Si, M.Pd. and posted on August 8, 2008 at 2:30 am and filed under Media Pembelajaran. Bookmark the permalink. Follow any comments here with the RSS feed for this post. Post a comment or leave a trackback: Trackback URL.

No Comments

No comments yet.







media Pembelajaran

Diterbitkan 12 Januari 2008 kurikulum dan pembelajaran
Tags:
artikel, berita, KTSP, makalah, opini, pendidikan, umum

Oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.

Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “Medium” yang secara harfiah berarti “Perantara” atau “Pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Beberapa ahli memberikan definisi tentang media pembelajaran. Schramm (1977) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Sementara itu, Briggs (1977) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti : buku, film, video dan sebagainya. Sedangkan, National Education Associaton (1969) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras. Dari ketiga pendapat di atas disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik.

Brown (1973) mengungkapkan bahwa media pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat mempengaruhi terhadap efektivitas pembelajaran. Pada mulanya, media pembelajaran hanya berfungsi sebagai alat bantu guru untuk mengajar yang digunakan adalah alat bantu visual. Sekitar pertengahan abad Ke –20 usaha pemanfaatan visual dilengkapi dengan digunakannya alat audio, sehingga lahirlah alat bantu audio-visual. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya dalam bidang pendidikan, saat ini penggunaan alat bantu atau media pembelajaran menjadi semakin luas dan interaktif, seperti adanya komputer dan internet.

Media memiliki beberapa fungsi, diantaranya :

1. Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para peserta didik. Pengalaman tiap peserta didik berbeda-beda, tergantung dari faktor-faktor yang menentukan kekayaan pengalaman anak, seperti ketersediaan buku, kesempatan melancong, dan sebagainya. Media pembelajaran dapat mengatasi perbedaan tersebut. Jika peserta didik tidak mungkin dibawa ke obyek langsung yang dipelajari, maka obyeknyalah yang dibawa ke peserta didik. Obyek dimaksud bisa dalam bentuk nyata, miniatur, model, maupun bentuk gambar – gambar yang dapat disajikan secara audio visual dan audial.

2. Media pembelajaran dapat melampaui batasan ruang kelas. Banyak hal yang tidak mungkin dialami secara langsung di dalam kelas oleh para peserta didik tentang suatu obyek, yang disebabkan, karena : (a) obyek terlalu besar; (b) obyek terlalu kecil; (c) obyek yang bergerak terlalu lambat; (d) obyek yang bergerak terlalu cepat; (e) obyek yang terlalu kompleks; (f) obyek yang bunyinya terlalu halus; (f) obyek mengandung berbahaya dan resiko tinggi. Melalui penggunaan media yang tepat, maka semua obyek itu dapat disajikan kepada peserta didik.

3. Media pembelajaran memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta didik dengan lingkungannya.

4. Media menghasilkan keseragaman pengamatan

5. Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit, dan realistis.

6. Media membangkitkan keinginan dan minat baru.

7. Media membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar.

8. Media memberikan pengalaman yang integral/menyeluruh dari yang konkrit sampai dengan abstrak

Terdapat berbagai jenis media belajar, diantaranya :

1. Media Visual : grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun, komik

2. Media Audial : radio, tape recorder, laboratorium bahasa, dan sejenisnya

3. Projected still media : slide; over head projektor (OHP), in focus dan sejenisnya

4. Projected motion media : film, televisi, video (VCD, DVD, VTR), komputer dan sejenisnya.

Sejalan dengan perkembangan IPTEK penggunaan media, baik yang bersifat visual, audial, projected still media maupun projected motion media bisa dilakukan secara bersama dan serempak melalui satu alat saja yang disebut Multi Media. Contoh : dewasa ini penggunaan komputer tidak hanya bersifat projected motion media, namun dapat meramu semua jenis media yang bersifat interaktif.

Allen mengemukakan tentang hubungan antara media dengan tujuan pembelajaran, sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini :

Jenis Media

1

2

3

4

5

6

Gambar Diam

S

T

S

S

R

R

Gambar Hidup

S

T

T

T

S

S

Televisi

S

S

T

S

R

S

Obyek Tiga Dimensi

R

T

R

R

R

R

Rekaman Audio

S

R

R

S

R

S

Programmed Instruction

S

S

S

T

R

S

Demonstrasi

R

S

R

T

S

S

Buku teks tercetak

S

R

S

S

R

S

Keterangan :

R = Rendah S = Sedang T= Tinggi

1 = Belajar Informasi faktual

2 = Belajar pengenalan visual

3 = Belajar prinsip, konsep dan aturan

4 = Prosedur belajar

5= Penyampaian keterampilan persepsi motorik

6 = Mengembangkan sikap, opini dan motivasi

Kriteria yang paling utama dalam pemilihan media bahwa media harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai. Contoh : bila tujuan atau kompetensi peserta didik bersifat menghafalkan kata-kata tentunya media audio yang tepat untuk digunakan. Jika tujuan atau kompetensi yang dicapai bersifat memahami isi bacaan maka media cetak yang lebih tepat digunakan. Kalau tujuan pembelajaran bersifat motorik (gerak dan aktivitas), maka media film dan video bisa digunakan. Di samping itu, terdapat kriteria lainnya yang bersifat melengkapi (komplementer), seperti: biaya, ketepatgunaan; keadaan peserta didik; ketersediaan; dan mutu teknis.

Untuk memahami lebih lanjut tentang Media Pembelajaran, silahkan klik tautan di bawah ini ! Jangan lupa, komentar Anda sangat diharapkan.


Selasa, 06 Juli 2010

moral

Pendidikan Moral Manusia

 Mengingat perkembangan moral manusia pada bahasan yang lalu, maka tentu akan ada sebuah proses yang tak lepas dari perkembangan moral itu sendiri.  Proses yang dimaksud adalah yang disebut dengan pendidikan.  Pendidikan moral sangatlah  perlu bagi manusia, karena melalui pendidikan perkembangan moral diharapkan mampu berjalan dengan baik , serasi dan sesuai dengan norma demi harkat dan martabat manusia itu sendiri.

 Di Indonesia pendidikan moral telah ada dalam setiap jenjang pendidikan.  Di Sekolah Dasar perkembangan pendidikan moral tak pernah beranjak dari nilai-nilai luhur yang ada dalam  tatanan moral bangsa Indonesia yang termaktub jelas dalam Pancasila sebagai dasar Negara.  Pendidikan Moral Pancasila, yang sejak dari pendidikan dasar telah diajarkan tentu memiliki tujuan yang sangat mulia, tiada lain untuk membentuk anak negeri sebagai individu yang beragama, memiliki rasa kemanusiaan, tenggang rasa demi persatuan, menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah untuk kerakyatan serta berkeadilan hakiki.

 Berangkat dari tujuan tersebut diatas maka dalam pelaksanaannya terdapat tiga faktor penting dalam pendidikan moral di Indonesia yang perlu diperhatikan yaitu :

 

 

1.  Peserta didik yang sejatinya memiliki tingkat kesadaran dan dan perbedaan perkembangan kesadaran moral yang tidak merata maka perlu dilakukan identifikasi yang berujung pada sebuah pengertian mengenai kondisi perkembangan moral dari peserta didik itu sendiri.

2.  Nilai-nilai (moral) Pancasila, berdasarkan tahapan kesadaran dan perkembangan moral manusia maka perlu di ketahui pula tingkat tahapan kemampuan peserta didik.  Hal ini penting mengingat dengan tahapan dan tingkatan yang berbeda itu pula maka semua nilai-nilai moral yang terkandung dalam penididkan moral tersebut memiliki batasan-batasan tertentu untuk dapat terpatri pada kesadaran moral peserta didik.  Dengan kata lain, kalaulah pancasila memiliki 36 butir nilai moral, maka harus difahami pula proses pemahaman peserta didik berdasar pada tingkat kesadaran dan tingkat kekuatan nilai kesadaran itu sendiri.

3.  Guru Sebagai fasilitator,  apabila kita kembali mengingat teori perkembangan moral manusia dari Kohlberg dengan 4 dalilnya maka guru seyogyanya adalah fasilitator yang memberikan kemungkinan bagi siswa untuk memahami dan menghayati nilai-nilai pendidikan moral itu.

 Dengan memperhatikan tiga hal diatas maka proses perkembangan moral manusia yang berjalan dalam jalur pendidikan tentu akan berjalan sesuai dengan tahapan perkembangan moral pada tiap diri manusia.

pendidikan karakter

Heboh video mesum mirip pasangan artis terkenal di Tanah Air yang beredar luas di masyarakat menimbulkan banyak keresahan. Sejumlah kalangan dari sebagian masyarakat kita tampak sangat marah dengan melakukan kutukan demi kutukan atas perbuatan tidak senonoh itu, baik kepada pelaku yang memerankan di dalamnya maupun kepada mereka yang secara sengaja mengedarkannya lewat dunia maya.
Salah satu kelompok ormas Islam tertentu di Jawa Barat berkolaborasi dengan pemerintah daerah bahkan hendak mendeportasi kependudukan terhadap pemeran dalam video itu, jika nanti oleh penyidik terbukti kebenarannya alias bersalah. Bahkan, ketiga orang yang diduga mirip artis itu juga terancam ditolak untuk ikut terlibat di sejumlah acara yang berlokasi selain di Jawa Barat, konon juga di Makassar.
Dengan berpijak dari kasus tersebut, banyak pihak mempertanyakan sedemikian burukkah pergaulan bebas generasi bangsa kita? Lalu, apa sekiranya yang dapat membentengi degradasi moral yang akut ini? Bagaimana dengan fungsi pendidikan moral dan agama yang diajarkan di sekolah maupun di lembaga keagamaan? Di manakah peran guru, orang tua, dan agamawan?
Pertanyaan-pertanyaan itu sangat penting untuk direfleksikan bersama. Kasus video mesum mirip artis yang sudah telanjur menyeruak ke publik itu harus dijadikan titik awal untuk mengurai secara lebih terbuka dan luas tentang persoalan-persoalan bangsa yang kian hari sangat kompleks meliliti di hampir semua sendi-sendi kehidupan berbangsa. Pada konteks ini, perbaikan moral generasi bangsa lewat jalur pendidikan karakter yang tidak semata-mata hanya mementingkan aspek formal-kognitif belaka terasa dibutuhkan.

Epistemologi pendidikan karakter
Secara historis-geneologis, pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan. Menurut pendapat ini, tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah.
Ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter menurut Foerster. Pertama, keteraturan interior dengan setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Itu dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh oleh atau desakan dari pihak lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Karakter itulah yang menentukan bentuk seorang pribadi dalam segala tindakannya.
Persoalannya, dari basis epistemologis tersebut, bagaimana implementasi pendidikan karakter itu dalam konteks Indonesia? Di sinilah perlunya melakukan rekonstruksi dan sekaligus aktualisasi paradigma keilmuan, yang pada hemat saya, pendidikan karakter dalam konteks Indonesia ini, terejawantah ke dalam dua jalur: formal dan nonformal.

Pendidikan formal
Di sini, pendidikan karakter dimaknai sebagai bentuk pengajaran yang sesuai serta memperhatikan kondisi sosial pada setiap lokasi pembelajaran. Artinya, pembelajaran ilmu pengetahuan tidaklah bisa disamakan antara satu tempat atau negara dan negara lain karena jelas mempunyai karakteristik pola tradisi dan budaya yang berbeda.
Begitu pula dengan kondisi di negara kita, Indonesia, bahwa pendidikan karakter menjadi relevan diterapkan untuk mengatasi pelbagai fakta-fakta empiris yang menyiratkan adanya sinyal ‘ketidakberesan’ di lingkungan pendidikan. Misalnya, kasus korupsi, suap, kriminalitas (tawuran antarpelajar/mahasiswa), dan perilaku amoral (termasuk kasus video mesum yang juga sering kali terjadi di kalangan siswa), yang bila kita telusuri, oknum pelakunya merupakan jebolan dari lembaga pendidikan nasional yang kita miliki. Inilah relevansi mempertanyakan fungsi pendidikan formal dalam perilaku keseharian masyarakat dan juga, mungkin, alasan itu pulalah yang menjadi latar belakang Depdiknas yang akhir-akhir ini menggelorakan pentingnya melakukan pendidikan karakter untuk generasi bangsa.
Dalam wujud praksis, pendidikan karakter di lingkungan pendidikan formal dapat ditempuh lewat integrasi keilmuan. Pertama, untuk mewujudkan pendidikan karakter bagi anak didik, perlu adanya integrasi yang utuh antara IQ (intelligence quotient), EQ (emotional quotient), SQ (spiritual quotient). Sejauh ini, sistem pendidikan Indonesia lebih berorientasi pada pengisian kognisi yang ekuivalen dengan peningkatan IQ semata--walaupun juga di dalamnya terintegrasi pendidikan EQ. Padahal, warisan terbaik bangsa kita adalah tradisi spritualitas (SQ) yang tinggi kemudian nyaris terabaikan--untuk tidak mengatakan terlupakan.
Kedua, meningkatkan kesadaran anak didik terhadap pengenalan budaya-budaya ketimuran yang sudah sejak lama dijunjung tinggi oleh nenek moyang dan founding fathers kita. Jika itu berjalan dengan efektif dan maksimal, dimungkinkan akan timbul kesadaran bagi anak didik hingga ketika mereka lulus nanti, agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan tercela (amoral) yang itu jelas-jelas tidak mencerminkan adat dan budaya ketimuran kita.
Metode pembelajaran itu umumnya disebut sebagai pendidikan moral, yang terintegrasi ke dalam dua mata pelajaran, yakni Pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) dan pendidikan agama. Namun, dalam praktiknya terasa masih tampak kurang pada keterpaduan model dan strategi pembelajarannya. Siswa lebih diorientasikan pada penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku teks, dan kurang mengaitkan dengan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat sehingga peserta didik kurang mampu memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi dalam masyarakat.

Pendidikan nonformal
Pendidikan karakter dapat pula ditumbuhkembangkan di luar pendidikan formal, yang memfungsikan peran-peran sosial dari keluarga, tokoh masyarakat, dan agamawan. Hal itu sejalan dengan model pembelajaran tempo dulu di masa-masa awal digalakkannya pendidikan di Tanah Air.
Pendidikan di masa lampau umumnya belum memerlukan pendidikan dalam arti formalisme pendidikan yang mendorong tumbuhnya kompetisi kecerdasan satu sama lain, tetapi yang menjadi pusat dan syarat pendidikan ialah berupa kesejahteraan rumah tangga, atau dengan kata lain, pendidikan berpusat pada kesejahteraan dan keutuhan hidup bersama antara ibu dan bapak. Telah menjadi adat kebiasaan yang turun-temurun bahwa di pundak ibu dan bapaklah tanggung jawab atas segala hal ihwal kehidupan anaknya. Dengan kebiasaan itu, para ibu dan bapak merasa harus bertindak sebagai contoh (kaca benggala) untuk anak cucu dan keturunan mereka selanjutnya (Anshory dan GKR Pembayun, 2008).
Dalam pengertian yang tidak ekstrem, model pendidikan di jalur nonformal itu, menurut saya, sejalan dengan apa yang pernah dilontarkan Ivan Illich di akhir 1970-an lewat gagasan kontroversialnya tentang deschooling society (masyarakat tanpa sekolah). Illich meramalkan jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar, institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Masyarakat akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial dan budaya yang luas, tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah.
Ide Illich tersebut tentulah sangat cemerlang, tetapi lagi-lagi, perlu adanya reinterpertasi untuk mencari relevansinya. Dalam konteks Indonesia, pendidikan nonformal belum bisa difungsikan dan disejajarkan dengan ide deschooling society Illich. Pendidikan formal maupun nonformal tetap masih dibutuhkan, yang justru kita berharap terjadi simbiosis mutualistis, saling dukung di antara keduanya. Dengan menegakkan pendidikan karakter, kita optimistis kualitas pendidikan nasional kita kian lebih baik, yang salah satunya ditandai dengan berkurangnya angka kriminalitas, kasus korupsi, dan perbuatan asusila. Semoga

tugas agama

NAMA            : Singgih

NPM               : 090401140059

KELAS           : PGSD B

 

1. Jika hal-hal tersebut terus berkembang di masyarakat, maka kebenaran  yang sesungguhnya tidak akan pernah muncul, bahkan hal-hal tersebut bisa meluas  pada generasi selanjutnya, semakin lama, masyarakat akan turun temurun mewariskan keyakinan seperti itu pada anak dan cucunya, karena hal-hal seperti itu bertentangan dengan agama, maka sebaiknya tidak usah dipercayai karena tidak ada manfaatnya, bahkan bisa mendatangkan rasa syirik dalam hati manusia, mereka akan senantiasa hidup dalam kondisi yang meragukan.

Upaya yang saya lakukan sebagai calon guru adalah membimbing generasi selanjutnya agar tidak ikut-ikutan mempercayai hal-hal tersebut. karena hal-hal tersebut tidak ada dalam al-Quran dan hadist. Kita umat islam harus berpegang teguh pada al-Quran dan hadist dan tidak boleh menyimpang dari keduanya, dengan membimbing generasi muda ini, akan memutus arus kepercayaan yang bisa menimbulkan rasa syirik.

 

2. Dalam sebuah ayat al-Quran, “Dan janganlah engkau turut apa-apa yang engkau tidak ada ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan ditanya,” (QS. Al-Isra:36). Ayat al-Quran tersebut menjelaskan bahwa ilmu merupakan dasar dari segala tindakan manusia. Karena tanpa ilmu segala tindakan manusia menjadi tidak terarah, tidak benar dan tidak bertujuan. Kata ilmu berasal dari kata kerja ‘alima, yang berarti memperoleh hakikat ilmu, mengetahui, dan yakin. Ilmu, yang dalam bentuk jamaknya adalah ‘ulum, artinya ialah memahami sesuatu dengan hakikatnya, dan itu berarti keyakinan dan pengetahuan. Jadi ilmu merupakan aspek teoritis dari pengetahuan. Dengan pengetahuan inilah manusia melakukan perbuatan amalnya. Jika manusia mempunyai ilmu tapi miskin amalnya maka ilmu tersebut menjadi sia-sia.Dalam beberapa riwayat di jelaskan tentang hubungan ilmu dan amal itu. Imam Ali as berkata, “Ilmu adalah pemimpin amal, dan amal adalah pengikutnya.” Demikian juga dengan perkataan Rasulullah saw , “Barangsiapa beramal tanpa ilmu maka apa yang dirusaknya jauh lebih banyak dibandingkan yang diperbaikinya.” Pada riwayat lain dijelakan Imam Ali as berkata, “Ilmu diiringi dengan perbuatan. Barangsiapa berilmu maka dia harus berbuat. Ilmu memanggil perbuatan. Jika dia menjawabnya maka ilmu tetap bersamanya, namun jika tidak maka ilmu pergi darinya.”
            Dari riwayat di atas maka jika orang itu berilmu maka ia harus diiringi dengan amal. Amal ini akan mempunyai nilai jika dilandasi dengan ilmu, begitu juga dengan ilmu akan mempunyai nilai atau makna jika diiringi dengan amal. Keduanya tidak dapat dipisahkan dalam perilaku manusia. Sebuah perpaduan yang saling melengkapi dalam kehidupan manusia, yaitu setelah berilmu lalu beramal. Pengertian amal dalam pandangan Islam adalah setiap amal saleh, atau setiap perbuatan kebajikan yang diridhai oleh Allah SWT. Dengan demikian, amal dalam Islam tidak hanya terbatas pada ibadah, sebagaimana ilmu dalam Islam tidak hanya terbatas pada ilmu fikih dan hukum-hukum agama. Ilmu dalam dalam ini mencakup semua yang bermanfaat bagi manusia seperti meliputi ilmu agama, ilmu alam, ilmu sosial dan lain-lain. Ilmu-ilmu ini jika dikembangkan dengan benar dan baik maka memberikan dampak yang positif bagi peradaban manusia. Misalnya pengembangan sains akan memberikan kemudahan dalam lapangan praktis manusia. Demikian juga pengembangan ilmu-ilmu sosial akan memberikan solusi untuk pemecahan masalah-masalah di masyarakat. Jadi, mengiringi ilmu dengan amal merupakan keharusan. Dalam pandangan Khalil al-Musawi dalam buku Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana, hubungan ilmu dengan amal dapat difokuskan pada dua hal : Pertama, ilmu adalah pemimpin dan pembimbing amal perbuatan. Amal bisa lurus dan berkembang bila didasari ilmu. Berbuat tanpa didasari pengetahuan tidak ubahnya dengan berjalan bukan di jalan yang benar, tidak mendekatkan kepada tujuan melainkan menjauhkan. Dalam semua aspek kegiatan manusia harus disertai dengan ilmu, baik itu yang berupa amal ibadah maupun amal perbuatan lainnya. Dalam ibadah harus disertai dengan ilmu. Jika ada orang yang melakukan ibadah tanpa didasari ilmu tidak ubahnya dengan orang yang mendirikan bangunan di tengah malam dan kemudian menghancurkannya di siang hari. Begitu juga, hal ini pun berlaku pada amal perbuatan yang lain, dalam berbagai bidang. Memimpin sebuah negara, misalnya, harus dengan ilmu. Negara yang dipimpin oleh orang bodoh akan dilanda kekacauan dan kehancuran. Sedangkan kedua, sesungguhnya ilmu dan amal saling beriringan. Barangsiapa berilmu maka dia harus berbuat, baik itu ilmu yang berhubungan dengan masalah ibadah maupun ilmu-ilmu yang lain. Tidak ada faedahnya ilmu yang tidak diamalkan. Amal merupakan buah dari ilmu, jika ada orang yang mempunyai ilmu tapi tidak beramal maka seperti pohon yang tidak menghasilkan manfaat bagi penanamnya. Begitu pula, tidak ada manfaatnya ilmu fikih yang dimiliki seorang fakih jika dia tidak mengubahnya menjadi perbuatan. Begitu juga, tidak ada faedahnya teori-teori atau penemuan-penemuan yang ditemukan seorang ilmuwan jika tidak diubah menjadi perbuatan nyata. Karena wujud dari pengetahuan itu adalah amal dan karya nyatanya. Ilmu tanpa diiringi dengan amal maka hanya berupa konsep-konsep saja. Ilmu yang tidak dilanjutkan dengan perbuatan, mungkin kita dapat menyebutnya sebagai pengetahuan teoritis. Namun, apa faedahnya ilmu teoritis jika kita tidak menerjemahkannya ke dalam ilmu praktis. Jika ilmu tidak diimplementasikan maka akan memberikan dampak yang negatif. Salah-satu penyakit sosial yang paling berbahaya yang melanda berbagai umat – termasuk umat Islam - adalah penyakit pemutusan ilmu-khususnya ilmu-ilmu agama –dari amal perbuatan, dan berubahnya ilmu menjadi sekumpulan teori belaka yang jauh dari kenyataan dan penerapan. Padahal, kaedah Islam menekankan bahwa ilmu senantiasa menyeru kepada amal perbuatan. Keduanya tidak ubahnya sebagai dua benda yang senantiasa bersama dan tidak terpisah satu sama lain. Jika amal memenuhi seruan ilmu maka umat menjadi baik dan berkembang. Namun jika tidak, maka ilmu akan meninggalkan amal perbuatan, dan dia akan tetap tinggal tanpa memberikan faedah apa pun. Jika demikian nilai apa yang dimiliki seorang manusia yang mempunyai segudang teori dan pengetahuan namun tidak mempraktikkannya dalam dunia nyata. Pertalian ilmu dengan amal tidak hanya dituntut dari para pelajar agama dan para ahli yang mendalami suatu ilmu, melainkan juga dituntut dari setiap orang, baik yang memiliki ilmu sedikit ataupun banyak. Namun, tentunya orang-orang yang berilmu memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam hal ini, karena mereka memiliki kemampuan yang lebih. Allah SWT berfirman di dalam surat Ash-Shaff, ayat (2-3), “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. Sungguh besar murka Allah kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” Jika kita memperhatikan ayat-ayat al-Quran, niscaya kita akan menemukan bahwa al-Quran senantiasa menggandengkan ilmu dengan amal. Makna ilmu diungkapkan dalam bentuk kata iman pada banyak tempat, dengan pengertian bahwa iman adalah ilmu atau keyakinan. Di antaranya ialah :“Demi waktu Asar, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran dan kebajikan.” (QS. Al-‘Ashr:1-3). Dalam ayat lain dikatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.” (QS. Al-Kahfi : 107). Demikian juga dengan ayat, “Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagian dan tempat kembali yang baik.” (QS. Ar-Ra’d :29). Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang betapa ilmu dan amal shaleh memiliki kaitan yang erat yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Karena keduanya bagai dua keping mata uang, yang saling memberi arti. Inilah yang sejalan dengan ucapan Imam Ali as, “Iman dan amal adalah dua saudara yang senantiasa beriringan dan dua sahabat yang tidak berpisah. Allah tidak akan menerima salah satu dari keduanya kecuali disertai sahabatnya.”
            Dengan perspektif keterpaduan ilmu dan amal, maka akan memberikan perkembangan kearah perbaikan dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat akan berlomba-lomba dalam memberikan amal shaleh satu sama lain. Imam Ali as berkata, “Jangan sampai ilmumu menjadi kebodohan dan keyakinanmu menjadi keraguan. Jika engkau berilmu maka beramalah, dan jika engkau yakin maka majulah.” Dengan ilmu yang benar, serta amal shaleh maka masyarakat bergerak dari kebodohan menuju kepintaran, dari ketertinggalan menuju kemajuan dan dari kehancuran menuju kebangkitan.

3. Sudah menjadi kewajiban kita semua untuk ikut serta ambil peran dalam usaha bersama bangsa kita untuk mewujudkan masyrakat berperadaban, masyarakat madani, civil society, dinegara kita tercinta, Republik Indonesia. Karena terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adalah Nabi Muhammad Rasulullah sendiri yang memberi teladan kepada umat manusia ke arah pembentukan masyarakat peradaban. Setelah belasan tahun berjuang di kota Mekkah tanpa hasil yang terlalu menggembirakan, Allah memberikan petunjuk untuk hijrak ke Yastrib, kota wahah atau oase yang subur sekitar 400 km sebelah utara Mekkah. Sesampai di Yastrib, setelah perjalanan berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, Nabi disambut oleh penduduk kota itu, dan para gadisnya menyanyikan lagu Thala'a al-badru 'alaina (Bulan Purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair dan lagu yang kelak menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Kemudian setelah mapan dalam kota hijrah itu, Nabi mengubah nama Yastrib menjadi al-Madinat al-nabiy (kota nabi). Secara konvensional, perkataan "madinah" memang diartikan sebagai "kota". Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna "peradaban". Dalam bahasa Arab, "peradaban" memang dinyatakan dalam kata-kata "madaniyah" atau "tamaddun", selain dalam kata-kata "hadharah". Karena itu tindakan Nabi mengubah nama Yastrib menjadi Madinah, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar hendak mendirikan dan membangun mansyarakat beradab. Tak lama setelah menetap di Madinah itulah, Nabi bersama semua penduduk Madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani, dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama-sama. Dan di Madinah itu pula, sebagai pembelaan terhadap masyarakat madani, Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perang membela diri dan menghadapi musuh-musuh peradaban. Jika kita telaah secara mendalam firman Allah yang merupakan deklarasi izin perang kepada Nabi dan kaum beriman itu, kita akan dapat menangkap apa sebenarnya inti tatanan sosial yang ditegakkan Nabi atas petunjuk Tuhan. Diizinkan berperang bagi orang-prang yang diperangi, karena mereka sesungguhnya telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah amat berkuasa untuk menolong mereka.Yaitu mereka yang diusir dari kampung halaman mereka secara tidak benar, hanya karena mereka berkata: "Tuhan kami ialah Allah". Dan kalaulah Allah tidak menolak (mengimbangi) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya runtuhlah gereja-gereja, sinagog-sinagog, dann masjid-masjid yang disitu banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah akan menolong siapa saja yang menolong-NYA (membela kebenaran dan keadilan).Yaitu mereka, yang jika kami berikan kedudukan di bumu, menegakkan sembahyang serta menunaikan zakat, dan mereke a menuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat kejahatan, dan mereka mennyuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat kejahatan. Dan bagi Allah jualah segala kesudahan semua perkara. (Q.S. Al-Hajj-39-41). Dari firman deklarasi izin perang kepada nabi dan kaum beriman itu, bahwa perang dalam masyarakat madani dilakukan karena keperluan harus mempertahankan diri, melawan dan mengalahkan kezaliman. Perang itu juga dibenarkan dalam rangka membela agama dan sistem keyakinan, yang intinya ialah kebebasan menjalankan ibadat kepada Tuhan. Lebih jauh, perang yang diizinkan Tuhan itu adalah untuk melindungi lembaga-lembaga keagamaan seperti biara, gereja, sinagog, dan mesjid (yang dalam lingkungan Asia dapat ditambah dengan kuil, candi, kelenteng, dan seterusnya) dari kehancuran. Perang sebagai suatu keterpaksaan yang diizinkan Allah itu merupakan bagian dari mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang diciptakan Allah untuk menjaga kelestarian hidup manusia. Seperti dunia sekarang ini yang selamat dari "kiamat nuklir" karena perimbangan kekuatan nuklir antara negara-negara besar, khususnya Amerika dan Rusia (yang kemudian masing-masing tidak berani menggunakan senjata nuklirnya—yang disebut "kemacetan nuklir"), masyarakat pun berjalan mulus dan terhindar dari bencana jika di dalamnya terdapat mekanisme pengawasan dan pengimbangan secara mantap dan terbuka (renungkan QS Al-Baqarah:152). Dengan memahami prinsip-prinsip itu, kita juga akan dapat memahami masyarakat madani yang dibangun nabi di Madinah. Membangun masyarakat peradaban itulah yang dilakukan Nabi selama sepuluh tahun di Madinah. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-NYA. Taqwa kepada Allah dalam arti semangat ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam peristilahan Kitab Suci juga disebut semangat Rabbaniyah (QS Alu Imran:79) atau ribbiyah (QS Alu Imran:146). Inilah hablun mim Allah, tali hubungan dengan Allah, dimensi vertikal hidup manusia, salah satu jaminan untuk manusia agar tidak jatuh hina dan nista. Semangat Rabbaniyah atau ribbiyah itu, jika cukup tulus dan sejati, akan memancar dalam semangat perikemanusiaan, yaitu semangat insaniyah, atau basyariyah, dimensi horisontal hidup manusia, hablun min al-nas. Kemudian pada urutannya, semangat perikemanusiian itu sendiri memancar dalam berbagai bentuk hubungan pergaulan manusia yang penuh budi luhur. Maka tak heran jika Nabi dalam sebuah hadisnya menegaskan bahwa inti sari tugas suci beliau adalah untuk "menyempurnakan berbagai keluhuran budi". Masyarakat berbudi luhur atau berakhlak mulia itulah, masyarakat berperadaban, masyarakat madani, "civil society". Masyarakat Madani yang dibangun nabi itu, oleh Robert N. Bellah, seorang sosiologi agama terkemuka disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga setelah nabi sendiri wafat tidak bertahan lama. Timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti dirintis Nabi. Setelah Nabi wafat, masyarakat madani warisan Nabi itu, yang antara lain bercirikan egaliterisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan, hanya berlangsung selama tiga puluh tahunan masa khulafur rasyidin. Sesudah itu, sistem sosial madani dengan sistem yang lebih banyak diilhami oleh semangat kesukuan atau tribalisme Arab pra-Islam, yang kemudian dikukuhkan dengan sistem dinasti keturunan atau geneologis itu sebagai "Hirqaliyah" atau "Hirakliusisme", mengacu kepada kaisar Heraklius, penguasa Yunani saat itu, seorang tokoh sistem dinasti geneologis. Begitu keadaan dunia Islam, terus-menerus hanya mengenal sistem dinasti geneologis, sampai datangnya zaman modern sekarang. Sebagian negara muslim menerapkan konsep negara republik, dengan presiden dan pimpinan lainnya yang dipilih. Karena itu, justru dalam zaman modern inilah, prasarana sosial dan kultural masyarakat madani yang dahulu tidak ada pada bangsa manaoun di dunia, termasuk bangsa Arab, mungkin akan terwujud. Maka kesempatan membangun masyarakat madani menuurut teladan nabi, justru mungkin lebih besar pada masa sekarang ini. Berpangkal dari pandangan hidup bersemangat ketuhanan dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia (QS Fushshilat:33), masyarakat madani tegak berdiri di atas landasan keadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang kepada hukum. Menegakkan hukum adalah amanat Tuhan Yang Maha Esa, yang diperintahkan untuk dilaksanakan kepada yang berhak (QS Al-Nisa:58). Dan Nabi telah memberi telaadan kepada kita. Secara amat setia beliau laksanakan perintah Tuhan itu. Apalagi Al-Qur'an juga menegaskan bahwa tugas suci semua Nabi ialah menegakkan keadilan di antara manusia (QS Yunus:47). Juga ditegakkan bahwa para rasul yang dikirim Allah ke tengah umat manusia dibekali dengan kitab suci dan ajaran keadilan, agar manusia tegak dengan keadilan itu (QS al-Hadid:25). Keadilan harus ditegakkan, tanpa memandang siapa yang akan terkena akibatnya. Keadilan juga harus ditegakkan, meskipun mengenai diri sendiri, kedua orang tua, atau sanak keluarga (QS A-'Nisa:135). Bahkan terhadap orang yang membenci kita pun, kita harus tetap berlaku adil, meskipun sepintas lalu keadilan itu akan merugikan kita sendiri (QS Al-Ma'idah:8). Atas pertimbangan ajaran itulah, dan dalam rangka menegakkan masyarakat madani, Nabi tidak pernah membedakan anatara "orang atas", "orang bawah", ataupun keluaarga sendiri. Beliau pernah menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah karena jika "orang atas" melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi jika "orang bawah" melakukannya pasti dihukum. Karena itu Nabi juga menegaskan, seandainya Fatimah pun, puteri kesayangan beliau, melakukan kejahatan, maka beliau akan menghukumnya sesuai ketentuan yang berlaku. Masyarakat berperadaban tak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, yang dimulai dengan ketulusan komitmen pribadi. Masyarakat berperadaban memerlukan adanya pribadi-pribadi yang dengan tulus mengikatkan jiwanya kepasda wawasan keadilan. Ketulusan ikatan jiwa itu terwujud hanya jika orang bersangkutan ber-iman, percaya dan mempercayai, dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan, dalam suatu keimanan etis, artinya keimanan bahwa Tuhan menghendaki kebaikan dan menuntut tindakan kebaikan manusia kepada sesamanya. Dan tindakan kebaikan kepada sesama manusia harus didahului dengan diri sendiri menempuh hidup kebaikan, seperti dipesankan Allah kepada para Rasul (QS Al-Mu'minun:51), agar mereka "makan dari yang baik-baik dan berbuat kebajikan." Ketulusan ikatan jiwa, juga memerlukan sikap yang yakin kepada adanya tujuan hidup yang lebih tinggi daripada pengalaman hidup sehari-hari di dunia ini. Ketulusan ikatan jiwa perlu kepada keyakinan bahwa makna dan hakikat hidup manusia pasti akan menjadi kenyataan dalam kehidupan abadi, kehidupan setelah mati, dalam pengalaman bahagia atau sengsara. Karena itu, ketulusan ikatan jiwa kepada keadilan mengharuskan orang memandang hidup jauh di depan, tidak menjadi tawanan keadaan di waktu sekarang dan di tempat ini (dunia) (QS Al-'Araf:169). Tetapi, tegaknya hukum dan keadilan tak hanya perlu kepada komitmen-komeitmen pribadi. Komitmen pribadi yang menyatakan diri dalam bentuk "itikad baik", memang mutlak diperlukan sebagai pijakan moral dan etika dalam masyarakat. Sebab, bukankah masyarakat adalah jumlah keseluruhan pribadi para anggotanya? Apalagi tentang para pemimpin masyarakat atau public figure, maka kebaikan itikad itu lebih-lebih lagi dituntut, dengan menelusuri masa lalu sang calon pemimpin, baik bagi dirinya sendiri maupun mungkin keluarganya. Karena itu, di banyak negara, seorang calon pemimpin formal harus mempunyai catatan perjalanan hidup yang baik melalui pengujian, bukan oleh perorangan atau kelembagaan, tetapi oleh masyarakat luas, dalam suasana kebebasan yang menjamin kejujuran. Namun sesungguhnya, seperti halnya dengan keimanan yang bersifat amat pribadi, itikad baik bukanlah suatu perkara yang dapat diawasi dari diri luar orang bersangkutan. IA dapat bersifat sangat subjektif, dibuktikan oleh hampir mustahilnya ada orang yang tidak mengaku beritikad baik. Kecuali dapat diterka melalui gejala lahir belaka, suatu itikad baik tak dapat dibuktikan, karena menjadi bagian dari bunyi hati sanubari orang bersangkutan yang paling rahasia dan mendalam. Oleh sebab itu, iitikad pribadi saj atidak cukup untuk mewujudkan masyarakat berperadaban. Itikad baik yang merupakan buah keimanan itu harus diterjemahkan menjadi tindakan kebaikan yang nyata dalam masyarakat, berupa "amal saleh", yang secara takrif adalah tindakan membawa kebaikan untuk sesama manusia. Tindakan kebaikan bukanlah untuk kepentingan Tuhan, sebab Tuhan adalah Maha Kaya, tidak perlu kepada apapun dari manusia. Siapa pun yang melakukan kebaikan, maka dia sendirilah --melalui hidup kemasyarakatannya-- yang akan memetik dan merasakan kebaikan dan kebahagiaan. Begitu pula sebaiknya, siapapun yang melakukan kejahatan, maka dia sendiri yang kan mewnanggung akibat kerugian dan kejahatannya. (QS Fushilat:46, Al-Jatsiyah:15). Jika kita perhatikan apa yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari, jelas sekali bahwa nilai-nilai kemasyarakatan yang terbaik sebagian besar dapat terwujud hanya dalam tatanan hidup kolektif yang memberi peluang kepada adanya pengawasan sosial. Tegaknya hukum dan keadilan, mutlak emmerlukan suatu bentuk interaksi sosial yang memberi peluang bagi adanya pengawasan itu. Pengawasan sosial adalah konsekuensi langsung dari itikad baik yang diwujudkan dalam ttindakan kebaikan. Selanjutnya, pengawasan sosial tidak mungkin terselenggara dalam suatu tatanan sosial yang tertutup. Amal soleh ataupun kegiatan "demi kebaikan", dengan sendirinya berdimensi kemanusiaan, karena berlangsung dalam suatu kerangka hubungan sosial, dan menyangkut orang banyak. Suatu klaim berbuat baik untuk masyarakat, apalagi jika pebuatan atau tindakan itudilakukan melaluipenggunaan kekuasaan, tidak dapat dibiarkan berlangsung denan mengabaikan masyarakat, apalagi jika perbuatan atau tindakan dilakukan melalui penggunaan kekuasaan. tidak dapat dibiarkan berlangsung dengan mengabaikan masyarakat itu sendiri dengan berbagai pandangan, penilaian dan pendapat yang ada. Dengan demikian, masyarakat madani akan terwujud hanya jika terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyrakat. Keterbukaan adalah konsekuensi dari kemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara optimis dan positif. Yaitu pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (QS Al-'araf: 172, Al-Rum:30), sebelum terbukti sebaliknya. Kejahatan pribadi manusia bukanlah sesuatu hal yang alami berasal dari dalam kediriannya. Kejahatan terjadi sebagai akibat pengaruh dari luar, dari pola budaya yang salah, yang diteruskan terutama oelh seorang tua kepada anaknya. Karena itu, seperti ditegaskan dalam sebuah hadist Nabi, setiap anak dilahirkan dlam kesucian asal, namun orangtuanyalah yang membuatnya menyimpang dari kesucian asal itu. Ajaran kemanusiaan yang suci itu membawa konsekuensi bahwa kita harus melihat sesama manusia secara optimis dan positif, sdengan menerapkan prasangka baik (husn al-zhan), bukan prasangka buruk (su' al-zhan), kecuali untuk keperluan kewaspadaan seeprlunya dalam keadaan tertentu. Tali persaudaraan sesama manusia akan terbina antara lain jika dalam masyarakat tidak terlalu banyak prasangka buruk akibat pandangan yang pesimis dan negatif kepada manusia (QS al-Hujurat:12). Berdasarkan pandangan kemanusiaan yang optimis-positif itu, kita harus memandang bahwa setiap orang mempunyai potensi untuk benar dan baik. Karena itu, setiap orang mempunyai potensi untuk menaytakan pendapat dan untuk didengar. Dari pihak yang mndengar, kesediaan untuk mendengar itu sendiri memerlukan dasar moral yang amat penting, yaitu sikap rendah hati, berupa kesiapan mental untuk menyadari dan mengakui diri sendiri selalu berpotensi untuk membuat kekeliruan. Kekeliruan atau kekhilafan terjadi karena manusia adalah makhluk lemah (QS Al-Nisa': 28). Keterbukaan adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Keterbukaaan serupa itu dalam kitab suci disebutkan sebagai tanda adanya hidayah dari Allah, dan membuat yang bersangkutan tergolong orang-orang yang berpikiran mendalam (ulu' al-bab), yang sangat beruntung (QS al-Zumar:17-18).

Usaha yang dapat saya lakukan ialah menyelesaikan masalah dengan jalan musyawarah. Musyawarah pada hakikatnya tak lain adalah interaksi positif berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberi hak untuk menyatakan pendapat, dan saling mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat itu. Dalam bahasa lain, musyawarah ialah hubungan interaktif untuk saling mewngingatkan tentang kebenaran dan kebaikan serta ketabahan dalam mencari penyelesaian masalah bersama, dalam suasana persamaan hak dan kewajiban antara warga masyarakat (QS al-'Ashar). Itulah masyarakat demokratis, yang berpangkal dari keteguhan wawasan etis dan moral berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Masyarakat demokratis tidak mungkin tanpa masyarakat berperadaban, masyarakat madani. Berada di lubuk paling dalam dari masyarakat madani adalah jiwa madaniyah, civility, yaitu keadaban itu sendiri. Yaitu sikap kejiwaaan pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selamanya benar, dan tidak ada suatu jawaban yang selamanya benar atas suatu masalah. Dari keadaan lahir sikap yang tulus untuk menghargai sesama manusia, betappaun seorang individu atau suatu kelompok berbeda dengan diri sendiri dan kelompok sendiri. Karena itu, keadaban atau civility menuntut setiap orang dan kelompok masyarakat untuk menghindar dari kebiasaan merendahkan orang atau kelompok lain, sebab "Kalau-kalau mereka yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka yang direndahkan" (QS al-Hujurat:11). Tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan pluralisme, adalah kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Sebab toleransi dan pluralisme tak lain adalah wujud dari "ikatan keadaban" (bond of civility), daolam sarti, sebagaimana telah dikemukakan, bahwa masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan interaksi sosial yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betappaun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri. Bangsa Indonesia memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk nmenegakkan masyarakat madani. Dan kita semua sangat berpengharapan bahwa masyarakat madani akan segera tumbuh semakain kuat di amsa dekat ini. Kemajuan besar yang telah dicapai oleh Orde Baru dala m meningkatkan taraf hidup rakyat dan kecerdasan umum, adalah alasan utam akita untuk berpengaharapan itu. Kita wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berterima kasih kepada para pemimpin bangsa, bahwa keadaaan kita sekarang ini, hampir di segala bidang, jauh lebih baik, sangat jauh lebih baik, daripada dua-tiga dasawarsa yang lalu. Tetapi, sejalan dengan suatu cara Nabi bersyukur kepada Allah, yaitu dengan memohon ampun kepada-Nya, kita pun bersyukur kepada-Nya dengan menyadari dan mengakui berbagai kekurangan kita. Dan kita semua tidak mau menjadi korban keberhasilan kita sendiri, misalnya karena kurang mampu melakukan antisipasi terhadap tuntutan masyarakat yang semakin berkecukupan dan berpendidikan. Terkiaskan denagn makna ungkapan "revolusi sering memakan anaknya sendirinya sendiri", kita semua harus berusaha mencegah jangan sampai "keberhasilan memakan anaknya sendiri" pula. 

4. Sekularisme dalam Kamus Oxford didefinasikan sebagai “wordly or material. Not religious or spiritual” maksudnya keduniaan atau kebendaan, bukan agama atau roh. Para ulama’ telah bersepakat menyatakan bahawa sekularisme menyampingkan agama dari urusan kenegaraan, kemasyarakatan dan ekonomi. Ia meletakkan agama dalam ruang lingkup yang amat sempit dan memberi kebebasan kepada individu menganut agama yang disukainya. Faham sekularisme ini menjadi Ibu kepada puluhan isme lain. Walaupun pada asalnya ia sekedar pengasingan agama daripada dunia tetapi terus berkembang dan berpegang dengan prinsip “here and now”. Secara tidak langsung fahaman ini menghasilkan penolakan terhadap hari akhirat dan manusia bebas melakukan apa saja. Menurut Prof. Dr. Sayyid Muhammad Naquib Al-Attas, beliau menganggap bahwa sekularisme adalah faham kekinidisian, yaitu  penumpuan pada zaman sekarang dan ruang kehidupan duniawi. Bagi manusia sekularis tidak ada ‘nanti’ (hari akhirat) dan tidak ada ‘ sana’ (kehidupan ukhrawi) atau sekurang-kurangnya tidak mempedulikannya. Menurut mereka yang wujud hanya alam fizikal ini dan dengan demikian mereka menolak realiti-realiti metafizik. World-view seperti itu jelas sempit dan terbatas, sekadar nazrah atau pandangan inderawi terhadap al-kawn atau alam fizikal. Namun demikian, ini bertentangan dengan world-view Islami yang meliputi segala kewujudan alam syahadah dan alam ghaib, alam tabi’i dan alam metafizik yang dapat dilihat dengan mata inderawi dan tampak pada pandangan a’kli-nurani. Oleh yang demikian, kerana itulah Prof Al-Attas mendefinasikan world-view Islami sebagai ru’yat al-Islam li al-wujud. Manakala pandangan Dr. Uthman El-Muhammady, di mana beliau telah mengupas istilah sekular daripada sudut barat serta secular dalam bentuk pengetahuan dan amalan dalam Islam. Istilah sekular dari sudut pendidikan, seni (musik), sejarah, sastra dan lain-lain, membawa maksud pendidikan yang tidak berhubung dengan agama atau mengecualikan pengajaran agama dari pendidikan. Dr. Uthman telah membedakan sekular dari sudut negatif dan positif. Dari sudut negatif apabila sekular diamalkan, langsung tidak mempunyai hubungan dengan kerohanian (lebih kepada duniawi) dan juga bertentangan dengan prinsip Islam itu sendiri. Manakala sekular yang positif pula ialah yang dibolehkan dalam Islam, contohnya seseorang yang melakukan kerja yang dicampur dengan fahaman ini untuk membolehkan ia menunaikan ibadah kepada Allah SWT. Namun begitu, beliau menyatakan bahwa lebih wajar sekiranya istilah sekular ini tidak diartikan kepada maksud yang positif (yang boleh diamalkan) dan negatif (yang benar-benar keji) yang pastinya setiap sekular itu hanya menjurus ke arah keduniaan tanpa dikaitkan dengan urusan ukhrawi. Hal ini apabila dikaitkan dengan kerohanian ia berubah menjadi sakral (suci). Istilah sekularisme secara keseluruhannya yang dipetik dari kamus Webster’s Encyclopedia, kamus Al-Mawrid, kamus Dewan dan Oxford English Dictionary jelas menunjukkan bahwa setiap perkara yang dilakukan hanya berhubung dengan dunia tanpa berkaitan dengan Zat Mutlak (Allah SWT).

PLURALISME: Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi. Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar. Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.

Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran.

Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing.

Liberalisme: Berasal dari bahasa latin Liber, yang artinya bebas atau merdeka. Dari sini muncul istilah liberal arts yang berarti ilmu yang sepatutnya dipelajari oleh orang merdeka, yaitu: aritmetika, geometri, astronomi, musik, gramatika, logika dan retorika. Sebagai ajektif, kata liberal dipakai untuk menunjukkan sikap anti-feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas dan terbuka (open-minded) dan oleh karena itu merasa hebat (magnanimous). Dalam politik, liberalisme dimaknai sebagai sebuah sistem yang menentang mati-matian sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya republik-republik dengan sistem demokrasi menggantikan kerajaan atau kesultanan tidak lepas dari liberalisme ini. Dalam bidang ekonomi, liberalisme menunjuk pada sistem pasar bebas, di mana peran dan intervensi pemerintah sangat dibatasi. Kini liberalisme ekonomi menjadi identik dengan kapitalisme. Negara-negara miskin cenderung menjadi wilayah pinggiran bagi perekonomian negara-negara kaya. Peran pemerintah yang mestinya melayani dan melindungi kepentingan rakyatnya, bergeser menjadi melayani dan melindungi kepentingan para pemodal internasional yang telah menginvestasikan modalnya di negara tersebut. Bahkan tidak jarang kebijakan ekonomi negara-negara miskin secara terang-terangan mengambil posisi berlawanan dengan aspirasi rakyat mereka sendiri.

            Agama Kristen mulai bersinar di Eropa ketika pada tahun 313 Kaisar Konstantin mengeluarkan surat perintah (edik) yang isinya memberi kebebasan kepada warga Romawi untuk memeluk Kristen. Bahkan pada tahun 380 Kristen dijadikan sebagai agama negara oleh Kaisar Theodosius. Menurut edik Theodosius semua warga negara Romawi diwajibkan menjadi anggota gereja Katolik. Agama-agama kafir dilarang. Bahkan sekte-sekte Kristen di luar “gereja resmi” pun dilarang. Dengan berbagai keistimewaan ini, Kristen kemudian menyebar ke berbagai penjuru dan dunia, bahkan menjadi sebuah imperium yang otoriter dengan selalu mengatasnamakan kehendak Tuhan. Liberalisme muncul di Eropa sebagai reaksi dan perlawanan atas otoriteritas gereja yang dengan mengatasnamakan Tuhan telah melakukan penindasan. Konon tidak kurang dari 32.000 orang dibakar hidup-hidup atas alasan menentang kehendak Tuhan. Galileo, Bruno dan Copernicus termasuk di antara saintis-saintis yang bernasib malang karena melontarkan ide yang bertentangan dengan ide Gereja. Untuk mengokohkan dan melestarikan otoriteritas itu, Gereja membentuk institusi pengadilan yang dikenal paling brutal di dunia sampai akhir abad 15, yaitu Mahkamah Inquisisi. Karen Amstrong dalam bukunya Holy War: The Crusade and Their Impact on Today’s World (1991 : 456) menyatakan, “Most of us would agree that one of the most evil of all Christian institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the Chatholic Chuch until the end of seventeenth century.”

            Despotisme Gereja ini telah mengakibatkan pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja. Kaum liberal menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja. Liberalisme membolehkan setiap orang melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya. Manusia tidak lagi harus memegang kuat ajaran agamanya, bahkan kalau ajaran agama tidak sesuai dengan kehendak manusia, maka yang dilakukan adalah melakukan penafsiran ulang ayat-ayat Tuhan agar tidak bertabrakan dengan prinsip-prinsip dasar liberalisme. Wajar jika kemudian berbagai tindakan amoral pun seperti homoseksual, seks bebas, aborsi, dan juga berbagai aliran sesat dan menyesatkan dalam agama dianggap legal, karena telah mendapatkan justifikasi ayat-ayat Tuhan yang telah ditafsir ulang secara serampangan dan kacau. Di antara sejumlah tokoh yang berani menentang otoritas Gereja adalah Nicolaus Copernicus (1543 M) dengan teori Heliosentris-nya yang menyatakan bahwa Matahari sebagai pusat Tata Surya. Sebuah teori yang menentang ajaran Gereja yang sekian lama memegang filsafat Ptolomaeus yang menyatakan bahwa Bumilah sebagai pusat (Geo-centris). Perjuangannya diikuti Gardano Bruno (1594M), fisikawan Jerman Johannes Kapler (1571 M), Galileo Galilei (1564 M) dan Isaac Newton (1642 M). John Lock (1704 M) kemudian mengusung liberalisme bidang politik dengan menyodorkan ideologi yang mendorong masyarakat untuk membebaskan diri dari kekangan Gereja waktu itu. Adam Smith (1790M) mengusung liberalisme di bidang ekonomi yang memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menjalankan kegiatan ekonominya tanpa intervensi dari pemerintahan gereja atau pemerintahan raja yang didukung gereja.
Ketika otoritas Gereja runtuh, bangsa Eropa terpecah menjadi dua aliran besar dalam menyikapi agama. Pertama, Aliran Deisme, yaitu mereka yang masih mempercayai adanya Tuhan, tapi tidak memercayai ayat-ayat Tuhan. Tokoh-tokohnya antara lain, Martin Luther, John Calvin, Isaac Newton, John Lock, Immanuel Kant, dsb. Dan kedua, Aliran Materialisme atau Atheisme. Aliran ini menganggap bahwa agama merupakan gejala masyarakat yang sakit. Agama dinilai sebagai candu atau racun bagi masyarakat. Di antara tokohnya, Hegel, Ludwig Feuerbach, dan Karl Marx. Ketidakpercayaan kepada Tuhan diusung pula oleh Charles Darwin (1809-1882 M) melalui bukunya The Origin of Species by Means Natural Selection (1859M). Melalui teori evolusinya, Darwin mencoba memisahkan intervensi Tuhan dalam penciptaan alam dan makhluk hidup di muka bumi ini. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa liberalisme merupakan upaya keluar dari kekangan ajaran Kristen yang bermasalah. Liberalisme telah mengantarkan masyarakat Barat menjadi orang atheis atau paling tidak deis. Di bidang sosial kaum liberalis telah melegalkan homoseksual. Dignity, sebuah organisasi gay Katolik internasional pada tahun 1976 saja sudah memiliki cabang di 22 negara bagian AS. Di Australia ada organisasi serupa Acceptance, di Inggris ada Quest, di Swedia ada Veritas. Fakta yang fenomenal terjadi ketika Nopember 2003 seorang pendeta bernama Gene Robinson yang notabene seorang homoseks, dilantik menjadi Uskup Gereja Anglikan di New Hampshire. Liberalisme mengajarkan bahwa seks bebas dan aborsi sebagai privasi individu yang tidak boleh dicampuri oleh aturan agama atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, selama individu tersebut senang, sukarela, suka sama suka. Masyarakat dan agama tidak boleh menghakimi mereka. Padahal dampak terkejam dari perilaku seks bebas adalah kecenderungan manusia untuk lari dari tanggung jawab. Ketika terjadi kehamilan, jalan yang ditempuh adalah aborsi. Kaum liberalis menuntut emansipasi wanita, kesetaraan gender dengan mengabaikan nilai-nilai agama. Dengan jargon kebebasan (liberty) dan persamaan (egality), kaum feminis secara ekstrem telah memunculkan semangat melawan dominasi laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga. Banyak pria atau wanita yang lebih memilih hidup sendiri. Kebutuhan seksual dipenuhi dengan zina (free-sex), kebutuhan akan anak dipenuhi dengan adopsi dan bertindak sebagai single parent. Jika tidak mau direpotkan dengan anak, maka aborsi jadi solusi. Sejumlah negara Barat telah melakukan “Revolusi Jingga” dengan mengesahkan undang-undang yang melegalkan perkawinan sejenis. Liberalisasi di bidang agama juga sudah merasuk kaum muslimin di Indonesia . Liberalisasi Islam dilakukan melalui tiga bidang penting dalam Islam, yaitu: (1) Liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham pluralisme agama. Paham ini menyatakan bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa hanya agamanya saja yang benar. Menurut mereka, salah satu ciri agama jahat adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri. (2) Liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekontruksi terhadap Al-Qur’an. Para liberalis Islam telah memosisikan diri sebagai epigon terhadap Yahudi dan Kristen yang melakukan kajian “Biblical Criticism”. Kajian kritis terhadap Bible yang memang bermasalah. Menurut liberalis “All scriptures are miracles; semua kitab suci adalah mukjizat. Jadi Al-Qur`an sejajar dengan Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Weda, Bagawad Ghita, Tripitaka, Darmogandul dan Gatoloco (?). (3) Liberalisasi syari’at Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah qath’i dan pasti dibongkar dan dibuat hukum baru yang sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara yang jadi barometernya bukan lagi Al-Qur’an dan As-Sunnah tapi demokrasi, HAM, gender equality (kesetaraan gender) dan pluralisme. Kalau orang menyakini bahwa semua agama benar, bahwa Tuhan semua agama itu sama, hanya berbeda dalam memanggil, bahwa semua kitab suci itu sama mukjizat, masih patutkah dikategorikan sebagai seorang muslim dan mukmin? Wallahu a’lam.

 

5.  Batasan yang diperbolehkan

·         membantu fakir miskin pada waktu hari raya, walaupun beda agama

·         saling menghargai pada saat ibadah atau merayakan hari besar keagamaan

·         hidup rukun dalam masyarakat demi terciptanya kerukunan antar umat beragama

·         tidak memaksakan keyakinan kita pada orang yang beda agama

 

Batasan yang tidak diperbolehkan

·         menganggu saat ibadahan

·         selalu memusuhi orang yang beda agama

·         memaksa orang lain untuk melaksanakan ajaran agama yang kita anut

·         tidak ada rasa persaudaraan karena merasa tidak sejalan

 

6. Kiranya tepatlah dikatakan bila ilmu ekonomi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ambisi dan materi, ilmu ekonomi dititik beratkan pada usaha mencapai tujuan. Allah pencipta manusia dan jin telah menciptakan manusia dari unsure jasmani dan rohani, bukan hanya manusia, semua makhluk tumbuhan dan hewanpun terdiri dari dua unsure tersebut.
Keberadaan jasad manusia, menghendaki kebutuhan-kebutuhan dan cara memenuhinya, tanpa memenuhi kebutuhan tersebut hidup tidak akan lestari, oleh karenanya tidak ada jalan lain untuk tidak memenuhinya selain dengan cara biologis, namun memenuhinya kebutuhan bukan berarti tujuan akhir hidup manusia. Karenanya kita harus meletakkan kebutuhan dalam kemampuan mental dan fisik dengan merubahnya menjadi kebutuhan akan menyembah Allah yang menciptakan kita. Inilah konsep pertama ekonomi islam.
Konsep kedua yaitu, beriman kepada Allah, sebagi muslim kita tidak bisa mentolerir politeisme sedikitpun. Tujuan setiap perbuatan yang bertentangan dengan keimanan terhadap keesaan Allah tidak ada kaitannya dengan islam. Karena dapat merusak dasar-dasar dan sandi islam. Berarti hanya ada dua alternative, monotoisme murni atau politeisme mutlak.
Dalam kebebasan berkehendak manusia tidak dapat memilih apapun, tidak ada pilihan ke-3 dalam keadaan apapun bila setan materialisme hendak mengungguli islam dan hendak menjadikannya sebagai sumber kebutuhan dan tolak ukur martabat maka berarti ia telah sama dengan menyekutukan Allah. Hal ini sangat bertentangan dengan prisip islam karena segala pemujaan atau penyembaan kepada selain Allah tidak akan membantu kepada pencapaian hidup. Cara tersebut bahkan sangat menyesatkan dan semakin menjauhkan para pengikutnya dari islam.
Konsep ekonomi islam yang ke-3, dalam situasi apapun aturan islam harus berlaku, ekonomi adalah bagian penting kehidupan manusia dalam segala bidang.
Islam adalah aturan hidup yang paling lengkap, dalam meletakkan dasar-dasar ekonomi islam diperlukan praktek dasar secara bersamaan untuk nmenunjukkan keeksistensi sebagi suatu keadaan yang tidak dapat dihindarkan. Sistem ekonomi islam tidak dapat dilaksanakan secar terpisah, untuk itu masyarakat harus siap menerapkan semua sistem islam lainnya seperti bidang hokum, sosial dan politik dalam waktu yang samatanpa semua itu aturan ekonomi tidak akan stabil dan tidak akan efektif misinya.
Aturan islam jika dilaksanakan diluar masyarakat muslim maka akan sia-sia aturan ekonomi islam secara komprehensif berbeda dengan aturan lainnya. Islam tidak pernah membolehkan ummatnya menjadi budak nafsu dan ambisi. Selain aturan ekonomi yang utama islam juga melatih orang agar martabatnya meningkat kepada derajat kemanusiaan yang lebih tinggi, islam menyeimbangkan hubungan antara seorang dengan penciptanya, walaupun kaum materialis mempunyai harta dan kekayaan tapi ia tidak mampu mencapai martabat yang mulia dan lebih tinggi dari Islam. Dilihat dari struktur kalimat, sistim ekonomi Islam terdiri dari tiga suku kata, yakni sistim; ekonomi dan Islam. Dalam Kamus Ilmiaqh Populer (Pius A Partanto dkk: 1994), sistim atau system bararti: metode; cara yang teratur (untuk melakukan sesuatu); susunan cara. Dan Ekonomi artinya: segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya; pengaturan rumah tangga. Islam artinya: damai, tenteram; agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan kitab suci Al-Qur’an. Jadi sistim ekonomi Islam adalah: segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya yang dilakukan dengan cara yang teratur, berdasarkan pandangan Islam. Sistim ekonomi Islam dibangun diatas landasan yang kokoh yang merupakan warisan yang tak ternilai sebagai wasiat utama bagi umat Islam yang tidak mungkin manusia akan tersesat selamanya selama berpegang kepada dua wasiat itu yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Para ulama baik dari kalangan ahli fiqih, ahli hadis, maupun ahli tafsir telah banyak menukilkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang berkenaan dengan prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam. Kesemuanya memberikan gambaran yang utuh tentang otensitas ajaran Islam dalam mengatur berbagai asfek kehidupan termasuk di dalamnya dalam urusan muamalah dalam hal ini tentang urusan ekonomi Islam.

Aspek muamalat dalam hukum Islam termasuk aspek yang luas ruang lingkupnya. Dalam Hal ini M. Quraish Shihab (Pengantar:2002;xx1), mengatakan “Pada dasarnya, pembahasan aspek hukum Islam yang bukan termasuk kategori aspek ibadah seperti shalat, puasa dan haji, bisa disebut sebagai aspek muamalat. Karena itu, masalah perdata, pidana pada umunya dapat digolongkan pada bidang muamalat. Dalam perkembangannya, aspek muamalat dalam hukum Islam, dibagi lagi menjadi: munakahat (perkawinan), jinayah (pidana) dan muamalat dalam arti khusus, yaitu aspek ekonomi dan bisnis dalam Islam. Dengan demikian, pada akhirnya materi fikih muamalat hanya terbatas pada aspek ekonomi dan hubungan kerja (bisnis) yang lazim dilakukan seperti jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.Keterangan diatas mempertegas bahwa aktivitas ekonomi dalam pandangan Islam merupakan salah satu bagian dari mu’amalah. Hal ini dijelaskan oleh Quraish Shihab (1988:408-409), dalam bukunya Wawawasan Al-Qur’an sebagai berikut:“Aktivitas antar manusia  - termasuk aktivitas ekonomi – terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu’amalah (interaksi). Pesaan utama Al-Qur’an dalam mu’amalah keuangan atau aktivitas ekonomi adalah: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau  melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara batil…(QS. Al-Baqarah:188)Perangkat nilai dasar menurut AM. Saefuddin (1984:17-41), adalah “implikasi dari asas filsafat system” yang dijadikan kerangka konstruksi sosial dan tingkah laku sistem, yaitu tentang organisasi pemilikan, pembatasan tingkah laku individual, dan norma tingkah laku para pelaku ekonomi. Sedangkan nilai-nilai instrumental system ekonomi menurut Saefuddin, merupakan fungsionalisasi system yang bersifat strategis dan sangat berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat serta pembangunan ekonomi umumnya, yang meliputi: zakat, Pelarangan riba, Kerjasama ekonmi, Jaminan Sosial, dan Peranan Negara Dalam Sistem Ekonomi. Dalam ajaran Islam semua asfek kehidupan memiliki kedudukan tersendiri yang diatur secara lengkap oleh Al Qur’an dan diterjemahkan secara utuh oleh Hadis Rasulullah yang pada akhirnya direkontruksi menjadi sebuah konsepsi teoritis oleh para fuqoha, para ulama dan ilmuwan Islam yang mampu diaplikasikan dalam kehidupan umat. Ilmu ekonomi Islam juga mendapat

tantangan yang cukup berat dari ilmu ekonomi konvensional. Hal ini terjadi mengingat ilmu ekonomi yang berkembang di

dunia Barat dilandasi dengan kebebasan individu dalam melakukan kontrak dengan syarat tidak merugikan satu sama

lain. Konsep-konsep ekonomi konvensional versi Barat perlu diredefinisi agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

syari’at Islam. Di antara konsep-konsep tersebut antara lain:

1. Konsep Harta

Masalah yang timbul dalam konsep harta adalah bahwa ilmu ekonomi konvensional tidak mengenal adanya nilai dalam

pemilikan harta. Sejauh dapat menimbulkan nilai ekonomis, segala sesuatu dapat diakui sebagai harta. Tidak heran bila

barang-barang haram seperti minuman keras dan daging babi termasuk property yang sah untuk dijadikan sebagai salah

satu komoditi bisnis .

2. Konsep Uang

Pembahasan dalam fiqh mu’amalat mengasumsikan bahwa uang yang digunakan masyarakat adalah uang riil

(real money) yaitu emas dan perak. Padahal sejak jaman penjajahan, uang emas dan perak tidak lagi digunakan

sebagai alat tukar. Sebagai gantinya uang kertas menjadi alat tukar yang berlaku di tengah masyarakat. Para ulama

berbeda pendapat tentang hukum uang kertas ini. Ada yang menganggap bahwa uang kertas tidak diterima dalam

syariah karena bukan harta riil dan ada pula yang dapat menerimanya .

3. Konsep Bunga dan Riba

Dalam ilmu ekonomi, bunga merupakan asumsi yang tidak lagi menjadi bahan perdebatan meskipun sampai saat ini

para ekonom masih sulit mencari justifikasi terhadapnya. Dalam ilmu fiqh mu’amalat istilah ini tidak dikenal

meskipun pembahasan tentang hukum riba boleh dikatakan telah selesai dan para ulama sepakat mengharamkannya .

Dengan konsep uang kertas (abstract money), konsep bunga dan riba menjadi pembahasan yang bekelanjutan.

4. Konsep Time Value of Money

Sebagian besar teori tentang menajemen keuangan dibangun berdasarkan konsep nilai dan waktu dari uang yang

mengasumsikan bahwa nilai uang sekarang relatif lebih besar ketimbang di masa yang akan datang. Sedangkan di sisi

lain, tidak didapati penjelasannya dalam fiqh mu’amalat meskipun perdebatan tentangn jual beli tangguh

(ba’i mu’ajjal) termasuk diskusi yang tidak sedikit di antara para ulama .

5. Konsep Modal

Modal dalam pengertian ilmu ekonomi adalah segala benda, baik yang fisik maupun yang abstarak, yang memiliki nilai

ekonomis dan produktif. Termasuk dalam pengertian ini adalah uang dan intellectual property right. Dalam fiqh

mu’amalat klasik, pengertian modal terbatas pada benda fisik. Uang hanya dapat berperan sebagai alat tukar.

Apabila ia ingin menjadi modal yang digunakan untuk memperoleh keuntungan ia harus terlebih dahulu diubah ke dalam

bentuk fisik .

6. Konsep Lembaga

Ilmu ekonomi tidak mempersoalkan adanya individual entity atau abstract entity. Berbeda halnya dengan fiqh

mu’amalat yang objeknya kepada mukallaf secara individual. Hal ini akan membawa dampak bagi analisa tentang

kepemilikan dan hubungannnya dengan kepemilikan .

Problem epistemologis ilmu ekonomi Islam dan tantangan yang diberikan oleh ilmu ekonomi konvensional yang

disebutkan di atas dapat berimplikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada out put yang dihasilkan oleh

jurusan ekonomi Islam. Fiqh mu’amalat yang diajarkan di jurusan ekonomi Islam tidak mampu untuk

menghasilkan para sarjana muslim yang diterima oleh dunia kerja. Alasannya adalah bahwa skill dan penguasaan

terhadap ekonomi real lebih dibutuhkan sektor industri dan dunia kerja dibandingkan dengan keahlian dalam masalah istimbath al-ahkam

 

7. Ekonomi islam,  sistem perekonomian, membantu manusia untuk menyembah Tuhannya yang telah memberi rezki, dan untuk menyelamatkan manusia dari kemiskinan yang bisa mengkafirkan dan kelaparan yang bis mendatangkan dosa. Oleh karena itu, rumusan sistem islam berbeda sama sekali dari sistem-sistem yang lain nya. Sebagai sistem ekonomi, ia memiliki akar dalam syari’ah yang menjadi sumber pandangan dunia, sekaligus tujuan dan strateginya (Zainul Bahar, 1999; Qardhawi, 1997:72). Oleh karena itu, semua aktifitas ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi, perdagangan, tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir kepada Tuhan. Kalau seorang muslim bekerja di bidang produksi, maka pekerjaan itu dilakukan  tidak lain karena ingin memenuhi perintah Allah (Q. S al-mulk (67):15). Ketika menanam, membajak, atau melakukan pekerjaan lainnya, seorang muslim merasa bahwa ia bekerja dalam rangka beribadah kepada Allah. Makin tekun ia bekerja, makin takwa ia kepada Allah. Bertambah rapi pekerjaannya, bertambah dekat kepada Allah, tertanam dalam hati nya bahwa semua itu adalah rezki dari Allah, maka patutlah bersyukur (Q.S al baqoroh (2) : 172).

 

 

 

 

 

 

 

NAMA            : Singgih

NPM               : 090401140059

KELAS           : PGSD B

 

1. Jika hal-hal tersebut terus berkembang di masyarakat, maka kebenaran  yang sesungguhnya tidak akan pernah muncul, bahkan hal-hal tersebut bisa meluas  pada generasi selanjutnya, semakin lama, masyarakat akan turun temurun mewariskan keyakinan seperti itu pada anak dan cucunya, karena hal-hal seperti itu bertentangan dengan agama, maka sebaiknya tidak usah dipercayai karena tidak ada manfaatnya, bahkan bisa mendatangkan rasa syirik dalam hati manusia, mereka akan senantiasa hidup dalam kondisi yang meragukan.

Upaya yang saya lakukan sebagai calon guru adalah membimbing generasi selanjutnya agar tidak ikut-ikutan mempercayai hal-hal tersebut. karena hal-hal tersebut tidak ada dalam al-Quran dan hadist. Kita umat islam harus berpegang teguh pada al-Quran dan hadist dan tidak boleh menyimpang dari keduanya, dengan membimbing generasi muda ini, akan memutus arus kepercayaan yang bisa menimbulkan rasa syirik.

 

2. Dalam sebuah ayat al-Quran, “Dan janganlah engkau turut apa-apa yang engkau tidak ada ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan ditanya,” (QS. Al-Isra:36). Ayat al-Quran tersebut menjelaskan bahwa ilmu merupakan dasar dari segala tindakan manusia. Karena tanpa ilmu segala tindakan manusia menjadi tidak terarah, tidak benar dan tidak bertujuan. Kata ilmu berasal dari kata kerja ‘alima, yang berarti memperoleh hakikat ilmu, mengetahui, dan yakin. Ilmu, yang dalam bentuk jamaknya adalah ‘ulum, artinya ialah memahami sesuatu dengan hakikatnya, dan itu berarti keyakinan dan pengetahuan. Jadi ilmu merupakan aspek teoritis dari pengetahuan. Dengan pengetahuan inilah manusia melakukan perbuatan amalnya. Jika manusia mempunyai ilmu tapi miskin amalnya maka ilmu tersebut menjadi sia-sia.Dalam beberapa riwayat di jelaskan tentang hubungan ilmu dan amal itu. Imam Ali as berkata, “Ilmu adalah pemimpin amal, dan amal adalah pengikutnya.” Demikian juga dengan perkataan Rasulullah saw , “Barangsiapa beramal tanpa ilmu maka apa yang dirusaknya jauh lebih banyak dibandingkan yang diperbaikinya.” Pada riwayat lain dijelakan Imam Ali as berkata, “Ilmu diiringi dengan perbuatan. Barangsiapa berilmu maka dia harus berbuat. Ilmu memanggil perbuatan. Jika dia menjawabnya maka ilmu tetap bersamanya, namun jika tidak maka ilmu pergi darinya.”
            Dari riwayat di atas maka jika orang itu berilmu maka ia harus diiringi dengan amal. Amal ini akan mempunyai nilai jika dilandasi dengan ilmu, begitu juga dengan ilmu akan mempunyai nilai atau makna jika diiringi dengan amal. Keduanya tidak dapat dipisahkan dalam perilaku manusia. Sebuah perpaduan yang saling melengkapi dalam kehidupan manusia, yaitu setelah berilmu lalu beramal. Pengertian amal dalam pandangan Islam adalah setiap amal saleh, atau setiap perbuatan kebajikan yang diridhai oleh Allah SWT. Dengan demikian, amal dalam Islam tidak hanya terbatas pada ibadah, sebagaimana ilmu dalam Islam tidak hanya terbatas pada ilmu fikih dan hukum-hukum agama. Ilmu dalam dalam ini mencakup semua yang bermanfaat bagi manusia seperti meliputi ilmu agama, ilmu alam, ilmu sosial dan lain-lain. Ilmu-ilmu ini jika dikembangkan dengan benar dan baik maka memberikan dampak yang positif bagi peradaban manusia. Misalnya pengembangan sains akan memberikan kemudahan dalam lapangan praktis manusia. Demikian juga pengembangan ilmu-ilmu sosial akan memberikan solusi untuk pemecahan masalah-masalah di masyarakat. Jadi, mengiringi ilmu dengan amal merupakan keharusan. Dalam pandangan Khalil al-Musawi dalam buku Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana, hubungan ilmu dengan amal dapat difokuskan pada dua hal : Pertama, ilmu adalah pemimpin dan pembimbing amal perbuatan. Amal bisa lurus dan berkembang bila didasari ilmu. Berbuat tanpa didasari pengetahuan tidak ubahnya dengan berjalan bukan di jalan yang benar, tidak mendekatkan kepada tujuan melainkan menjauhkan. Dalam semua aspek kegiatan manusia harus disertai dengan ilmu, baik itu yang berupa amal ibadah maupun amal perbuatan lainnya. Dalam ibadah harus disertai dengan ilmu. Jika ada orang yang melakukan ibadah tanpa didasari ilmu tidak ubahnya dengan orang yang mendirikan bangunan di tengah malam dan kemudian menghancurkannya di siang hari. Begitu juga, hal ini pun berlaku pada amal perbuatan yang lain, dalam berbagai bidang. Memimpin sebuah negara, misalnya, harus dengan ilmu. Negara yang dipimpin oleh orang bodoh akan dilanda kekacauan dan kehancuran. Sedangkan kedua, sesungguhnya ilmu dan amal saling beriringan. Barangsiapa berilmu maka dia harus berbuat, baik itu ilmu yang berhubungan dengan masalah ibadah maupun ilmu-ilmu yang lain. Tidak ada faedahnya ilmu yang tidak diamalkan. Amal merupakan buah dari ilmu, jika ada orang yang mempunyai ilmu tapi tidak beramal maka seperti pohon yang tidak menghasilkan manfaat bagi penanamnya. Begitu pula, tidak ada manfaatnya ilmu fikih yang dimiliki seorang fakih jika dia tidak mengubahnya menjadi perbuatan. Begitu juga, tidak ada faedahnya teori-teori atau penemuan-penemuan yang ditemukan seorang ilmuwan jika tidak diubah menjadi perbuatan nyata. Karena wujud dari pengetahuan itu adalah amal dan karya nyatanya. Ilmu tanpa diiringi dengan amal maka hanya berupa konsep-konsep saja. Ilmu yang tidak dilanjutkan dengan perbuatan, mungkin kita dapat menyebutnya sebagai pengetahuan teoritis. Namun, apa faedahnya ilmu teoritis jika kita tidak menerjemahkannya ke dalam ilmu praktis. Jika ilmu tidak diimplementasikan maka akan memberikan dampak yang negatif. Salah-satu penyakit sosial yang paling berbahaya yang melanda berbagai umat – termasuk umat Islam - adalah penyakit pemutusan ilmu-khususnya ilmu-ilmu agama –dari amal perbuatan, dan berubahnya ilmu menjadi sekumpulan teori belaka yang jauh dari kenyataan dan penerapan. Padahal, kaedah Islam menekankan bahwa ilmu senantiasa menyeru kepada amal perbuatan. Keduanya tidak ubahnya sebagai dua benda yang senantiasa bersama dan tidak terpisah satu sama lain. Jika amal memenuhi seruan ilmu maka umat menjadi baik dan berkembang. Namun jika tidak, maka ilmu akan meninggalkan amal perbuatan, dan dia akan tetap tinggal tanpa memberikan faedah apa pun. Jika demikian nilai apa yang dimiliki seorang manusia yang mempunyai segudang teori dan pengetahuan namun tidak mempraktikkannya dalam dunia nyata. Pertalian ilmu dengan amal tidak hanya dituntut dari para pelajar agama dan para ahli yang mendalami suatu ilmu, melainkan juga dituntut dari setiap orang, baik yang memiliki ilmu sedikit ataupun banyak. Namun, tentunya orang-orang yang berilmu memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam hal ini, karena mereka memiliki kemampuan yang lebih. Allah SWT berfirman di dalam surat Ash-Shaff, ayat (2-3), “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. Sungguh besar murka Allah kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” Jika kita memperhatikan ayat-ayat al-Quran, niscaya kita akan menemukan bahwa al-Quran senantiasa menggandengkan ilmu dengan amal. Makna ilmu diungkapkan dalam bentuk kata iman pada banyak tempat, dengan pengertian bahwa iman adalah ilmu atau keyakinan. Di antaranya ialah :“Demi waktu Asar, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran dan kebajikan.” (QS. Al-‘Ashr:1-3). Dalam ayat lain dikatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.” (QS. Al-Kahfi : 107). Demikian juga dengan ayat, “Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagian dan tempat kembali yang baik.” (QS. Ar-Ra’d :29). Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang betapa ilmu dan amal shaleh memiliki kaitan yang erat yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Karena keduanya bagai dua keping mata uang, yang saling memberi arti. Inilah yang sejalan dengan ucapan Imam Ali as, “Iman dan amal adalah dua saudara yang senantiasa beriringan dan dua sahabat yang tidak berpisah. Allah tidak akan menerima salah satu dari keduanya kecuali disertai sahabatnya.”
            Dengan perspektif keterpaduan ilmu dan amal, maka akan memberikan perkembangan kearah perbaikan dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat akan berlomba-lomba dalam memberikan amal shaleh satu sama lain. Imam Ali as berkata, “Jangan sampai ilmumu menjadi kebodohan dan keyakinanmu menjadi keraguan. Jika engkau berilmu maka beramalah, dan jika engkau yakin maka majulah.” Dengan ilmu yang benar, serta amal shaleh maka masyarakat bergerak dari kebodohan menuju kepintaran, dari ketertinggalan menuju kemajuan dan dari kehancuran menuju kebangkitan.

3. Sudah menjadi kewajiban kita semua untuk ikut serta ambil peran dalam usaha bersama bangsa kita untuk mewujudkan masyrakat berperadaban, masyarakat madani, civil society, dinegara kita tercinta, Republik Indonesia. Karena terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adalah Nabi Muhammad Rasulullah sendiri yang memberi teladan kepada umat manusia ke arah pembentukan masyarakat peradaban. Setelah belasan tahun berjuang di kota Mekkah tanpa hasil yang terlalu menggembirakan, Allah memberikan petunjuk untuk hijrak ke Yastrib, kota wahah atau oase yang subur sekitar 400 km sebelah utara Mekkah. Sesampai di Yastrib, setelah perjalanan berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, Nabi disambut oleh penduduk kota itu, dan para gadisnya menyanyikan lagu Thala'a al-badru 'alaina (Bulan Purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair dan lagu yang kelak menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Kemudian setelah mapan dalam kota hijrah itu, Nabi mengubah nama Yastrib menjadi al-Madinat al-nabiy (kota nabi). Secara konvensional, perkataan "madinah" memang diartikan sebagai "kota". Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna "peradaban". Dalam bahasa Arab, "peradaban" memang dinyatakan dalam kata-kata "madaniyah" atau "tamaddun", selain dalam kata-kata "hadharah". Karena itu tindakan Nabi mengubah nama Yastrib menjadi Madinah, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar hendak mendirikan dan membangun mansyarakat beradab. Tak lama setelah menetap di Madinah itulah, Nabi bersama semua penduduk Madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani, dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama-sama. Dan di Madinah itu pula, sebagai pembelaan terhadap masyarakat madani, Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perang membela diri dan menghadapi musuh-musuh peradaban. Jika kita telaah secara mendalam firman Allah yang merupakan deklarasi izin perang kepada Nabi dan kaum beriman itu, kita akan dapat menangkap apa sebenarnya inti tatanan sosial yang ditegakkan Nabi atas petunjuk Tuhan. Diizinkan berperang bagi orang-prang yang diperangi, karena mereka sesungguhnya telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah amat berkuasa untuk menolong mereka.Yaitu mereka yang diusir dari kampung halaman mereka secara tidak benar, hanya karena mereka berkata: "Tuhan kami ialah Allah". Dan kalaulah Allah tidak menolak (mengimbangi) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya runtuhlah gereja-gereja, sinagog-sinagog, dann masjid-masjid yang disitu banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah akan menolong siapa saja yang menolong-NYA (membela kebenaran dan keadilan).Yaitu mereka, yang jika kami berikan kedudukan di bumu, menegakkan sembahyang serta menunaikan zakat, dan mereke a menuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat kejahatan, dan mereka mennyuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat kejahatan. Dan bagi Allah jualah segala kesudahan semua perkara. (Q.S. Al-Hajj-39-41). Dari firman deklarasi izin perang kepada nabi dan kaum beriman itu, bahwa perang dalam masyarakat madani dilakukan karena keperluan harus mempertahankan diri, melawan dan mengalahkan kezaliman. Perang itu juga dibenarkan dalam rangka membela agama dan sistem keyakinan, yang intinya ialah kebebasan menjalankan ibadat kepada Tuhan. Lebih jauh, perang yang diizinkan Tuhan itu adalah untuk melindungi lembaga-lembaga keagamaan seperti biara, gereja, sinagog, dan mesjid (yang dalam lingkungan Asia dapat ditambah dengan kuil, candi, kelenteng, dan seterusnya) dari kehancuran. Perang sebagai suatu keterpaksaan yang diizinkan Allah itu merupakan bagian dari mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang diciptakan Allah untuk menjaga kelestarian hidup manusia. Seperti dunia sekarang ini yang selamat dari "kiamat nuklir" karena perimbangan kekuatan nuklir antara negara-negara besar, khususnya Amerika dan Rusia (yang kemudian masing-masing tidak berani menggunakan senjata nuklirnya—yang disebut "kemacetan nuklir"), masyarakat pun berjalan mulus dan terhindar dari bencana jika di dalamnya terdapat mekanisme pengawasan dan pengimbangan secara mantap dan terbuka (renungkan QS Al-Baqarah:152). Dengan memahami prinsip-prinsip itu, kita juga akan dapat memahami masyarakat madani yang dibangun nabi di Madinah. Membangun masyarakat peradaban itulah yang dilakukan Nabi selama sepuluh tahun di Madinah. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-NYA. Taqwa kepada Allah dalam arti semangat ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam peristilahan Kitab Suci juga disebut semangat Rabbaniyah (QS Alu Imran:79) atau ribbiyah (QS Alu Imran:146). Inilah hablun mim Allah, tali hubungan dengan Allah, dimensi vertikal hidup manusia, salah satu jaminan untuk manusia agar tidak jatuh hina dan nista. Semangat Rabbaniyah atau ribbiyah itu, jika cukup tulus dan sejati, akan memancar dalam semangat perikemanusiaan, yaitu semangat insaniyah, atau basyariyah, dimensi horisontal hidup manusia, hablun min al-nas. Kemudian pada urutannya, semangat perikemanusiian itu sendiri memancar dalam berbagai bentuk hubungan pergaulan manusia yang penuh budi luhur. Maka tak heran jika Nabi dalam sebuah hadisnya menegaskan bahwa inti sari tugas suci beliau adalah untuk "menyempurnakan berbagai keluhuran budi". Masyarakat berbudi luhur atau berakhlak mulia itulah, masyarakat berperadaban, masyarakat madani, "civil society". Masyarakat Madani yang dibangun nabi itu, oleh Robert N. Bellah, seorang sosiologi agama terkemuka disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga setelah nabi sendiri wafat tidak bertahan lama. Timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti dirintis Nabi. Setelah Nabi wafat, masyarakat madani warisan Nabi itu, yang antara lain bercirikan egaliterisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan, hanya berlangsung selama tiga puluh tahunan masa khulafur rasyidin. Sesudah itu, sistem sosial madani dengan sistem yang lebih banyak diilhami oleh semangat kesukuan atau tribalisme Arab pra-Islam, yang kemudian dikukuhkan dengan sistem dinasti keturunan atau geneologis itu sebagai "Hirqaliyah" atau "Hirakliusisme", mengacu kepada kaisar Heraklius, penguasa Yunani saat itu, seorang tokoh sistem dinasti geneologis. Begitu keadaan dunia Islam, terus-menerus hanya mengenal sistem dinasti geneologis, sampai datangnya zaman modern sekarang. Sebagian negara muslim menerapkan konsep negara republik, dengan presiden dan pimpinan lainnya yang dipilih. Karena itu, justru dalam zaman modern inilah, prasarana sosial dan kultural masyarakat madani yang dahulu tidak ada pada bangsa manaoun di dunia, termasuk bangsa Arab, mungkin akan terwujud. Maka kesempatan membangun masyarakat madani menuurut teladan nabi, justru mungkin lebih besar pada masa sekarang ini. Berpangkal dari pandangan hidup bersemangat ketuhanan dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia (QS Fushshilat:33), masyarakat madani tegak berdiri di atas landasan keadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang kepada hukum. Menegakkan hukum adalah amanat Tuhan Yang Maha Esa, yang diperintahkan untuk dilaksanakan kepada yang berhak (QS Al-Nisa:58). Dan Nabi telah memberi telaadan kepada kita. Secara amat setia beliau laksanakan perintah Tuhan itu. Apalagi Al-Qur'an juga menegaskan bahwa tugas suci semua Nabi ialah menegakkan keadilan di antara manusia (QS Yunus:47). Juga ditegakkan bahwa para rasul yang dikirim Allah ke tengah umat manusia dibekali dengan kitab suci dan ajaran keadilan, agar manusia tegak dengan keadilan itu (QS al-Hadid:25). Keadilan harus ditegakkan, tanpa memandang siapa yang akan terkena akibatnya. Keadilan juga harus ditegakkan, meskipun mengenai diri sendiri, kedua orang tua, atau sanak keluarga (QS A-'Nisa:135). Bahkan terhadap orang yang membenci kita pun, kita harus tetap berlaku adil, meskipun sepintas lalu keadilan itu akan merugikan kita sendiri (QS Al-Ma'idah:8). Atas pertimbangan ajaran itulah, dan dalam rangka menegakkan masyarakat madani, Nabi tidak pernah membedakan anatara "orang atas", "orang bawah", ataupun keluaarga sendiri. Beliau pernah menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah karena jika "orang atas" melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi jika "orang bawah" melakukannya pasti dihukum. Karena itu Nabi juga menegaskan, seandainya Fatimah pun, puteri kesayangan beliau, melakukan kejahatan, maka beliau akan menghukumnya sesuai ketentuan yang berlaku. Masyarakat berperadaban tak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, yang dimulai dengan ketulusan komitmen pribadi. Masyarakat berperadaban memerlukan adanya pribadi-pribadi yang dengan tulus mengikatkan jiwanya kepasda wawasan keadilan. Ketulusan ikatan jiwa itu terwujud hanya jika orang bersangkutan ber-iman, percaya dan mempercayai, dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan, dalam suatu keimanan etis, artinya keimanan bahwa Tuhan menghendaki kebaikan dan menuntut tindakan kebaikan manusia kepada sesamanya. Dan tindakan kebaikan kepada sesama manusia harus didahului dengan diri sendiri menempuh hidup kebaikan, seperti dipesankan Allah kepada para Rasul (QS Al-Mu'minun:51), agar mereka "makan dari yang baik-baik dan berbuat kebajikan." Ketulusan ikatan jiwa, juga memerlukan sikap yang yakin kepada adanya tujuan hidup yang lebih tinggi daripada pengalaman hidup sehari-hari di dunia ini. Ketulusan ikatan jiwa perlu kepada keyakinan bahwa makna dan hakikat hidup manusia pasti akan menjadi kenyataan dalam kehidupan abadi, kehidupan setelah mati, dalam pengalaman bahagia atau sengsara. Karena itu, ketulusan ikatan jiwa kepada keadilan mengharuskan orang memandang hidup jauh di depan, tidak menjadi tawanan keadaan di waktu sekarang dan di tempat ini (dunia) (QS Al-'Araf:169). Tetapi, tegaknya hukum dan keadilan tak hanya perlu kepada komitmen-komeitmen pribadi. Komitmen pribadi yang menyatakan diri dalam bentuk "itikad baik", memang mutlak diperlukan sebagai pijakan moral dan etika dalam masyarakat. Sebab, bukankah masyarakat adalah jumlah keseluruhan pribadi para anggotanya? Apalagi tentang para pemimpin masyarakat atau public figure, maka kebaikan itikad itu lebih-lebih lagi dituntut, dengan menelusuri masa lalu sang calon pemimpin, baik bagi dirinya sendiri maupun mungkin keluarganya. Karena itu, di banyak negara, seorang calon pemimpin formal harus mempunyai catatan perjalanan hidup yang baik melalui pengujian, bukan oleh perorangan atau kelembagaan, tetapi oleh masyarakat luas, dalam suasana kebebasan yang menjamin kejujuran. Namun sesungguhnya, seperti halnya dengan keimanan yang bersifat amat pribadi, itikad baik bukanlah suatu perkara yang dapat diawasi dari diri luar orang bersangkutan. IA dapat bersifat sangat subjektif, dibuktikan oleh hampir mustahilnya ada orang yang tidak mengaku beritikad baik. Kecuali dapat diterka melalui gejala lahir belaka, suatu itikad baik tak dapat dibuktikan, karena menjadi bagian dari bunyi hati sanubari orang bersangkutan yang paling rahasia dan mendalam. Oleh sebab itu, iitikad pribadi saj atidak cukup untuk mewujudkan masyarakat berperadaban. Itikad baik yang merupakan buah keimanan itu harus diterjemahkan menjadi tindakan kebaikan yang nyata dalam masyarakat, berupa "amal saleh", yang secara takrif adalah tindakan membawa kebaikan untuk sesama manusia. Tindakan kebaikan bukanlah untuk kepentingan Tuhan, sebab Tuhan adalah Maha Kaya, tidak perlu kepada apapun dari manusia. Siapa pun yang melakukan kebaikan, maka dia sendirilah --melalui hidup kemasyarakatannya-- yang akan memetik dan merasakan kebaikan dan kebahagiaan. Begitu pula sebaiknya, siapapun yang melakukan kejahatan, maka dia sendiri yang kan mewnanggung akibat kerugian dan kejahatannya. (QS Fushilat:46, Al-Jatsiyah:15). Jika kita perhatikan apa yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari, jelas sekali bahwa nilai-nilai kemasyarakatan yang terbaik sebagian besar dapat terwujud hanya dalam tatanan hidup kolektif yang memberi peluang kepada adanya pengawasan sosial. Tegaknya hukum dan keadilan, mutlak emmerlukan suatu bentuk interaksi sosial yang memberi peluang bagi adanya pengawasan itu. Pengawasan sosial adalah konsekuensi langsung dari itikad baik yang diwujudkan dalam ttindakan kebaikan. Selanjutnya, pengawasan sosial tidak mungkin terselenggara dalam suatu tatanan sosial yang tertutup. Amal soleh ataupun kegiatan "demi kebaikan", dengan sendirinya berdimensi kemanusiaan, karena berlangsung dalam suatu kerangka hubungan sosial, dan menyangkut orang banyak. Suatu klaim berbuat baik untuk masyarakat, apalagi jika pebuatan atau tindakan itudilakukan melaluipenggunaan kekuasaan, tidak dapat dibiarkan berlangsung denan mengabaikan masyarakat, apalagi jika perbuatan atau tindakan dilakukan melalui penggunaan kekuasaan. tidak dapat dibiarkan berlangsung dengan mengabaikan masyarakat itu sendiri dengan berbagai pandangan, penilaian dan pendapat yang ada. Dengan demikian, masyarakat madani akan terwujud hanya jika terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyrakat. Keterbukaan adalah konsekuensi dari kemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara optimis dan positif. Yaitu pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (QS Al-'araf: 172, Al-Rum:30), sebelum terbukti sebaliknya. Kejahatan pribadi manusia bukanlah sesuatu hal yang alami berasal dari dalam kediriannya. Kejahatan terjadi sebagai akibat pengaruh dari luar, dari pola budaya yang salah, yang diteruskan terutama oelh seorang tua kepada anaknya. Karena itu, seperti ditegaskan dalam sebuah hadist Nabi, setiap anak dilahirkan dlam kesucian asal, namun orangtuanyalah yang membuatnya menyimpang dari kesucian asal itu. Ajaran kemanusiaan yang suci itu membawa konsekuensi bahwa kita harus melihat sesama manusia secara optimis dan positif, sdengan menerapkan prasangka baik (husn al-zhan), bukan prasangka buruk (su' al-zhan), kecuali untuk keperluan kewaspadaan seeprlunya dalam keadaan tertentu. Tali persaudaraan sesama manusia akan terbina antara lain jika dalam masyarakat tidak terlalu banyak prasangka buruk akibat pandangan yang pesimis dan negatif kepada manusia (QS al-Hujurat:12). Berdasarkan pandangan kemanusiaan yang optimis-positif itu, kita harus memandang bahwa setiap orang mempunyai potensi untuk benar dan baik. Karena itu, setiap orang mempunyai potensi untuk menaytakan pendapat dan untuk didengar. Dari pihak yang mndengar, kesediaan untuk mendengar itu sendiri memerlukan dasar moral yang amat penting, yaitu sikap rendah hati, berupa kesiapan mental untuk menyadari dan mengakui diri sendiri selalu berpotensi untuk membuat kekeliruan. Kekeliruan atau kekhilafan terjadi karena manusia adalah makhluk lemah (QS Al-Nisa': 28). Keterbukaan adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Keterbukaaan serupa itu dalam kitab suci disebutkan sebagai tanda adanya hidayah dari Allah, dan membuat yang bersangkutan tergolong orang-orang yang berpikiran mendalam (ulu' al-bab), yang sangat beruntung (QS al-Zumar:17-18).

Usaha yang dapat saya lakukan ialah menyelesaikan masalah dengan jalan musyawarah. Musyawarah pada hakikatnya tak lain adalah interaksi positif berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberi hak untuk menyatakan pendapat, dan saling mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat itu. Dalam bahasa lain, musyawarah ialah hubungan interaktif untuk saling mewngingatkan tentang kebenaran dan kebaikan serta ketabahan dalam mencari penyelesaian masalah bersama, dalam suasana persamaan hak dan kewajiban antara warga masyarakat (QS al-'Ashar). Itulah masyarakat demokratis, yang berpangkal dari keteguhan wawasan etis dan moral berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Masyarakat demokratis tidak mungkin tanpa masyarakat berperadaban, masyarakat madani. Berada di lubuk paling dalam dari masyarakat madani adalah jiwa madaniyah, civility, yaitu keadaban itu sendiri. Yaitu sikap kejiwaaan pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selamanya benar, dan tidak ada suatu jawaban yang selamanya benar atas suatu masalah. Dari keadaan lahir sikap yang tulus untuk menghargai sesama manusia, betappaun seorang individu atau suatu kelompok berbeda dengan diri sendiri dan kelompok sendiri. Karena itu, keadaban atau civility menuntut setiap orang dan kelompok masyarakat untuk menghindar dari kebiasaan merendahkan orang atau kelompok lain, sebab "Kalau-kalau mereka yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka yang direndahkan" (QS al-Hujurat:11). Tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan pluralisme, adalah kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Sebab toleransi dan pluralisme tak lain adalah wujud dari "ikatan keadaban" (bond of civility), daolam sarti, sebagaimana telah dikemukakan, bahwa masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan interaksi sosial yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betappaun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri. Bangsa Indonesia memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk nmenegakkan masyarakat madani. Dan kita semua sangat berpengharapan bahwa masyarakat madani akan segera tumbuh semakain kuat di amsa dekat ini. Kemajuan besar yang telah dicapai oleh Orde Baru dala m meningkatkan taraf hidup rakyat dan kecerdasan umum, adalah alasan utam akita untuk berpengaharapan itu. Kita wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berterima kasih kepada para pemimpin bangsa, bahwa keadaaan kita sekarang ini, hampir di segala bidang, jauh lebih baik, sangat jauh lebih baik, daripada dua-tiga dasawarsa yang lalu. Tetapi, sejalan dengan suatu cara Nabi bersyukur kepada Allah, yaitu dengan memohon ampun kepada-Nya, kita pun bersyukur kepada-Nya dengan menyadari dan mengakui berbagai kekurangan kita. Dan kita semua tidak mau menjadi korban keberhasilan kita sendiri, misalnya karena kurang mampu melakukan antisipasi terhadap tuntutan masyarakat yang semakin berkecukupan dan berpendidikan. Terkiaskan denagn makna ungkapan "revolusi sering memakan anaknya sendirinya sendiri", kita semua harus berusaha mencegah jangan sampai "keberhasilan memakan anaknya sendiri" pula. 

4. Sekularisme dalam Kamus Oxford didefinasikan sebagai “wordly or material. Not religious or spiritual” maksudnya keduniaan atau kebendaan, bukan agama atau roh. Para ulama’ telah bersepakat menyatakan bahawa sekularisme menyampingkan agama dari urusan kenegaraan, kemasyarakatan dan ekonomi. Ia meletakkan agama dalam ruang lingkup yang amat sempit dan memberi kebebasan kepada individu menganut agama yang disukainya. Faham sekularisme ini menjadi Ibu kepada puluhan isme lain. Walaupun pada asalnya ia sekedar pengasingan agama daripada dunia tetapi terus berkembang dan berpegang dengan prinsip “here and now”. Secara tidak langsung fahaman ini menghasilkan penolakan terhadap hari akhirat dan manusia bebas melakukan apa saja. Menurut Prof. Dr. Sayyid Muhammad Naquib Al-Attas, beliau menganggap bahwa sekularisme adalah faham kekinidisian, yaitu  penumpuan pada zaman sekarang dan ruang kehidupan duniawi. Bagi manusia sekularis tidak ada ‘nanti’ (hari akhirat) dan tidak ada ‘ sana’ (kehidupan ukhrawi) atau sekurang-kurangnya tidak mempedulikannya. Menurut mereka yang wujud hanya alam fizikal ini dan dengan demikian mereka menolak realiti-realiti metafizik. World-view seperti itu jelas sempit dan terbatas, sekadar nazrah atau pandangan inderawi terhadap al-kawn atau alam fizikal. Namun demikian, ini bertentangan dengan world-view Islami yang meliputi segala kewujudan alam syahadah dan alam ghaib, alam tabi’i dan alam metafizik yang dapat dilihat dengan mata inderawi dan tampak pada pandangan a’kli-nurani. Oleh yang demikian, kerana itulah Prof Al-Attas mendefinasikan world-view Islami sebagai ru’yat al-Islam li al-wujud. Manakala pandangan Dr. Uthman El-Muhammady, di mana beliau telah mengupas istilah sekular daripada sudut barat serta secular dalam bentuk pengetahuan dan amalan dalam Islam. Istilah sekular dari sudut pendidikan, seni (musik), sejarah, sastra dan lain-lain, membawa maksud pendidikan yang tidak berhubung dengan agama atau mengecualikan pengajaran agama dari pendidikan. Dr. Uthman telah membedakan sekular dari sudut negatif dan positif. Dari sudut negatif apabila sekular diamalkan, langsung tidak mempunyai hubungan dengan kerohanian (lebih kepada duniawi) dan juga bertentangan dengan prinsip Islam itu sendiri. Manakala sekular yang positif pula ialah yang dibolehkan dalam Islam, contohnya seseorang yang melakukan kerja yang dicampur dengan fahaman ini untuk membolehkan ia menunaikan ibadah kepada Allah SWT. Namun begitu, beliau menyatakan bahwa lebih wajar sekiranya istilah sekular ini tidak diartikan kepada maksud yang positif (yang boleh diamalkan) dan negatif (yang benar-benar keji) yang pastinya setiap sekular itu hanya menjurus ke arah keduniaan tanpa dikaitkan dengan urusan ukhrawi. Hal ini apabila dikaitkan dengan kerohanian ia berubah menjadi sakral (suci). Istilah sekularisme secara keseluruhannya yang dipetik dari kamus Webster’s Encyclopedia, kamus Al-Mawrid, kamus Dewan dan Oxford English Dictionary jelas menunjukkan bahwa setiap perkara yang dilakukan hanya berhubung dengan dunia tanpa berkaitan dengan Zat Mutlak (Allah SWT).

PLURALISME: Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi. Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar. Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.

Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran.

Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing.

Liberalisme: Berasal dari bahasa latin Liber, yang artinya bebas atau merdeka. Dari sini muncul istilah liberal arts yang berarti ilmu yang sepatutnya dipelajari oleh orang merdeka, yaitu: aritmetika, geometri, astronomi, musik, gramatika, logika dan retorika. Sebagai ajektif, kata liberal dipakai untuk menunjukkan sikap anti-feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas dan terbuka (open-minded) dan oleh karena itu merasa hebat (magnanimous). Dalam politik, liberalisme dimaknai sebagai sebuah sistem yang menentang mati-matian sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya republik-republik dengan sistem demokrasi menggantikan kerajaan atau kesultanan tidak lepas dari liberalisme ini. Dalam bidang ekonomi, liberalisme menunjuk pada sistem pasar bebas, di mana peran dan intervensi pemerintah sangat dibatasi. Kini liberalisme ekonomi menjadi identik dengan kapitalisme. Negara-negara miskin cenderung menjadi wilayah pinggiran bagi perekonomian negara-negara kaya. Peran pemerintah yang mestinya melayani dan melindungi kepentingan rakyatnya, bergeser menjadi melayani dan melindungi kepentingan para pemodal internasional yang telah menginvestasikan modalnya di negara tersebut. Bahkan tidak jarang kebijakan ekonomi negara-negara miskin secara terang-terangan mengambil posisi berlawanan dengan aspirasi rakyat mereka sendiri.

            Agama Kristen mulai bersinar di Eropa ketika pada tahun 313 Kaisar Konstantin mengeluarkan surat perintah (edik) yang isinya memberi kebebasan kepada warga Romawi untuk memeluk Kristen. Bahkan pada tahun 380 Kristen dijadikan sebagai agama negara oleh Kaisar Theodosius. Menurut edik Theodosius semua warga negara Romawi diwajibkan menjadi anggota gereja Katolik. Agama-agama kafir dilarang. Bahkan sekte-sekte Kristen di luar “gereja resmi” pun dilarang. Dengan berbagai keistimewaan ini, Kristen kemudian menyebar ke berbagai penjuru dan dunia, bahkan menjadi sebuah imperium yang otoriter dengan selalu mengatasnamakan kehendak Tuhan. Liberalisme muncul di Eropa sebagai reaksi dan perlawanan atas otoriteritas gereja yang dengan mengatasnamakan Tuhan telah melakukan penindasan. Konon tidak kurang dari 32.000 orang dibakar hidup-hidup atas alasan menentang kehendak Tuhan. Galileo, Bruno dan Copernicus termasuk di antara saintis-saintis yang bernasib malang karena melontarkan ide yang bertentangan dengan ide Gereja. Untuk mengokohkan dan melestarikan otoriteritas itu, Gereja membentuk institusi pengadilan yang dikenal paling brutal di dunia sampai akhir abad 15, yaitu Mahkamah Inquisisi. Karen Amstrong dalam bukunya Holy War: The Crusade and Their Impact on Today’s World (1991 : 456) menyatakan, “Most of us would agree that one of the most evil of all Christian institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the Chatholic Chuch until the end of seventeenth century.”

            Despotisme Gereja ini telah mengakibatkan pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja. Kaum liberal menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja. Liberalisme membolehkan setiap orang melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya. Manusia tidak lagi harus memegang kuat ajaran agamanya, bahkan kalau ajaran agama tidak sesuai dengan kehendak manusia, maka yang dilakukan adalah melakukan penafsiran ulang ayat-ayat Tuhan agar tidak bertabrakan dengan prinsip-prinsip dasar liberalisme. Wajar jika kemudian berbagai tindakan amoral pun seperti homoseksual, seks bebas, aborsi, dan juga berbagai aliran sesat dan menyesatkan dalam agama dianggap legal, karena telah mendapatkan justifikasi ayat-ayat Tuhan yang telah ditafsir ulang secara serampangan dan kacau. Di antara sejumlah tokoh yang berani menentang otoritas Gereja adalah Nicolaus Copernicus (1543 M) dengan teori Heliosentris-nya yang menyatakan bahwa Matahari sebagai pusat Tata Surya. Sebuah teori yang menentang ajaran Gereja yang sekian lama memegang filsafat Ptolomaeus yang menyatakan bahwa Bumilah sebagai pusat (Geo-centris). Perjuangannya diikuti Gardano Bruno (1594M), fisikawan Jerman Johannes Kapler (1571 M), Galileo Galilei (1564 M) dan Isaac Newton (1642 M). John Lock (1704 M) kemudian mengusung liberalisme bidang politik dengan menyodorkan ideologi yang mendorong masyarakat untuk membebaskan diri dari kekangan Gereja waktu itu. Adam Smith (1790M) mengusung liberalisme di bidang ekonomi yang memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menjalankan kegiatan ekonominya tanpa intervensi dari pemerintahan gereja atau pemerintahan raja yang didukung gereja.
Ketika otoritas Gereja runtuh, bangsa Eropa terpecah menjadi dua aliran besar dalam menyikapi agama. Pertama, Aliran Deisme, yaitu mereka yang masih mempercayai adanya Tuhan, tapi tidak memercayai ayat-ayat Tuhan. Tokoh-tokohnya antara lain, Martin Luther, John Calvin, Isaac Newton, John Lock, Immanuel Kant, dsb. Dan kedua, Aliran Materialisme atau Atheisme. Aliran ini menganggap bahwa agama merupakan gejala masyarakat yang sakit. Agama dinilai sebagai candu atau racun bagi masyarakat. Di antara tokohnya, Hegel, Ludwig Feuerbach, dan Karl Marx. Ketidakpercayaan kepada Tuhan diusung pula oleh Charles Darwin (1809-1882 M) melalui bukunya The Origin of Species by Means Natural Selection (1859M). Melalui teori evolusinya, Darwin mencoba memisahkan intervensi Tuhan dalam penciptaan alam dan makhluk hidup di muka bumi ini. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa liberalisme merupakan upaya keluar dari kekangan ajaran Kristen yang bermasalah. Liberalisme telah mengantarkan masyarakat Barat menjadi orang atheis atau paling tidak deis. Di bidang sosial kaum liberalis telah melegalkan homoseksual. Dignity, sebuah organisasi gay Katolik internasional pada tahun 1976 saja sudah memiliki cabang di 22 negara bagian AS. Di Australia ada organisasi serupa Acceptance, di Inggris ada Quest, di Swedia ada Veritas. Fakta yang fenomenal terjadi ketika Nopember 2003 seorang pendeta bernama Gene Robinson yang notabene seorang homoseks, dilantik menjadi Uskup Gereja Anglikan di New Hampshire. Liberalisme mengajarkan bahwa seks bebas dan aborsi sebagai privasi individu yang tidak boleh dicampuri oleh aturan agama atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, selama individu tersebut senang, sukarela, suka sama suka. Masyarakat dan agama tidak boleh menghakimi mereka. Padahal dampak terkejam dari perilaku seks bebas adalah kecenderungan manusia untuk lari dari tanggung jawab. Ketika terjadi kehamilan, jalan yang ditempuh adalah aborsi. Kaum liberalis menuntut emansipasi wanita, kesetaraan gender dengan mengabaikan nilai-nilai agama. Dengan jargon kebebasan (liberty) dan persamaan (egality), kaum feminis secara ekstrem telah memunculkan semangat melawan dominasi laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga. Banyak pria atau wanita yang lebih memilih hidup sendiri. Kebutuhan seksual dipenuhi dengan zina (free-sex), kebutuhan akan anak dipenuhi dengan adopsi dan bertindak sebagai single parent. Jika tidak mau direpotkan dengan anak, maka aborsi jadi solusi. Sejumlah negara Barat telah melakukan “Revolusi Jingga” dengan mengesahkan undang-undang yang melegalkan perkawinan sejenis. Liberalisasi di bidang agama juga sudah merasuk kaum muslimin di Indonesia . Liberalisasi Islam dilakukan melalui tiga bidang penting dalam Islam, yaitu: (1) Liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham pluralisme agama. Paham ini menyatakan bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa hanya agamanya saja yang benar. Menurut mereka, salah satu ciri agama jahat adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri. (2) Liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekontruksi terhadap Al-Qur’an. Para liberalis Islam telah memosisikan diri sebagai epigon terhadap Yahudi dan Kristen yang melakukan kajian “Biblical Criticism”. Kajian kritis terhadap Bible yang memang bermasalah. Menurut liberalis “All scriptures are miracles; semua kitab suci adalah mukjizat. Jadi Al-Qur`an sejajar dengan Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Weda, Bagawad Ghita, Tripitaka, Darmogandul dan Gatoloco (?). (3) Liberalisasi syari’at Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah qath’i dan pasti dibongkar dan dibuat hukum baru yang sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara yang jadi barometernya bukan lagi Al-Qur’an dan As-Sunnah tapi demokrasi, HAM, gender equality (kesetaraan gender) dan pluralisme. Kalau orang menyakini bahwa semua agama benar, bahwa Tuhan semua agama itu sama, hanya berbeda dalam memanggil, bahwa semua kitab suci itu sama mukjizat, masih patutkah dikategorikan sebagai seorang muslim dan mukmin? Wallahu a’lam.

 

5.  Batasan yang diperbolehkan

·         membantu fakir miskin pada waktu hari raya, walaupun beda agama

·         saling menghargai pada saat ibadah atau merayakan hari besar keagamaan

·         hidup rukun dalam masyarakat demi terciptanya kerukunan antar umat beragama

·         tidak memaksakan keyakinan kita pada orang yang beda agama

 

Batasan yang tidak diperbolehkan

·         menganggu saat ibadahan

·         selalu memusuhi orang yang beda agama

·         memaksa orang lain untuk melaksanakan ajaran agama yang kita anut

·         tidak ada rasa persaudaraan karena merasa tidak sejalan

 

6. Kiranya tepatlah dikatakan bila ilmu ekonomi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ambisi dan materi, ilmu ekonomi dititik beratkan pada usaha mencapai tujuan. Allah pencipta manusia dan jin telah menciptakan manusia dari unsure jasmani dan rohani, bukan hanya manusia, semua makhluk tumbuhan dan hewanpun terdiri dari dua unsure tersebut.
Keberadaan jasad manusia, menghendaki kebutuhan-kebutuhan dan cara memenuhinya, tanpa memenuhi kebutuhan tersebut hidup tidak akan lestari, oleh karenanya tidak ada jalan lain untuk tidak memenuhinya selain dengan cara biologis, namun memenuhinya kebutuhan bukan berarti tujuan akhir hidup manusia. Karenanya kita harus meletakkan kebutuhan dalam kemampuan mental dan fisik dengan merubahnya menjadi kebutuhan akan menyembah Allah yang menciptakan kita. Inilah konsep pertama ekonomi islam.
Konsep kedua yaitu, beriman kepada Allah, sebagi muslim kita tidak bisa mentolerir politeisme sedikitpun. Tujuan setiap perbuatan yang bertentangan dengan keimanan terhadap keesaan Allah tidak ada kaitannya dengan islam. Karena dapat merusak dasar-dasar dan sandi islam. Berarti hanya ada dua alternative, monotoisme murni atau politeisme mutlak.
Dalam kebebasan berkehendak manusia tidak dapat memilih apapun, tidak ada pilihan ke-3 dalam keadaan apapun bila setan materialisme hendak mengungguli islam dan hendak menjadikannya sebagai sumber kebutuhan dan tolak ukur martabat maka berarti ia telah sama dengan menyekutukan Allah. Hal ini sangat bertentangan dengan prisip islam karena segala pemujaan atau penyembaan kepada selain Allah tidak akan membantu kepada pencapaian hidup. Cara tersebut bahkan sangat menyesatkan dan semakin menjauhkan para pengikutnya dari islam.
Konsep ekonomi islam yang ke-3, dalam situasi apapun aturan islam harus berlaku, ekonomi adalah bagian penting kehidupan manusia dalam segala bidang.
Islam adalah aturan hidup yang paling lengkap, dalam meletakkan dasar-dasar ekonomi islam diperlukan praktek dasar secara bersamaan untuk nmenunjukkan keeksistensi sebagi suatu keadaan yang tidak dapat dihindarkan. Sistem ekonomi islam tidak dapat dilaksanakan secar terpisah, untuk itu masyarakat harus siap menerapkan semua sistem islam lainnya seperti bidang hokum, sosial dan politik dalam waktu yang samatanpa semua itu aturan ekonomi tidak akan stabil dan tidak akan efektif misinya.
Aturan islam jika dilaksanakan diluar masyarakat muslim maka akan sia-sia aturan ekonomi islam secara komprehensif berbeda dengan aturan lainnya. Islam tidak pernah membolehkan ummatnya menjadi budak nafsu dan ambisi. Selain aturan ekonomi yang utama islam juga melatih orang agar martabatnya meningkat kepada derajat kemanusiaan yang lebih tinggi, islam menyeimbangkan hubungan antara seorang dengan penciptanya, walaupun kaum materialis mempunyai harta dan kekayaan tapi ia tidak mampu mencapai martabat yang mulia dan lebih tinggi dari Islam. Dilihat dari struktur kalimat, sistim ekonomi Islam terdiri dari tiga suku kata, yakni sistim; ekonomi dan Islam. Dalam Kamus Ilmiaqh Populer (Pius A Partanto dkk: 1994), sistim atau system bararti: metode; cara yang teratur (untuk melakukan sesuatu); susunan cara. Dan Ekonomi artinya: segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya; pengaturan rumah tangga. Islam artinya: damai, tenteram; agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan kitab suci Al-Qur’an. Jadi sistim ekonomi Islam adalah: segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya yang dilakukan dengan cara yang teratur, berdasarkan pandangan Islam. Sistim ekonomi Islam dibangun diatas landasan yang kokoh yang merupakan warisan yang tak ternilai sebagai wasiat utama bagi umat Islam yang tidak mungkin manusia akan tersesat selamanya selama berpegang kepada dua wasiat itu yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Para ulama baik dari kalangan ahli fiqih, ahli hadis, maupun ahli tafsir telah banyak menukilkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang berkenaan dengan prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam. Kesemuanya memberikan gambaran yang utuh tentang otensitas ajaran Islam dalam mengatur berbagai asfek kehidupan termasuk di dalamnya dalam urusan muamalah dalam hal ini tentang urusan ekonomi Islam.

Aspek muamalat dalam hukum Islam termasuk aspek yang luas ruang lingkupnya. Dalam Hal ini M. Quraish Shihab (Pengantar:2002;xx1), mengatakan “Pada dasarnya, pembahasan aspek hukum Islam yang bukan termasuk kategori aspek ibadah seperti shalat, puasa dan haji, bisa disebut sebagai aspek muamalat. Karena itu, masalah perdata, pidana pada umunya dapat digolongkan pada bidang muamalat. Dalam perkembangannya, aspek muamalat dalam hukum Islam, dibagi lagi menjadi: munakahat (perkawinan), jinayah (pidana) dan muamalat dalam arti khusus, yaitu aspek ekonomi dan bisnis dalam Islam. Dengan demikian, pada akhirnya materi fikih muamalat hanya terbatas pada aspek ekonomi dan hubungan kerja (bisnis) yang lazim dilakukan seperti jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.Keterangan diatas mempertegas bahwa aktivitas ekonomi dalam pandangan Islam merupakan salah satu bagian dari mu’amalah. Hal ini dijelaskan oleh Quraish Shihab (1988:408-409), dalam bukunya Wawawasan Al-Qur’an sebagai berikut:“Aktivitas antar manusia  - termasuk aktivitas ekonomi – terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu’amalah (interaksi). Pesaan utama Al-Qur’an dalam mu’amalah keuangan atau aktivitas ekonomi adalah: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau  melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara batil…(QS. Al-Baqarah:188)Perangkat nilai dasar menurut AM. Saefuddin (1984:17-41), adalah “implikasi dari asas filsafat system” yang dijadikan kerangka konstruksi sosial dan tingkah laku sistem, yaitu tentang organisasi pemilikan, pembatasan tingkah laku individual, dan norma tingkah laku para pelaku ekonomi. Sedangkan nilai-nilai instrumental system ekonomi menurut Saefuddin, merupakan fungsionalisasi system yang bersifat strategis dan sangat berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat serta pembangunan ekonomi umumnya, yang meliputi: zakat, Pelarangan riba, Kerjasama ekonmi, Jaminan Sosial, dan Peranan Negara Dalam Sistem Ekonomi. Dalam ajaran Islam semua asfek kehidupan memiliki kedudukan tersendiri yang diatur secara lengkap oleh Al Qur’an dan diterjemahkan secara utuh oleh Hadis Rasulullah yang pada akhirnya direkontruksi menjadi sebuah konsepsi teoritis oleh para fuqoha, para ulama dan ilmuwan Islam yang mampu diaplikasikan dalam kehidupan umat. Ilmu ekonomi Islam juga mendapat

tantangan yang cukup berat dari ilmu ekonomi konvensional. Hal ini terjadi mengingat ilmu ekonomi yang berkembang di

dunia Barat dilandasi dengan kebebasan individu dalam melakukan kontrak dengan syarat tidak merugikan satu sama

lain. Konsep-konsep ekonomi konvensional versi Barat perlu diredefinisi agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

syari’at Islam. Di antara konsep-konsep tersebut antara lain:

1. Konsep Harta

Masalah yang timbul dalam konsep harta adalah bahwa ilmu ekonomi konvensional tidak mengenal adanya nilai dalam

pemilikan harta. Sejauh dapat menimbulkan nilai ekonomis, segala sesuatu dapat diakui sebagai harta. Tidak heran bila

barang-barang haram seperti minuman keras dan daging babi termasuk property yang sah untuk dijadikan sebagai salah

satu komoditi bisnis .

2. Konsep Uang

Pembahasan dalam fiqh mu’amalat mengasumsikan bahwa uang yang digunakan masyarakat adalah uang riil

(real money) yaitu emas dan perak. Padahal sejak jaman penjajahan, uang emas dan perak tidak lagi digunakan

sebagai alat tukar. Sebagai gantinya uang kertas menjadi alat tukar yang berlaku di tengah masyarakat. Para ulama

berbeda pendapat tentang hukum uang kertas ini. Ada yang menganggap bahwa uang kertas tidak diterima dalam

syariah karena bukan harta riil dan ada pula yang dapat menerimanya .

3. Konsep Bunga dan Riba

Dalam ilmu ekonomi, bunga merupakan asumsi yang tidak lagi menjadi bahan perdebatan meskipun sampai saat ini

para ekonom masih sulit mencari justifikasi terhadapnya. Dalam ilmu fiqh mu’amalat istilah ini tidak dikenal

meskipun pembahasan tentang hukum riba boleh dikatakan telah selesai dan para ulama sepakat mengharamkannya .

Dengan konsep uang kertas (abstract money), konsep bunga dan riba menjadi pembahasan yang bekelanjutan.

4. Konsep Time Value of Money

Sebagian besar teori tentang menajemen keuangan dibangun berdasarkan konsep nilai dan waktu dari uang yang

mengasumsikan bahwa nilai uang sekarang relatif lebih besar ketimbang di masa yang akan datang. Sedangkan di sisi

lain, tidak didapati penjelasannya dalam fiqh mu’amalat meskipun perdebatan tentangn jual beli tangguh

(ba’i mu’ajjal) termasuk diskusi yang tidak sedikit di antara para ulama .

5. Konsep Modal

Modal dalam pengertian ilmu ekonomi adalah segala benda, baik yang fisik maupun yang abstarak, yang memiliki nilai

ekonomis dan produktif. Termasuk dalam pengertian ini adalah uang dan intellectual property right. Dalam fiqh

mu’amalat klasik, pengertian modal terbatas pada benda fisik. Uang hanya dapat berperan sebagai alat tukar.

Apabila ia ingin menjadi modal yang digunakan untuk memperoleh keuntungan ia harus terlebih dahulu diubah ke dalam

bentuk fisik .

6. Konsep Lembaga

Ilmu ekonomi tidak mempersoalkan adanya individual entity atau abstract entity. Berbeda halnya dengan fiqh

mu’amalat yang objeknya kepada mukallaf secara individual. Hal ini akan membawa dampak bagi analisa tentang

kepemilikan dan hubungannnya dengan kepemilikan .

Problem epistemologis ilmu ekonomi Islam dan tantangan yang diberikan oleh ilmu ekonomi konvensional yang

disebutkan di atas dapat berimplikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada out put yang dihasilkan oleh

jurusan ekonomi Islam. Fiqh mu’amalat yang diajarkan di jurusan ekonomi Islam tidak mampu untuk

menghasilkan para sarjana muslim yang diterima oleh dunia kerja. Alasannya adalah bahwa skill dan penguasaan

terhadap ekonomi real lebih dibutuhkan sektor industri dan dunia kerja dibandingkan dengan keahlian dalam masalah istimbath al-ahkam

 

7. Ekonomi islam,  sistem perekonomian, membantu manusia untuk menyembah Tuhannya yang telah memberi rezki, dan untuk menyelamatkan manusia dari kemiskinan yang bisa mengkafirkan dan kelaparan yang bis mendatangkan dosa. Oleh karena itu, rumusan sistem islam berbeda sama sekali dari sistem-sistem yang lain nya. Sebagai sistem ekonomi, ia memiliki akar dalam syari’ah yang menjadi sumber pandangan dunia, sekaligus tujuan dan strateginya (Zainul Bahar, 1999; Qardhawi, 1997:72). Oleh karena itu, semua aktifitas ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi, perdagangan, tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir kepada Tuhan. Kalau seorang muslim bekerja di bidang produksi, maka pekerjaan itu dilakukan  tidak lain karena ingin memenuhi perintah Allah (Q. S al-mulk (67):15). Ketika menanam, membajak, atau melakukan pekerjaan lainnya, seorang muslim merasa bahwa ia bekerja dalam rangka beribadah kepada Allah. Makin tekun ia bekerja, makin takwa ia kepada Allah. Bertambah rapi pekerjaannya, bertambah dekat kepada Allah, tertanam dalam hati nya bahwa semua itu adalah rezki dari Allah, maka patutlah bersyukur (Q.S al baqoroh (2) : 172).

 

 

NAMA            : Singgih

NPM               : 090401140059

KELAS           : PGSD B

 

1. Jika hal-hal tersebut terus berkembang di masyarakat, maka kebenaran  yang sesungguhnya tidak akan pernah muncul, bahkan hal-hal tersebut bisa meluas  pada generasi selanjutnya, semakin lama, masyarakat akan turun temurun mewariskan keyakinan seperti itu pada anak dan cucunya, karena hal-hal seperti itu bertentangan dengan agama, maka sebaiknya tidak usah dipercayai karena tidak ada manfaatnya, bahkan bisa mendatangkan rasa syirik dalam hati manusia, mereka akan senantiasa hidup dalam kondisi yang meragukan.

Upaya yang saya lakukan sebagai calon guru adalah membimbing generasi selanjutnya agar tidak ikut-ikutan mempercayai hal-hal tersebut. karena hal-hal tersebut tidak ada dalam al-Quran dan hadist. Kita umat islam harus berpegang teguh pada al-Quran dan hadist dan tidak boleh menyimpang dari keduanya, dengan membimbing generasi muda ini, akan memutus arus kepercayaan yang bisa menimbulkan rasa syirik.

 

2. Dalam sebuah ayat al-Quran, “Dan janganlah engkau turut apa-apa yang engkau tidak ada ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan ditanya,” (QS. Al-Isra:36). Ayat al-Quran tersebut menjelaskan bahwa ilmu merupakan dasar dari segala tindakan manusia. Karena tanpa ilmu segala tindakan manusia menjadi tidak terarah, tidak benar dan tidak bertujuan. Kata ilmu berasal dari kata kerja ‘alima, yang berarti memperoleh hakikat ilmu, mengetahui, dan yakin. Ilmu, yang dalam bentuk jamaknya adalah ‘ulum, artinya ialah memahami sesuatu dengan hakikatnya, dan itu berarti keyakinan dan pengetahuan. Jadi ilmu merupakan aspek teoritis dari pengetahuan. Dengan pengetahuan inilah manusia melakukan perbuatan amalnya. Jika manusia mempunyai ilmu tapi miskin amalnya maka ilmu tersebut menjadi sia-sia.Dalam beberapa riwayat di jelaskan tentang hubungan ilmu dan amal itu. Imam Ali as berkata, “Ilmu adalah pemimpin amal, dan amal adalah pengikutnya.” Demikian juga dengan perkataan Rasulullah saw , “Barangsiapa beramal tanpa ilmu maka apa yang dirusaknya jauh lebih banyak dibandingkan yang diperbaikinya.” Pada riwayat lain dijelakan Imam Ali as berkata, “Ilmu diiringi dengan perbuatan. Barangsiapa berilmu maka dia harus berbuat. Ilmu memanggil perbuatan. Jika dia menjawabnya maka ilmu tetap bersamanya, namun jika tidak maka ilmu pergi darinya.”
            Dari riwayat di atas maka jika orang itu berilmu maka ia harus diiringi dengan amal. Amal ini akan mempunyai nilai jika dilandasi dengan ilmu, begitu juga dengan ilmu akan mempunyai nilai atau makna jika diiringi dengan amal. Keduanya tidak dapat dipisahkan dalam perilaku manusia. Sebuah perpaduan yang saling melengkapi dalam kehidupan manusia, yaitu setelah berilmu lalu beramal. Pengertian amal dalam pandangan Islam adalah setiap amal saleh, atau setiap perbuatan kebajikan yang diridhai oleh Allah SWT. Dengan demikian, amal dalam Islam tidak hanya terbatas pada ibadah, sebagaimana ilmu dalam Islam tidak hanya terbatas pada ilmu fikih dan hukum-hukum agama. Ilmu dalam dalam ini mencakup semua yang bermanfaat bagi manusia seperti meliputi ilmu agama, ilmu alam, ilmu sosial dan lain-lain. Ilmu-ilmu ini jika dikembangkan dengan benar dan baik maka memberikan dampak yang positif bagi peradaban manusia. Misalnya pengembangan sains akan memberikan kemudahan dalam lapangan praktis manusia. Demikian juga pengembangan ilmu-ilmu sosial akan memberikan solusi untuk pemecahan masalah-masalah di masyarakat. Jadi, mengiringi ilmu dengan amal merupakan keharusan. Dalam pandangan Khalil al-Musawi dalam buku Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana, hubungan ilmu dengan amal dapat difokuskan pada dua hal : Pertama, ilmu adalah pemimpin dan pembimbing amal perbuatan. Amal bisa lurus dan berkembang bila didasari ilmu. Berbuat tanpa didasari pengetahuan tidak ubahnya dengan berjalan bukan di jalan yang benar, tidak mendekatkan kepada tujuan melainkan menjauhkan. Dalam semua aspek kegiatan manusia harus disertai dengan ilmu, baik itu yang berupa amal ibadah maupun amal perbuatan lainnya. Dalam ibadah harus disertai dengan ilmu. Jika ada orang yang melakukan ibadah tanpa didasari ilmu tidak ubahnya dengan orang yang mendirikan bangunan di tengah malam dan kemudian menghancurkannya di siang hari. Begitu juga, hal ini pun berlaku pada amal perbuatan yang lain, dalam berbagai bidang. Memimpin sebuah negara, misalnya, harus dengan ilmu. Negara yang dipimpin oleh orang bodoh akan dilanda kekacauan dan kehancuran. Sedangkan kedua, sesungguhnya ilmu dan amal saling beriringan. Barangsiapa berilmu maka dia harus berbuat, baik itu ilmu yang berhubungan dengan masalah ibadah maupun ilmu-ilmu yang lain. Tidak ada faedahnya ilmu yang tidak diamalkan. Amal merupakan buah dari ilmu, jika ada orang yang mempunyai ilmu tapi tidak beramal maka seperti pohon yang tidak menghasilkan manfaat bagi penanamnya. Begitu pula, tidak ada manfaatnya ilmu fikih yang dimiliki seorang fakih jika dia tidak mengubahnya menjadi perbuatan. Begitu juga, tidak ada faedahnya teori-teori atau penemuan-penemuan yang ditemukan seorang ilmuwan jika tidak diubah menjadi perbuatan nyata. Karena wujud dari pengetahuan itu adalah amal dan karya nyatanya. Ilmu tanpa diiringi dengan amal maka hanya berupa konsep-konsep saja. Ilmu yang tidak dilanjutkan dengan perbuatan, mungkin kita dapat menyebutnya sebagai pengetahuan teoritis. Namun, apa faedahnya ilmu teoritis jika kita tidak menerjemahkannya ke dalam ilmu praktis. Jika ilmu tidak diimplementasikan maka akan memberikan dampak yang negatif. Salah-satu penyakit sosial yang paling berbahaya yang melanda berbagai umat – termasuk umat Islam - adalah penyakit pemutusan ilmu-khususnya ilmu-ilmu agama –dari amal perbuatan, dan berubahnya ilmu menjadi sekumpulan teori belaka yang jauh dari kenyataan dan penerapan. Padahal, kaedah Islam menekankan bahwa ilmu senantiasa menyeru kepada amal perbuatan. Keduanya tidak ubahnya sebagai dua benda yang senantiasa bersama dan tidak terpisah satu sama lain. Jika amal memenuhi seruan ilmu maka umat menjadi baik dan berkembang. Namun jika tidak, maka ilmu akan meninggalkan amal perbuatan, dan dia akan tetap tinggal tanpa memberikan faedah apa pun. Jika demikian nilai apa yang dimiliki seorang manusia yang mempunyai segudang teori dan pengetahuan namun tidak mempraktikkannya dalam dunia nyata. Pertalian ilmu dengan amal tidak hanya dituntut dari para pelajar agama dan para ahli yang mendalami suatu ilmu, melainkan juga dituntut dari setiap orang, baik yang memiliki ilmu sedikit ataupun banyak. Namun, tentunya orang-orang yang berilmu memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam hal ini, karena mereka memiliki kemampuan yang lebih. Allah SWT berfirman di dalam surat Ash-Shaff, ayat (2-3), “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. Sungguh besar murka Allah kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” Jika kita memperhatikan ayat-ayat al-Quran, niscaya kita akan menemukan bahwa al-Quran senantiasa menggandengkan ilmu dengan amal. Makna ilmu diungkapkan dalam bentuk kata iman pada banyak tempat, dengan pengertian bahwa iman adalah ilmu atau keyakinan. Di antaranya ialah :“Demi waktu Asar, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran dan kebajikan.” (QS. Al-‘Ashr:1-3). Dalam ayat lain dikatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.” (QS. Al-Kahfi : 107). Demikian juga dengan ayat, “Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagian dan tempat kembali yang baik.” (QS. Ar-Ra’d :29). Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang betapa ilmu dan amal shaleh memiliki kaitan yang erat yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Karena keduanya bagai dua keping mata uang, yang saling memberi arti. Inilah yang sejalan dengan ucapan Imam Ali as, “Iman dan amal adalah dua saudara yang senantiasa beriringan dan dua sahabat yang tidak berpisah. Allah tidak akan menerima salah satu dari keduanya kecuali disertai sahabatnya.”
            Dengan perspektif keterpaduan ilmu dan amal, maka akan memberikan perkembangan kearah perbaikan dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat akan berlomba-lomba dalam memberikan amal shaleh satu sama lain. Imam Ali as berkata, “Jangan sampai ilmumu menjadi kebodohan dan keyakinanmu menjadi keraguan. Jika engkau berilmu maka beramalah, dan jika engkau yakin maka majulah.” Dengan ilmu yang benar, serta amal shaleh maka masyarakat bergerak dari kebodohan menuju kepintaran, dari ketertinggalan menuju kemajuan dan dari kehancuran menuju kebangkitan.

3. Sudah menjadi kewajiban kita semua untuk ikut serta ambil peran dalam usaha bersama bangsa kita untuk mewujudkan masyrakat berperadaban, masyarakat madani, civil society, dinegara kita tercinta, Republik Indonesia. Karena terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adalah Nabi Muhammad Rasulullah sendiri yang memberi teladan kepada umat manusia ke arah pembentukan masyarakat peradaban. Setelah belasan tahun berjuang di kota Mekkah tanpa hasil yang terlalu menggembirakan, Allah memberikan petunjuk untuk hijrak ke Yastrib, kota wahah atau oase yang subur sekitar 400 km sebelah utara Mekkah. Sesampai di Yastrib, setelah perjalanan berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, Nabi disambut oleh penduduk kota itu, dan para gadisnya menyanyikan lagu Thala'a al-badru 'alaina (Bulan Purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair dan lagu yang kelak menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Kemudian setelah mapan dalam kota hijrah itu, Nabi mengubah nama Yastrib menjadi al-Madinat al-nabiy (kota nabi). Secara konvensional, perkataan "madinah" memang diartikan sebagai "kota". Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna "peradaban". Dalam bahasa Arab, "peradaban" memang dinyatakan dalam kata-kata "madaniyah" atau "tamaddun", selain dalam kata-kata "hadharah". Karena itu tindakan Nabi mengubah nama Yastrib menjadi Madinah, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar hendak mendirikan dan membangun mansyarakat beradab. Tak lama setelah menetap di Madinah itulah, Nabi bersama semua penduduk Madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani, dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama-sama. Dan di Madinah itu pula, sebagai pembelaan terhadap masyarakat madani, Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perang membela diri dan menghadapi musuh-musuh peradaban. Jika kita telaah secara mendalam firman Allah yang merupakan deklarasi izin perang kepada Nabi dan kaum beriman itu, kita akan dapat menangkap apa sebenarnya inti tatanan sosial yang ditegakkan Nabi atas petunjuk Tuhan. Diizinkan berperang bagi orang-prang yang diperangi, karena mereka sesungguhnya telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah amat berkuasa untuk menolong mereka.Yaitu mereka yang diusir dari kampung halaman mereka secara tidak benar, hanya karena mereka berkata: "Tuhan kami ialah Allah". Dan kalaulah Allah tidak menolak (mengimbangi) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya runtuhlah gereja-gereja, sinagog-sinagog, dann masjid-masjid yang disitu banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah akan menolong siapa saja yang menolong-NYA (membela kebenaran dan keadilan).Yaitu mereka, yang jika kami berikan kedudukan di bumu, menegakkan sembahyang serta menunaikan zakat, dan mereke a menuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat kejahatan, dan mereka mennyuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat kejahatan. Dan bagi Allah jualah segala kesudahan semua perkara. (Q.S. Al-Hajj-39-41). Dari firman deklarasi izin perang kepada nabi dan kaum beriman itu, bahwa perang dalam masyarakat madani dilakukan karena keperluan harus mempertahankan diri, melawan dan mengalahkan kezaliman. Perang itu juga dibenarkan dalam rangka membela agama dan sistem keyakinan, yang intinya ialah kebebasan menjalankan ibadat kepada Tuhan. Lebih jauh, perang yang diizinkan Tuhan itu adalah untuk melindungi lembaga-lembaga keagamaan seperti biara, gereja, sinagog, dan mesjid (yang dalam lingkungan Asia dapat ditambah dengan kuil, candi, kelenteng, dan seterusnya) dari kehancuran. Perang sebagai suatu keterpaksaan yang diizinkan Allah itu merupakan bagian dari mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang diciptakan Allah untuk menjaga kelestarian hidup manusia. Seperti dunia sekarang ini yang selamat dari "kiamat nuklir" karena perimbangan kekuatan nuklir antara negara-negara besar, khususnya Amerika dan Rusia (yang kemudian masing-masing tidak berani menggunakan senjata nuklirnya—yang disebut "kemacetan nuklir"), masyarakat pun berjalan mulus dan terhindar dari bencana jika di dalamnya terdapat mekanisme pengawasan dan pengimbangan secara mantap dan terbuka (renungkan QS Al-Baqarah:152). Dengan memahami prinsip-prinsip itu, kita juga akan dapat memahami masyarakat madani yang dibangun nabi di Madinah. Membangun masyarakat peradaban itulah yang dilakukan Nabi selama sepuluh tahun di Madinah. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-NYA. Taqwa kepada Allah dalam arti semangat ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam peristilahan Kitab Suci juga disebut semangat Rabbaniyah (QS Alu Imran:79) atau ribbiyah (QS Alu Imran:146). Inilah hablun mim Allah, tali hubungan dengan Allah, dimensi vertikal hidup manusia, salah satu jaminan untuk manusia agar tidak jatuh hina dan nista. Semangat Rabbaniyah atau ribbiyah itu, jika cukup tulus dan sejati, akan memancar dalam semangat perikemanusiaan, yaitu semangat insaniyah, atau basyariyah, dimensi horisontal hidup manusia, hablun min al-nas. Kemudian pada urutannya, semangat perikemanusiian itu sendiri memancar dalam berbagai bentuk hubungan pergaulan manusia yang penuh budi luhur. Maka tak heran jika Nabi dalam sebuah hadisnya menegaskan bahwa inti sari tugas suci beliau adalah untuk "menyempurnakan berbagai keluhuran budi". Masyarakat berbudi luhur atau berakhlak mulia itulah, masyarakat berperadaban, masyarakat madani, "civil society". Masyarakat Madani yang dibangun nabi itu, oleh Robert N. Bellah, seorang sosiologi agama terkemuka disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga setelah nabi sendiri wafat tidak bertahan lama. Timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti dirintis Nabi. Setelah Nabi wafat, masyarakat madani warisan Nabi itu, yang antara lain bercirikan egaliterisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan, hanya berlangsung selama tiga puluh tahunan masa khulafur rasyidin. Sesudah itu, sistem sosial madani dengan sistem yang lebih banyak diilhami oleh semangat kesukuan atau tribalisme Arab pra-Islam, yang kemudian dikukuhkan dengan sistem dinasti keturunan atau geneologis itu sebagai "Hirqaliyah" atau "Hirakliusisme", mengacu kepada kaisar Heraklius, penguasa Yunani saat itu, seorang tokoh sistem dinasti geneologis. Begitu keadaan dunia Islam, terus-menerus hanya mengenal sistem dinasti geneologis, sampai datangnya zaman modern sekarang. Sebagian negara muslim menerapkan konsep negara republik, dengan presiden dan pimpinan lainnya yang dipilih. Karena itu, justru dalam zaman modern inilah, prasarana sosial dan kultural masyarakat madani yang dahulu tidak ada pada bangsa manaoun di dunia, termasuk bangsa Arab, mungkin akan terwujud. Maka kesempatan membangun masyarakat madani menuurut teladan nabi, justru mungkin lebih besar pada masa sekarang ini. Berpangkal dari pandangan hidup bersemangat ketuhanan dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia (QS Fushshilat:33), masyarakat madani tegak berdiri di atas landasan keadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang kepada hukum. Menegakkan hukum adalah amanat Tuhan Yang Maha Esa, yang diperintahkan untuk dilaksanakan kepada yang berhak (QS Al-Nisa:58). Dan Nabi telah memberi telaadan kepada kita. Secara amat setia beliau laksanakan perintah Tuhan itu. Apalagi Al-Qur'an juga menegaskan bahwa tugas suci semua Nabi ialah menegakkan keadilan di antara manusia (QS Yunus:47). Juga ditegakkan bahwa para rasul yang dikirim Allah ke tengah umat manusia dibekali dengan kitab suci dan ajaran keadilan, agar manusia tegak dengan keadilan itu (QS al-Hadid:25). Keadilan harus ditegakkan, tanpa memandang siapa yang akan terkena akibatnya. Keadilan juga harus ditegakkan, meskipun mengenai diri sendiri, kedua orang tua, atau sanak keluarga (QS A-'Nisa:135). Bahkan terhadap orang yang membenci kita pun, kita harus tetap berlaku adil, meskipun sepintas lalu keadilan itu akan merugikan kita sendiri (QS Al-Ma'idah:8). Atas pertimbangan ajaran itulah, dan dalam rangka menegakkan masyarakat madani, Nabi tidak pernah membedakan anatara "orang atas", "orang bawah", ataupun keluaarga sendiri. Beliau pernah menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah karena jika "orang atas" melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi jika "orang bawah" melakukannya pasti dihukum. Karena itu Nabi juga menegaskan, seandainya Fatimah pun, puteri kesayangan beliau, melakukan kejahatan, maka beliau akan menghukumnya sesuai ketentuan yang berlaku. Masyarakat berperadaban tak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, yang dimulai dengan ketulusan komitmen pribadi. Masyarakat berperadaban memerlukan adanya pribadi-pribadi yang dengan tulus mengikatkan jiwanya kepasda wawasan keadilan. Ketulusan ikatan jiwa itu terwujud hanya jika orang bersangkutan ber-iman, percaya dan mempercayai, dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan, dalam suatu keimanan etis, artinya keimanan bahwa Tuhan menghendaki kebaikan dan menuntut tindakan kebaikan manusia kepada sesamanya. Dan tindakan kebaikan kepada sesama manusia harus didahului dengan diri sendiri menempuh hidup kebaikan, seperti dipesankan Allah kepada para Rasul (QS Al-Mu'minun:51), agar mereka "makan dari yang baik-baik dan berbuat kebajikan." Ketulusan ikatan jiwa, juga memerlukan sikap yang yakin kepada adanya tujuan hidup yang lebih tinggi daripada pengalaman hidup sehari-hari di dunia ini. Ketulusan ikatan jiwa perlu kepada keyakinan bahwa makna dan hakikat hidup manusia pasti akan menjadi kenyataan dalam kehidupan abadi, kehidupan setelah mati, dalam pengalaman bahagia atau sengsara. Karena itu, ketulusan ikatan jiwa kepada keadilan mengharuskan orang memandang hidup jauh di depan, tidak menjadi tawanan keadaan di waktu sekarang dan di tempat ini (dunia) (QS Al-'Araf:169). Tetapi, tegaknya hukum dan keadilan tak hanya perlu kepada komitmen-komeitmen pribadi. Komitmen pribadi yang menyatakan diri dalam bentuk "itikad baik", memang mutlak diperlukan sebagai pijakan moral dan etika dalam masyarakat. Sebab, bukankah masyarakat adalah jumlah keseluruhan pribadi para anggotanya? Apalagi tentang para pemimpin masyarakat atau public figure, maka kebaikan itikad itu lebih-lebih lagi dituntut, dengan menelusuri masa lalu sang calon pemimpin, baik bagi dirinya sendiri maupun mungkin keluarganya. Karena itu, di banyak negara, seorang calon pemimpin formal harus mempunyai catatan perjalanan hidup yang baik melalui pengujian, bukan oleh perorangan atau kelembagaan, tetapi oleh masyarakat luas, dalam suasana kebebasan yang menjamin kejujuran. Namun sesungguhnya, seperti halnya dengan keimanan yang bersifat amat pribadi, itikad baik bukanlah suatu perkara yang dapat diawasi dari diri luar orang bersangkutan. IA dapat bersifat sangat subjektif, dibuktikan oleh hampir mustahilnya ada orang yang tidak mengaku beritikad baik. Kecuali dapat diterka melalui gejala lahir belaka, suatu itikad baik tak dapat dibuktikan, karena menjadi bagian dari bunyi hati sanubari orang bersangkutan yang paling rahasia dan mendalam. Oleh sebab itu, iitikad pribadi saj atidak cukup untuk mewujudkan masyarakat berperadaban. Itikad baik yang merupakan buah keimanan itu harus diterjemahkan menjadi tindakan kebaikan yang nyata dalam masyarakat, berupa "amal saleh", yang secara takrif adalah tindakan membawa kebaikan untuk sesama manusia. Tindakan kebaikan bukanlah untuk kepentingan Tuhan, sebab Tuhan adalah Maha Kaya, tidak perlu kepada apapun dari manusia. Siapa pun yang melakukan kebaikan, maka dia sendirilah --melalui hidup kemasyarakatannya-- yang akan memetik dan merasakan kebaikan dan kebahagiaan. Begitu pula sebaiknya, siapapun yang melakukan kejahatan, maka dia sendiri yang kan mewnanggung akibat kerugian dan kejahatannya. (QS Fushilat:46, Al-Jatsiyah:15). Jika kita perhatikan apa yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari, jelas sekali bahwa nilai-nilai kemasyarakatan yang terbaik sebagian besar dapat terwujud hanya dalam tatanan hidup kolektif yang memberi peluang kepada adanya pengawasan sosial. Tegaknya hukum dan keadilan, mutlak emmerlukan suatu bentuk interaksi sosial yang memberi peluang bagi adanya pengawasan itu. Pengawasan sosial adalah konsekuensi langsung dari itikad baik yang diwujudkan dalam ttindakan kebaikan. Selanjutnya, pengawasan sosial tidak mungkin terselenggara dalam suatu tatanan sosial yang tertutup. Amal soleh ataupun kegiatan "demi kebaikan", dengan sendirinya berdimensi kemanusiaan, karena berlangsung dalam suatu kerangka hubungan sosial, dan menyangkut orang banyak. Suatu klaim berbuat baik untuk masyarakat, apalagi jika pebuatan atau tindakan itudilakukan melaluipenggunaan kekuasaan, tidak dapat dibiarkan berlangsung denan mengabaikan masyarakat, apalagi jika perbuatan atau tindakan dilakukan melalui penggunaan kekuasaan. tidak dapat dibiarkan berlangsung dengan mengabaikan masyarakat itu sendiri dengan berbagai pandangan, penilaian dan pendapat yang ada. Dengan demikian, masyarakat madani akan terwujud hanya jika terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyrakat. Keterbukaan adalah konsekuensi dari kemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara optimis dan positif. Yaitu pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (QS Al-'araf: 172, Al-Rum:30), sebelum terbukti sebaliknya. Kejahatan pribadi manusia bukanlah sesuatu hal yang alami berasal dari dalam kediriannya. Kejahatan terjadi sebagai akibat pengaruh dari luar, dari pola budaya yang salah, yang diteruskan terutama oelh seorang tua kepada anaknya. Karena itu, seperti ditegaskan dalam sebuah hadist Nabi, setiap anak dilahirkan dlam kesucian asal, namun orangtuanyalah yang membuatnya menyimpang dari kesucian asal itu. Ajaran kemanusiaan yang suci itu membawa konsekuensi bahwa kita harus melihat sesama manusia secara optimis dan positif, sdengan menerapkan prasangka baik (husn al-zhan), bukan prasangka buruk (su' al-zhan), kecuali untuk keperluan kewaspadaan seeprlunya dalam keadaan tertentu. Tali persaudaraan sesama manusia akan terbina antara lain jika dalam masyarakat tidak terlalu banyak prasangka buruk akibat pandangan yang pesimis dan negatif kepada manusia (QS al-Hujurat:12). Berdasarkan pandangan kemanusiaan yang optimis-positif itu, kita harus memandang bahwa setiap orang mempunyai potensi untuk benar dan baik. Karena itu, setiap orang mempunyai potensi untuk menaytakan pendapat dan untuk didengar. Dari pihak yang mndengar, kesediaan untuk mendengar itu sendiri memerlukan dasar moral yang amat penting, yaitu sikap rendah hati, berupa kesiapan mental untuk menyadari dan mengakui diri sendiri selalu berpotensi untuk membuat kekeliruan. Kekeliruan atau kekhilafan terjadi karena manusia adalah makhluk lemah (QS Al-Nisa': 28). Keterbukaan adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Keterbukaaan serupa itu dalam kitab suci disebutkan sebagai tanda adanya hidayah dari Allah, dan membuat yang bersangkutan tergolong orang-orang yang berpikiran mendalam (ulu' al-bab), yang sangat beruntung (QS al-Zumar:17-18).

Usaha yang dapat saya lakukan ialah menyelesaikan masalah dengan jalan musyawarah. Musyawarah pada hakikatnya tak lain adalah interaksi positif berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberi hak untuk menyatakan pendapat, dan saling mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat itu. Dalam bahasa lain, musyawarah ialah hubungan interaktif untuk saling mewngingatkan tentang kebenaran dan kebaikan serta ketabahan dalam mencari penyelesaian masalah bersama, dalam suasana persamaan hak dan kewajiban antara warga masyarakat (QS al-'Ashar). Itulah masyarakat demokratis, yang berpangkal dari keteguhan wawasan etis dan moral berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Masyarakat demokratis tidak mungkin tanpa masyarakat berperadaban, masyarakat madani. Berada di lubuk paling dalam dari masyarakat madani adalah jiwa madaniyah, civility, yaitu keadaban itu sendiri. Yaitu sikap kejiwaaan pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selamanya benar, dan tidak ada suatu jawaban yang selamanya benar atas suatu masalah. Dari keadaan lahir sikap yang tulus untuk menghargai sesama manusia, betappaun seorang individu atau suatu kelompok berbeda dengan diri sendiri dan kelompok sendiri. Karena itu, keadaban atau civility menuntut setiap orang dan kelompok masyarakat untuk menghindar dari kebiasaan merendahkan orang atau kelompok lain, sebab "Kalau-kalau mereka yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka yang direndahkan" (QS al-Hujurat:11). Tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan pluralisme, adalah kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Sebab toleransi dan pluralisme tak lain adalah wujud dari "ikatan keadaban" (bond of civility), daolam sarti, sebagaimana telah dikemukakan, bahwa masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan interaksi sosial yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betappaun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri. Bangsa Indonesia memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk nmenegakkan masyarakat madani. Dan kita semua sangat berpengharapan bahwa masyarakat madani akan segera tumbuh semakain kuat di amsa dekat ini. Kemajuan besar yang telah dicapai oleh Orde Baru dala m meningkatkan taraf hidup rakyat dan kecerdasan umum, adalah alasan utam akita untuk berpengaharapan itu. Kita wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berterima kasih kepada para pemimpin bangsa, bahwa keadaaan kita sekarang ini, hampir di segala bidang, jauh lebih baik, sangat jauh lebih baik, daripada dua-tiga dasawarsa yang lalu. Tetapi, sejalan dengan suatu cara Nabi bersyukur kepada Allah, yaitu dengan memohon ampun kepada-Nya, kita pun bersyukur kepada-Nya dengan menyadari dan mengakui berbagai kekurangan kita. Dan kita semua tidak mau menjadi korban keberhasilan kita sendiri, misalnya karena kurang mampu melakukan antisipasi terhadap tuntutan masyarakat yang semakin berkecukupan dan berpendidikan. Terkiaskan denagn makna ungkapan "revolusi sering memakan anaknya sendirinya sendiri", kita semua harus berusaha mencegah jangan sampai "keberhasilan memakan anaknya sendiri" pula. 

4. Sekularisme dalam Kamus Oxford didefinasikan sebagai “wordly or material. Not religious or spiritual” maksudnya keduniaan atau kebendaan, bukan agama atau roh. Para ulama’ telah bersepakat menyatakan bahawa sekularisme menyampingkan agama dari urusan kenegaraan, kemasyarakatan dan ekonomi. Ia meletakkan agama dalam ruang lingkup yang amat sempit dan memberi kebebasan kepada individu menganut agama yang disukainya. Faham sekularisme ini menjadi Ibu kepada puluhan isme lain. Walaupun pada asalnya ia sekedar pengasingan agama daripada dunia tetapi terus berkembang dan berpegang dengan prinsip “here and now”. Secara tidak langsung fahaman ini menghasilkan penolakan terhadap hari akhirat dan manusia bebas melakukan apa saja. Menurut Prof. Dr. Sayyid Muhammad Naquib Al-Attas, beliau menganggap bahwa sekularisme adalah faham kekinidisian, yaitu  penumpuan pada zaman sekarang dan ruang kehidupan duniawi. Bagi manusia sekularis tidak ada ‘nanti’ (hari akhirat) dan tidak ada ‘ sana’ (kehidupan ukhrawi) atau sekurang-kurangnya tidak mempedulikannya. Menurut mereka yang wujud hanya alam fizikal ini dan dengan demikian mereka menolak realiti-realiti metafizik. World-view seperti itu jelas sempit dan terbatas, sekadar nazrah atau pandangan inderawi terhadap al-kawn atau alam fizikal. Namun demikian, ini bertentangan dengan world-view Islami yang meliputi segala kewujudan alam syahadah dan alam ghaib, alam tabi’i dan alam metafizik yang dapat dilihat dengan mata inderawi dan tampak pada pandangan a’kli-nurani. Oleh yang demikian, kerana itulah Prof Al-Attas mendefinasikan world-view Islami sebagai ru’yat al-Islam li al-wujud. Manakala pandangan Dr. Uthman El-Muhammady, di mana beliau telah mengupas istilah sekular daripada sudut barat serta secular dalam bentuk pengetahuan dan amalan dalam Islam. Istilah sekular dari sudut pendidikan, seni (musik), sejarah, sastra dan lain-lain, membawa maksud pendidikan yang tidak berhubung dengan agama atau mengecualikan pengajaran agama dari pendidikan. Dr. Uthman telah membedakan sekular dari sudut negatif dan positif. Dari sudut negatif apabila sekular diamalkan, langsung tidak mempunyai hubungan dengan kerohanian (lebih kepada duniawi) dan juga bertentangan dengan prinsip Islam itu sendiri. Manakala sekular yang positif pula ialah yang dibolehkan dalam Islam, contohnya seseorang yang melakukan kerja yang dicampur dengan fahaman ini untuk membolehkan ia menunaikan ibadah kepada Allah SWT. Namun begitu, beliau menyatakan bahwa lebih wajar sekiranya istilah sekular ini tidak diartikan kepada maksud yang positif (yang boleh diamalkan) dan negatif (yang benar-benar keji) yang pastinya setiap sekular itu hanya menjurus ke arah keduniaan tanpa dikaitkan dengan urusan ukhrawi. Hal ini apabila dikaitkan dengan kerohanian ia berubah menjadi sakral (suci). Istilah sekularisme secara keseluruhannya yang dipetik dari kamus Webster’s Encyclopedia, kamus Al-Mawrid, kamus Dewan dan Oxford English Dictionary jelas menunjukkan bahwa setiap perkara yang dilakukan hanya berhubung dengan dunia tanpa berkaitan dengan Zat Mutlak (Allah SWT).

PLURALISME: Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi. Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar. Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.

Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran.

Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing.

Liberalisme: Berasal dari bahasa latin Liber, yang artinya bebas atau merdeka. Dari sini muncul istilah liberal arts yang berarti ilmu yang sepatutnya dipelajari oleh orang merdeka, yaitu: aritmetika, geometri, astronomi, musik, gramatika, logika dan retorika. Sebagai ajektif, kata liberal dipakai untuk menunjukkan sikap anti-feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas dan terbuka (open-minded) dan oleh karena itu merasa hebat (magnanimous). Dalam politik, liberalisme dimaknai sebagai sebuah sistem yang menentang mati-matian sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya republik-republik dengan sistem demokrasi menggantikan kerajaan atau kesultanan tidak lepas dari liberalisme ini. Dalam bidang ekonomi, liberalisme menunjuk pada sistem pasar bebas, di mana peran dan intervensi pemerintah sangat dibatasi. Kini liberalisme ekonomi menjadi identik dengan kapitalisme. Negara-negara miskin cenderung menjadi wilayah pinggiran bagi perekonomian negara-negara kaya. Peran pemerintah yang mestinya melayani dan melindungi kepentingan rakyatnya, bergeser menjadi melayani dan melindungi kepentingan para pemodal internasional yang telah menginvestasikan modalnya di negara tersebut. Bahkan tidak jarang kebijakan ekonomi negara-negara miskin secara terang-terangan mengambil posisi berlawanan dengan aspirasi rakyat mereka sendiri.

            Agama Kristen mulai bersinar di Eropa ketika pada tahun 313 Kaisar Konstantin mengeluarkan surat perintah (edik) yang isinya memberi kebebasan kepada warga Romawi untuk memeluk Kristen. Bahkan pada tahun 380 Kristen dijadikan sebagai agama negara oleh Kaisar Theodosius. Menurut edik Theodosius semua warga negara Romawi diwajibkan menjadi anggota gereja Katolik. Agama-agama kafir dilarang. Bahkan sekte-sekte Kristen di luar “gereja resmi” pun dilarang. Dengan berbagai keistimewaan ini, Kristen kemudian menyebar ke berbagai penjuru dan dunia, bahkan menjadi sebuah imperium yang otoriter dengan selalu mengatasnamakan kehendak Tuhan. Liberalisme muncul di Eropa sebagai reaksi dan perlawanan atas otoriteritas gereja yang dengan mengatasnamakan Tuhan telah melakukan penindasan. Konon tidak kurang dari 32.000 orang dibakar hidup-hidup atas alasan menentang kehendak Tuhan. Galileo, Bruno dan Copernicus termasuk di antara saintis-saintis yang bernasib malang karena melontarkan ide yang bertentangan dengan ide Gereja. Untuk mengokohkan dan melestarikan otoriteritas itu, Gereja membentuk institusi pengadilan yang dikenal paling brutal di dunia sampai akhir abad 15, yaitu Mahkamah Inquisisi. Karen Amstrong dalam bukunya Holy War: The Crusade and Their Impact on Today’s World (1991 : 456) menyatakan, “Most of us would agree that one of the most evil of all Christian institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the Chatholic Chuch until the end of seventeenth century.”

            Despotisme Gereja ini telah mengakibatkan pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja. Kaum liberal menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja. Liberalisme membolehkan setiap orang melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya. Manusia tidak lagi harus memegang kuat ajaran agamanya, bahkan kalau ajaran agama tidak sesuai dengan kehendak manusia, maka yang dilakukan adalah melakukan penafsiran ulang ayat-ayat Tuhan agar tidak bertabrakan dengan prinsip-prinsip dasar liberalisme. Wajar jika kemudian berbagai tindakan amoral pun seperti homoseksual, seks bebas, aborsi, dan juga berbagai aliran sesat dan menyesatkan dalam agama dianggap legal, karena telah mendapatkan justifikasi ayat-ayat Tuhan yang telah ditafsir ulang secara serampangan dan kacau. Di antara sejumlah tokoh yang berani menentang otoritas Gereja adalah Nicolaus Copernicus (1543 M) dengan teori Heliosentris-nya yang menyatakan bahwa Matahari sebagai pusat Tata Surya. Sebuah teori yang menentang ajaran Gereja yang sekian lama memegang filsafat Ptolomaeus yang menyatakan bahwa Bumilah sebagai pusat (Geo-centris). Perjuangannya diikuti Gardano Bruno (1594M), fisikawan Jerman Johannes Kapler (1571 M), Galileo Galilei (1564 M) dan Isaac Newton (1642 M). John Lock (1704 M) kemudian mengusung liberalisme bidang politik dengan menyodorkan ideologi yang mendorong masyarakat untuk membebaskan diri dari kekangan Gereja waktu itu. Adam Smith (1790M) mengusung liberalisme di bidang ekonomi yang memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menjalankan kegiatan ekonominya tanpa intervensi dari pemerintahan gereja atau pemerintahan raja yang didukung gereja.
Ketika otoritas Gereja runtuh, bangsa Eropa terpecah menjadi dua aliran besar dalam menyikapi agama. Pertama, Aliran Deisme, yaitu mereka yang masih mempercayai adanya Tuhan, tapi tidak memercayai ayat-ayat Tuhan. Tokoh-tokohnya antara lain, Martin Luther, John Calvin, Isaac Newton, John Lock, Immanuel Kant, dsb. Dan kedua, Aliran Materialisme atau Atheisme. Aliran ini menganggap bahwa agama merupakan gejala masyarakat yang sakit. Agama dinilai sebagai candu atau racun bagi masyarakat. Di antara tokohnya, Hegel, Ludwig Feuerbach, dan Karl Marx. Ketidakpercayaan kepada Tuhan diusung pula oleh Charles Darwin (1809-1882 M) melalui bukunya The Origin of Species by Means Natural Selection (1859M). Melalui teori evolusinya, Darwin mencoba memisahkan intervensi Tuhan dalam penciptaan alam dan makhluk hidup di muka bumi ini. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa liberalisme merupakan upaya keluar dari kekangan ajaran Kristen yang bermasalah. Liberalisme telah mengantarkan masyarakat Barat menjadi orang atheis atau paling tidak deis. Di bidang sosial kaum liberalis telah melegalkan homoseksual. Dignity, sebuah organisasi gay Katolik internasional pada tahun 1976 saja sudah memiliki cabang di 22 negara bagian AS. Di Australia ada organisasi serupa Acceptance, di Inggris ada Quest, di Swedia ada Veritas. Fakta yang fenomenal terjadi ketika Nopember 2003 seorang pendeta bernama Gene Robinson yang notabene seorang homoseks, dilantik menjadi Uskup Gereja Anglikan di New Hampshire. Liberalisme mengajarkan bahwa seks bebas dan aborsi sebagai privasi individu yang tidak boleh dicampuri oleh aturan agama atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, selama individu tersebut senang, sukarela, suka sama suka. Masyarakat dan agama tidak boleh menghakimi mereka. Padahal dampak terkejam dari perilaku seks bebas adalah kecenderungan manusia untuk lari dari tanggung jawab. Ketika terjadi kehamilan, jalan yang ditempuh adalah aborsi. Kaum liberalis menuntut emansipasi wanita, kesetaraan gender dengan mengabaikan nilai-nilai agama. Dengan jargon kebebasan (liberty) dan persamaan (egality), kaum feminis secara ekstrem telah memunculkan semangat melawan dominasi laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga. Banyak pria atau wanita yang lebih memilih hidup sendiri. Kebutuhan seksual dipenuhi dengan zina (free-sex), kebutuhan akan anak dipenuhi dengan adopsi dan bertindak sebagai single parent. Jika tidak mau direpotkan dengan anak, maka aborsi jadi solusi. Sejumlah negara Barat telah melakukan “Revolusi Jingga” dengan mengesahkan undang-undang yang melegalkan perkawinan sejenis. Liberalisasi di bidang agama juga sudah merasuk kaum muslimin di Indonesia . Liberalisasi Islam dilakukan melalui tiga bidang penting dalam Islam, yaitu: (1) Liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham pluralisme agama. Paham ini menyatakan bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa hanya agamanya saja yang benar. Menurut mereka, salah satu ciri agama jahat adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri. (2) Liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekontruksi terhadap Al-Qur’an. Para liberalis Islam telah memosisikan diri sebagai epigon terhadap Yahudi dan Kristen yang melakukan kajian “Biblical Criticism”. Kajian kritis terhadap Bible yang memang bermasalah. Menurut liberalis “All scriptures are miracles; semua kitab suci adalah mukjizat. Jadi Al-Qur`an sejajar dengan Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Weda, Bagawad Ghita, Tripitaka, Darmogandul dan Gatoloco (?). (3) Liberalisasi syari’at Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah qath’i dan pasti dibongkar dan dibuat hukum baru yang sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara yang jadi barometernya bukan lagi Al-Qur’an dan As-Sunnah tapi demokrasi, HAM, gender equality (kesetaraan gender) dan pluralisme. Kalau orang menyakini bahwa semua agama benar, bahwa Tuhan semua agama itu sama, hanya berbeda dalam memanggil, bahwa semua kitab suci itu sama mukjizat, masih patutkah dikategorikan sebagai seorang muslim dan mukmin? Wallahu a’lam.

 

5.  Batasan yang diperbolehkan

·         membantu fakir miskin pada waktu hari raya, walaupun beda agama

·         saling menghargai pada saat ibadah atau merayakan hari besar keagamaan

·         hidup rukun dalam masyarakat demi terciptanya kerukunan antar umat beragama

·         tidak memaksakan keyakinan kita pada orang yang beda agama

 

Batasan yang tidak diperbolehkan

·         menganggu saat ibadahan

·         selalu memusuhi orang yang beda agama

·         memaksa orang lain untuk melaksanakan ajaran agama yang kita anut

·         tidak ada rasa persaudaraan karena merasa tidak sejalan

 

6. Kiranya tepatlah dikatakan bila ilmu ekonomi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ambisi dan materi, ilmu ekonomi dititik beratkan pada usaha mencapai tujuan. Allah pencipta manusia dan jin telah menciptakan manusia dari unsure jasmani dan rohani, bukan hanya manusia, semua makhluk tumbuhan dan hewanpun terdiri dari dua unsure tersebut.
Keberadaan jasad manusia, menghendaki kebutuhan-kebutuhan dan cara memenuhinya, tanpa memenuhi kebutuhan tersebut hidup tidak akan lestari, oleh karenanya tidak ada jalan lain untuk tidak memenuhinya selain dengan cara biologis, namun memenuhinya kebutuhan bukan berarti tujuan akhir hidup manusia. Karenanya kita harus meletakkan kebutuhan dalam kemampuan mental dan fisik dengan merubahnya menjadi kebutuhan akan menyembah Allah yang menciptakan kita. Inilah konsep pertama ekonomi islam.
Konsep kedua yaitu, beriman kepada Allah, sebagi muslim kita tidak bisa mentolerir politeisme sedikitpun. Tujuan setiap perbuatan yang bertentangan dengan keimanan terhadap keesaan Allah tidak ada kaitannya dengan islam. Karena dapat merusak dasar-dasar dan sandi islam. Berarti hanya ada dua alternative, monotoisme murni atau politeisme mutlak.
Dalam kebebasan berkehendak manusia tidak dapat memilih apapun, tidak ada pilihan ke-3 dalam keadaan apapun bila setan materialisme hendak mengungguli islam dan hendak menjadikannya sebagai sumber kebutuhan dan tolak ukur martabat maka berarti ia telah sama dengan menyekutukan Allah. Hal ini sangat bertentangan dengan prisip islam karena segala pemujaan atau penyembaan kepada selain Allah tidak akan membantu kepada pencapaian hidup. Cara tersebut bahkan sangat menyesatkan dan semakin menjauhkan para pengikutnya dari islam.
Konsep ekonomi islam yang ke-3, dalam situasi apapun aturan islam harus berlaku, ekonomi adalah bagian penting kehidupan manusia dalam segala bidang.
Islam adalah aturan hidup yang paling lengkap, dalam meletakkan dasar-dasar ekonomi islam diperlukan praktek dasar secara bersamaan untuk nmenunjukkan keeksistensi sebagi suatu keadaan yang tidak dapat dihindarkan. Sistem ekonomi islam tidak dapat dilaksanakan secar terpisah, untuk itu masyarakat harus siap menerapkan semua sistem islam lainnya seperti bidang hokum, sosial dan politik dalam waktu yang samatanpa semua itu aturan ekonomi tidak akan stabil dan tidak akan efektif misinya.
Aturan islam jika dilaksanakan diluar masyarakat muslim maka akan sia-sia aturan ekonomi islam secara komprehensif berbeda dengan aturan lainnya. Islam tidak pernah membolehkan ummatnya menjadi budak nafsu dan ambisi. Selain aturan ekonomi yang utama islam juga melatih orang agar martabatnya meningkat kepada derajat kemanusiaan yang lebih tinggi, islam menyeimbangkan hubungan antara seorang dengan penciptanya, walaupun kaum materialis mempunyai harta dan kekayaan tapi ia tidak mampu mencapai martabat yang mulia dan lebih tinggi dari Islam. Dilihat dari struktur kalimat, sistim ekonomi Islam terdiri dari tiga suku kata, yakni sistim; ekonomi dan Islam. Dalam Kamus Ilmiaqh Populer (Pius A Partanto dkk: 1994), sistim atau system bararti: metode; cara yang teratur (untuk melakukan sesuatu); susunan cara. Dan Ekonomi artinya: segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya; pengaturan rumah tangga. Islam artinya: damai, tenteram; agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan kitab suci Al-Qur’an. Jadi sistim ekonomi Islam adalah: segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya yang dilakukan dengan cara yang teratur, berdasarkan pandangan Islam. Sistim ekonomi Islam dibangun diatas landasan yang kokoh yang merupakan warisan yang tak ternilai sebagai wasiat utama bagi umat Islam yang tidak mungkin manusia akan tersesat selamanya selama berpegang kepada dua wasiat itu yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Para ulama baik dari kalangan ahli fiqih, ahli hadis, maupun ahli tafsir telah banyak menukilkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang berkenaan dengan prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam. Kesemuanya memberikan gambaran yang utuh tentang otensitas ajaran Islam dalam mengatur berbagai asfek kehidupan termasuk di dalamnya dalam urusan muamalah dalam hal ini tentang urusan ekonomi Islam.

Aspek muamalat dalam hukum Islam termasuk aspek yang luas ruang lingkupnya. Dalam Hal ini M. Quraish Shihab (Pengantar:2002;xx1), mengatakan “Pada dasarnya, pembahasan aspek hukum Islam yang bukan termasuk kategori aspek ibadah seperti shalat, puasa dan haji, bisa disebut sebagai aspek muamalat. Karena itu, masalah perdata, pidana pada umunya dapat digolongkan pada bidang muamalat. Dalam perkembangannya, aspek muamalat dalam hukum Islam, dibagi lagi menjadi: munakahat (perkawinan), jinayah (pidana) dan muamalat dalam arti khusus, yaitu aspek ekonomi dan bisnis dalam Islam. Dengan demikian, pada akhirnya materi fikih muamalat hanya terbatas pada aspek ekonomi dan hubungan kerja (bisnis) yang lazim dilakukan seperti jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.Keterangan diatas mempertegas bahwa aktivitas ekonomi dalam pandangan Islam merupakan salah satu bagian dari mu’amalah. Hal ini dijelaskan oleh Quraish Shihab (1988:408-409), dalam bukunya Wawawasan Al-Qur’an sebagai berikut:“Aktivitas antar manusia  - termasuk aktivitas ekonomi – terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu’amalah (interaksi). Pesaan utama Al-Qur’an dalam mu’amalah keuangan atau aktivitas ekonomi adalah: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau  melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara batil…(QS. Al-Baqarah:188)Perangkat nilai dasar menurut AM. Saefuddin (1984:17-41), adalah “implikasi dari asas filsafat system” yang dijadikan kerangka konstruksi sosial dan tingkah laku sistem, yaitu tentang organisasi pemilikan, pembatasan tingkah laku individual, dan norma tingkah laku para pelaku ekonomi. Sedangkan nilai-nilai instrumental system ekonomi menurut Saefuddin, merupakan fungsionalisasi system yang bersifat strategis dan sangat berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat serta pembangunan ekonomi umumnya, yang meliputi: zakat, Pelarangan riba, Kerjasama ekonmi, Jaminan Sosial, dan Peranan Negara Dalam Sistem Ekonomi. Dalam ajaran Islam semua asfek kehidupan memiliki kedudukan tersendiri yang diatur secara lengkap oleh Al Qur’an dan diterjemahkan secara utuh oleh Hadis Rasulullah yang pada akhirnya direkontruksi menjadi sebuah konsepsi teoritis oleh para fuqoha, para ulama dan ilmuwan Islam yang mampu diaplikasikan dalam kehidupan umat. Ilmu ekonomi Islam juga mendapat

tantangan yang cukup berat dari ilmu ekonomi konvensional. Hal ini terjadi mengingat ilmu ekonomi yang berkembang di

dunia Barat dilandasi dengan kebebasan individu dalam melakukan kontrak dengan syarat tidak merugikan satu sama

lain. Konsep-konsep ekonomi konvensional versi Barat perlu diredefinisi agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

syari’at Islam. Di antara konsep-konsep tersebut antara lain:

1. Konsep Harta

Masalah yang timbul dalam konsep harta adalah bahwa ilmu ekonomi konvensional tidak mengenal adanya nilai dalam

pemilikan harta. Sejauh dapat menimbulkan nilai ekonomis, segala sesuatu dapat diakui sebagai harta. Tidak heran bila

barang-barang haram seperti minuman keras dan daging babi termasuk property yang sah untuk dijadikan sebagai salah

satu komoditi bisnis .

2. Konsep Uang

Pembahasan dalam fiqh mu’amalat mengasumsikan bahwa uang yang digunakan masyarakat adalah uang riil

(real money) yaitu emas dan perak. Padahal sejak jaman penjajahan, uang emas dan perak tidak lagi digunakan

sebagai alat tukar. Sebagai gantinya uang kertas menjadi alat tukar yang berlaku di tengah masyarakat. Para ulama

berbeda pendapat tentang hukum uang kertas ini. Ada yang menganggap bahwa uang kertas tidak diterima dalam

syariah karena bukan harta riil dan ada pula yang dapat menerimanya .

3. Konsep Bunga dan Riba

Dalam ilmu ekonomi, bunga merupakan asumsi yang tidak lagi menjadi bahan perdebatan meskipun sampai saat ini

para ekonom masih sulit mencari justifikasi terhadapnya. Dalam ilmu fiqh mu’amalat istilah ini tidak dikenal

meskipun pembahasan tentang hukum riba boleh dikatakan telah selesai dan para ulama sepakat mengharamkannya .

Dengan konsep uang kertas (abstract money), konsep bunga dan riba menjadi pembahasan yang bekelanjutan.

4. Konsep Time Value of Money

Sebagian besar teori tentang menajemen keuangan dibangun berdasarkan konsep nilai dan waktu dari uang yang

mengasumsikan bahwa nilai uang sekarang relatif lebih besar ketimbang di masa yang akan datang. Sedangkan di sisi

lain, tidak didapati penjelasannya dalam fiqh mu’amalat meskipun perdebatan tentangn jual beli tangguh

(ba’i mu’ajjal) termasuk diskusi yang tidak sedikit di antara para ulama .

5. Konsep Modal

Modal dalam pengertian ilmu ekonomi adalah segala benda, baik yang fisik maupun yang abstarak, yang memiliki nilai

ekonomis dan produktif. Termasuk dalam pengertian ini adalah uang dan intellectual property right. Dalam fiqh

mu’amalat klasik, pengertian modal terbatas pada benda fisik. Uang hanya dapat berperan sebagai alat tukar.

Apabila ia ingin menjadi modal yang digunakan untuk memperoleh keuntungan ia harus terlebih dahulu diubah ke dalam

bentuk fisik .

6. Konsep Lembaga

Ilmu ekonomi tidak mempersoalkan adanya individual entity atau abstract entity. Berbeda halnya dengan fiqh

mu’amalat yang objeknya kepada mukallaf secara individual. Hal ini akan membawa dampak bagi analisa tentang

kepemilikan dan hubungannnya dengan kepemilikan .

Problem epistemologis ilmu ekonomi Islam dan tantangan yang diberikan oleh ilmu ekonomi konvensional yang

disebutkan di atas dapat berimplikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada out put yang dihasilkan oleh

jurusan ekonomi Islam. Fiqh mu’amalat yang diajarkan di jurusan ekonomi Islam tidak mampu untuk

menghasilkan para sarjana muslim yang diterima oleh dunia kerja. Alasannya adalah bahwa skill dan penguasaan

terhadap ekonomi real lebih dibutuhkan sektor industri dan dunia kerja dibandingkan dengan keahlian dalam masalah istimbath al-ahkam

 

7. Ekonomi islam,  sistem perekonomian, membantu manusia untuk menyembah Tuhannya yang telah memberi rezki, dan untuk menyelamatkan manusia dari kemiskinan yang bisa mengkafirkan dan kelaparan yang bis mendatangkan dosa. Oleh karena itu, rumusan sistem islam berbeda sama sekali dari sistem-sistem yang lain nya. Sebagai sistem ekonomi, ia memiliki akar dalam syari’ah yang menjadi sumber pandangan dunia, sekaligus tujuan dan strateginya (Zainul Bahar, 1999; Qardhawi, 1997:72). Oleh karena itu, semua aktifitas ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi, perdagangan, tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir kepada Tuhan. Kalau seorang muslim bekerja di bidang produksi, maka pekerjaan itu dilakukan  tidak lain karena ingin memenuhi perintah Allah (Q. S al-mulk (67):15). Ketika menanam, membajak, atau melakukan pekerjaan lainnya, seorang muslim merasa bahwa ia bekerja dalam rangka beribadah kepada Allah. Makin tekun ia bekerja, makin takwa ia kepada Allah. Bertambah rapi pekerjaannya, bertambah dekat kepada Allah, tertanam dalam hati nya bahwa semua itu adalah rezki dari Allah, maka patutlah bersyukur (Q.S al baqoroh (2) : 172).

 

NAMA            : Singgih

NPM               : 090401140059

KELAS           : PGSD B

 

1. Jika hal-hal tersebut terus berkembang di masyarakat, maka kebenaran  yang sesungguhnya tidak akan pernah muncul, bahkan hal-hal tersebut bisa meluas  pada generasi selanjutnya, semakin lama, masyarakat akan turun temurun mewariskan keyakinan seperti itu pada anak dan cucunya, karena hal-hal seperti itu bertentangan dengan agama, maka sebaiknya tidak usah dipercayai karena tidak ada manfaatnya, bahkan bisa mendatangkan rasa syirik dalam hati manusia, mereka akan senantiasa hidup dalam kondisi yang meragukan.

Upaya yang saya lakukan sebagai calon guru adalah membimbing generasi selanjutnya agar tidak ikut-ikutan mempercayai hal-hal tersebut. karena hal-hal tersebut tidak ada dalam al-Quran dan hadist. Kita umat islam harus berpegang teguh pada al-Quran dan hadist dan tidak boleh menyimpang dari keduanya, dengan membimbing generasi muda ini, akan memutus arus kepercayaan yang bisa menimbulkan rasa syirik.

 

2. Dalam sebuah ayat al-Quran, “Dan janganlah engkau turut apa-apa yang engkau tidak ada ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan ditanya,” (QS. Al-Isra:36). Ayat al-Quran tersebut menjelaskan bahwa ilmu merupakan dasar dari segala tindakan manusia. Karena tanpa ilmu segala tindakan manusia menjadi tidak terarah, tidak benar dan tidak bertujuan. Kata ilmu berasal dari kata kerja ‘alima, yang berarti memperoleh hakikat ilmu, mengetahui, dan yakin. Ilmu, yang dalam bentuk jamaknya adalah ‘ulum, artinya ialah memahami sesuatu dengan hakikatnya, dan itu berarti keyakinan dan pengetahuan. Jadi ilmu merupakan aspek teoritis dari pengetahuan. Dengan pengetahuan inilah manusia melakukan perbuatan amalnya. Jika manusia mempunyai ilmu tapi miskin amalnya maka ilmu tersebut menjadi sia-sia.Dalam beberapa riwayat di jelaskan tentang hubungan ilmu dan amal itu. Imam Ali as berkata, “Ilmu adalah pemimpin amal, dan amal adalah pengikutnya.” Demikian juga dengan perkataan Rasulullah saw , “Barangsiapa beramal tanpa ilmu maka apa yang dirusaknya jauh lebih banyak dibandingkan yang diperbaikinya.” Pada riwayat lain dijelakan Imam Ali as berkata, “Ilmu diiringi dengan perbuatan. Barangsiapa berilmu maka dia harus berbuat. Ilmu memanggil perbuatan. Jika dia menjawabnya maka ilmu tetap bersamanya, namun jika tidak maka ilmu pergi darinya.”
            Dari riwayat di atas maka jika orang itu berilmu maka ia harus diiringi dengan amal. Amal ini akan mempunyai nilai jika dilandasi dengan ilmu, begitu juga dengan ilmu akan mempunyai nilai atau makna jika diiringi dengan amal. Keduanya tidak dapat dipisahkan dalam perilaku manusia. Sebuah perpaduan yang saling melengkapi dalam kehidupan manusia, yaitu setelah berilmu lalu beramal. Pengertian amal dalam pandangan Islam adalah setiap amal saleh, atau setiap perbuatan kebajikan yang diridhai oleh Allah SWT. Dengan demikian, amal dalam Islam tidak hanya terbatas pada ibadah, sebagaimana ilmu dalam Islam tidak hanya terbatas pada ilmu fikih dan hukum-hukum agama. Ilmu dalam dalam ini mencakup semua yang bermanfaat bagi manusia seperti meliputi ilmu agama, ilmu alam, ilmu sosial dan lain-lain. Ilmu-ilmu ini jika dikembangkan dengan benar dan baik maka memberikan dampak yang positif bagi peradaban manusia. Misalnya pengembangan sains akan memberikan kemudahan dalam lapangan praktis manusia. Demikian juga pengembangan ilmu-ilmu sosial akan memberikan solusi untuk pemecahan masalah-masalah di masyarakat. Jadi, mengiringi ilmu dengan amal merupakan keharusan. Dalam pandangan Khalil al-Musawi dalam buku Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana, hubungan ilmu dengan amal dapat difokuskan pada dua hal : Pertama, ilmu adalah pemimpin dan pembimbing amal perbuatan. Amal bisa lurus dan berkembang bila didasari ilmu. Berbuat tanpa didasari pengetahuan tidak ubahnya dengan berjalan bukan di jalan yang benar, tidak mendekatkan kepada tujuan melainkan menjauhkan. Dalam semua aspek kegiatan manusia harus disertai dengan ilmu, baik itu yang berupa amal ibadah maupun amal perbuatan lainnya. Dalam ibadah harus disertai dengan ilmu. Jika ada orang yang melakukan ibadah tanpa didasari ilmu tidak ubahnya dengan orang yang mendirikan bangunan di tengah malam dan kemudian menghancurkannya di siang hari. Begitu juga, hal ini pun berlaku pada amal perbuatan yang lain, dalam berbagai bidang. Memimpin sebuah negara, misalnya, harus dengan ilmu. Negara yang dipimpin oleh orang bodoh akan dilanda kekacauan dan kehancuran. Sedangkan kedua, sesungguhnya ilmu dan amal saling beriringan. Barangsiapa berilmu maka dia harus berbuat, baik itu ilmu yang berhubungan dengan masalah ibadah maupun ilmu-ilmu yang lain. Tidak ada faedahnya ilmu yang tidak diamalkan. Amal merupakan buah dari ilmu, jika ada orang yang mempunyai ilmu tapi tidak beramal maka seperti pohon yang tidak menghasilkan manfaat bagi penanamnya. Begitu pula, tidak ada manfaatnya ilmu fikih yang dimiliki seorang fakih jika dia tidak mengubahnya menjadi perbuatan. Begitu juga, tidak ada faedahnya teori-teori atau penemuan-penemuan yang ditemukan seorang ilmuwan jika tidak diubah menjadi perbuatan nyata. Karena wujud dari pengetahuan itu adalah amal dan karya nyatanya. Ilmu tanpa diiringi dengan amal maka hanya berupa konsep-konsep saja. Ilmu yang tidak dilanjutkan dengan perbuatan, mungkin kita dapat menyebutnya sebagai pengetahuan teoritis. Namun, apa faedahnya ilmu teoritis jika kita tidak menerjemahkannya ke dalam ilmu praktis. Jika ilmu tidak diimplementasikan maka akan memberikan dampak yang negatif. Salah-satu penyakit sosial yang paling berbahaya yang melanda berbagai umat – termasuk umat Islam - adalah penyakit pemutusan ilmu-khususnya ilmu-ilmu agama –dari amal perbuatan, dan berubahnya ilmu menjadi sekumpulan teori belaka yang jauh dari kenyataan dan penerapan. Padahal, kaedah Islam menekankan bahwa ilmu senantiasa menyeru kepada amal perbuatan. Keduanya tidak ubahnya sebagai dua benda yang senantiasa bersama dan tidak terpisah satu sama lain. Jika amal memenuhi seruan ilmu maka umat menjadi baik dan berkembang. Namun jika tidak, maka ilmu akan meninggalkan amal perbuatan, dan dia akan tetap tinggal tanpa memberikan faedah apa pun. Jika demikian nilai apa yang dimiliki seorang manusia yang mempunyai segudang teori dan pengetahuan namun tidak mempraktikkannya dalam dunia nyata. Pertalian ilmu dengan amal tidak hanya dituntut dari para pelajar agama dan para ahli yang mendalami suatu ilmu, melainkan juga dituntut dari setiap orang, baik yang memiliki ilmu sedikit ataupun banyak. Namun, tentunya orang-orang yang berilmu memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam hal ini, karena mereka memiliki kemampuan yang lebih. Allah SWT berfirman di dalam surat Ash-Shaff, ayat (2-3), “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. Sungguh besar murka Allah kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” Jika kita memperhatikan ayat-ayat al-Quran, niscaya kita akan menemukan bahwa al-Quran senantiasa menggandengkan ilmu dengan amal. Makna ilmu diungkapkan dalam bentuk kata iman pada banyak tempat, dengan pengertian bahwa iman adalah ilmu atau keyakinan. Di antaranya ialah :“Demi waktu Asar, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran dan kebajikan.” (QS. Al-‘Ashr:1-3). Dalam ayat lain dikatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.” (QS. Al-Kahfi : 107). Demikian juga dengan ayat, “Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagian dan tempat kembali yang baik.” (QS. Ar-Ra’d :29). Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang betapa ilmu dan amal shaleh memiliki kaitan yang erat yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Karena keduanya bagai dua keping mata uang, yang saling memberi arti. Inilah yang sejalan dengan ucapan Imam Ali as, “Iman dan amal adalah dua saudara yang senantiasa beriringan dan dua sahabat yang tidak berpisah. Allah tidak akan menerima salah satu dari keduanya kecuali disertai sahabatnya.”
            Dengan perspektif keterpaduan ilmu dan amal, maka akan memberikan perkembangan kearah perbaikan dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat akan berlomba-lomba dalam memberikan amal shaleh satu sama lain. Imam Ali as berkata, “Jangan sampai ilmumu menjadi kebodohan dan keyakinanmu menjadi keraguan. Jika engkau berilmu maka beramalah, dan jika engkau yakin maka majulah.” Dengan ilmu yang benar, serta amal shaleh maka masyarakat bergerak dari kebodohan menuju kepintaran, dari ketertinggalan menuju kemajuan dan dari kehancuran menuju kebangkitan.

3. Sudah menjadi kewajiban kita semua untuk ikut serta ambil peran dalam usaha bersama bangsa kita untuk mewujudkan masyrakat berperadaban, masyarakat madani, civil society, dinegara kita tercinta, Republik Indonesia. Karena terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adalah Nabi Muhammad Rasulullah sendiri yang memberi teladan kepada umat manusia ke arah pembentukan masyarakat peradaban. Setelah belasan tahun berjuang di kota Mekkah tanpa hasil yang terlalu menggembirakan, Allah memberikan petunjuk untuk hijrak ke Yastrib, kota wahah atau oase yang subur sekitar 400 km sebelah utara Mekkah. Sesampai di Yastrib, setelah perjalanan berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, Nabi disambut oleh penduduk kota itu, dan para gadisnya menyanyikan lagu Thala'a al-badru 'alaina (Bulan Purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair dan lagu yang kelak menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Kemudian setelah mapan dalam kota hijrah itu, Nabi mengubah nama Yastrib menjadi al-Madinat al-nabiy (kota nabi). Secara konvensional, perkataan "madinah" memang diartikan sebagai "kota". Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna "peradaban". Dalam bahasa Arab, "peradaban" memang dinyatakan dalam kata-kata "madaniyah" atau "tamaddun", selain dalam kata-kata "hadharah". Karena itu tindakan Nabi mengubah nama Yastrib menjadi Madinah, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar hendak mendirikan dan membangun mansyarakat beradab. Tak lama setelah menetap di Madinah itulah, Nabi bersama semua penduduk Madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani, dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama-sama. Dan di Madinah itu pula, sebagai pembelaan terhadap masyarakat madani, Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perang membela diri dan menghadapi musuh-musuh peradaban. Jika kita telaah secara mendalam firman Allah yang merupakan deklarasi izin perang kepada Nabi dan kaum beriman itu, kita akan dapat menangkap apa sebenarnya inti tatanan sosial yang ditegakkan Nabi atas petunjuk Tuhan. Diizinkan berperang bagi orang-prang yang diperangi, karena mereka sesungguhnya telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah amat berkuasa untuk menolong mereka.Yaitu mereka yang diusir dari kampung halaman mereka secara tidak benar, hanya karena mereka berkata: "Tuhan kami ialah Allah". Dan kalaulah Allah tidak menolak (mengimbangi) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya runtuhlah gereja-gereja, sinagog-sinagog, dann masjid-masjid yang disitu banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah akan menolong siapa saja yang menolong-NYA (membela kebenaran dan keadilan).Yaitu mereka, yang jika kami berikan kedudukan di bumu, menegakkan sembahyang serta menunaikan zakat, dan mereke a menuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat kejahatan, dan mereka mennyuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat kejahatan. Dan bagi Allah jualah segala kesudahan semua perkara. (Q.S. Al-Hajj-39-41). Dari firman deklarasi izin perang kepada nabi dan kaum beriman itu, bahwa perang dalam masyarakat madani dilakukan karena keperluan harus mempertahankan diri, melawan dan mengalahkan kezaliman. Perang itu juga dibenarkan dalam rangka membela agama dan sistem keyakinan, yang intinya ialah kebebasan menjalankan ibadat kepada Tuhan. Lebih jauh, perang yang diizinkan Tuhan itu adalah untuk melindungi lembaga-lembaga keagamaan seperti biara, gereja, sinagog, dan mesjid (yang dalam lingkungan Asia dapat ditambah dengan kuil, candi, kelenteng, dan seterusnya) dari kehancuran. Perang sebagai suatu keterpaksaan yang diizinkan Allah itu merupakan bagian dari mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang diciptakan Allah untuk menjaga kelestarian hidup manusia. Seperti dunia sekarang ini yang selamat dari "kiamat nuklir" karena perimbangan kekuatan nuklir antara negara-negara besar, khususnya Amerika dan Rusia (yang kemudian masing-masing tidak berani menggunakan senjata nuklirnya—yang disebut "kemacetan nuklir"), masyarakat pun berjalan mulus dan terhindar dari bencana jika di dalamnya terdapat mekanisme pengawasan dan pengimbangan secara mantap dan terbuka (renungkan QS Al-Baqarah:152). Dengan memahami prinsip-prinsip itu, kita juga akan dapat memahami masyarakat madani yang dibangun nabi di Madinah. Membangun masyarakat peradaban itulah yang dilakukan Nabi selama sepuluh tahun di Madinah. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-NYA. Taqwa kepada Allah dalam arti semangat ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam peristilahan Kitab Suci juga disebut semangat Rabbaniyah (QS Alu Imran:79) atau ribbiyah (QS Alu Imran:146). Inilah hablun mim Allah, tali hubungan dengan Allah, dimensi vertikal hidup manusia, salah satu jaminan untuk manusia agar tidak jatuh hina dan nista. Semangat Rabbaniyah atau ribbiyah itu, jika cukup tulus dan sejati, akan memancar dalam semangat perikemanusiaan, yaitu semangat insaniyah, atau basyariyah, dimensi horisontal hidup manusia, hablun min al-nas. Kemudian pada urutannya, semangat perikemanusiian itu sendiri memancar dalam berbagai bentuk hubungan pergaulan manusia yang penuh budi luhur. Maka tak heran jika Nabi dalam sebuah hadisnya menegaskan bahwa inti sari tugas suci beliau adalah untuk "menyempurnakan berbagai keluhuran budi". Masyarakat berbudi luhur atau berakhlak mulia itulah, masyarakat berperadaban, masyarakat madani, "civil society". Masyarakat Madani yang dibangun nabi itu, oleh Robert N. Bellah, seorang sosiologi agama terkemuka disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga setelah nabi sendiri wafat tidak bertahan lama. Timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti dirintis Nabi. Setelah Nabi wafat, masyarakat madani warisan Nabi itu, yang antara lain bercirikan egaliterisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan, hanya berlangsung selama tiga puluh tahunan masa khulafur rasyidin. Sesudah itu, sistem sosial madani dengan sistem yang lebih banyak diilhami oleh semangat kesukuan atau tribalisme Arab pra-Islam, yang kemudian dikukuhkan dengan sistem dinasti keturunan atau geneologis itu sebagai "Hirqaliyah" atau "Hirakliusisme", mengacu kepada kaisar Heraklius, penguasa Yunani saat itu, seorang tokoh sistem dinasti geneologis. Begitu keadaan dunia Islam, terus-menerus hanya mengenal sistem dinasti geneologis, sampai datangnya zaman modern sekarang. Sebagian negara muslim menerapkan konsep negara republik, dengan presiden dan pimpinan lainnya yang dipilih. Karena itu, justru dalam zaman modern inilah, prasarana sosial dan kultural masyarakat madani yang dahulu tidak ada pada bangsa manaoun di dunia, termasuk bangsa Arab, mungkin akan terwujud. Maka kesempatan membangun masyarakat madani menuurut teladan nabi, justru mungkin lebih besar pada masa sekarang ini. Berpangkal dari pandangan hidup bersemangat ketuhanan dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia (QS Fushshilat:33), masyarakat madani tegak berdiri di atas landasan keadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang kepada hukum. Menegakkan hukum adalah amanat Tuhan Yang Maha Esa, yang diperintahkan untuk dilaksanakan kepada yang berhak (QS Al-Nisa:58). Dan Nabi telah memberi telaadan kepada kita. Secara amat setia beliau laksanakan perintah Tuhan itu. Apalagi Al-Qur'an juga menegaskan bahwa tugas suci semua Nabi ialah menegakkan keadilan di antara manusia (QS Yunus:47). Juga ditegakkan bahwa para rasul yang dikirim Allah ke tengah umat manusia dibekali dengan kitab suci dan ajaran keadilan, agar manusia tegak dengan keadilan itu (QS al-Hadid:25). Keadilan harus ditegakkan, tanpa memandang siapa yang akan terkena akibatnya. Keadilan juga harus ditegakkan, meskipun mengenai diri sendiri, kedua orang tua, atau sanak keluarga (QS A-'Nisa:135). Bahkan terhadap orang yang membenci kita pun, kita harus tetap berlaku adil, meskipun sepintas lalu keadilan itu akan merugikan kita sendiri (QS Al-Ma'idah:8). Atas pertimbangan ajaran itulah, dan dalam rangka menegakkan masyarakat madani, Nabi tidak pernah membedakan anatara "orang atas", "orang bawah", ataupun keluaarga sendiri. Beliau pernah menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah karena jika "orang atas" melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi jika "orang bawah" melakukannya pasti dihukum. Karena itu Nabi juga menegaskan, seandainya Fatimah pun, puteri kesayangan beliau, melakukan kejahatan, maka beliau akan menghukumnya sesuai ketentuan yang berlaku. Masyarakat berperadaban tak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, yang dimulai dengan ketulusan komitmen pribadi. Masyarakat berperadaban memerlukan adanya pribadi-pribadi yang dengan tulus mengikatkan jiwanya kepasda wawasan keadilan. Ketulusan ikatan jiwa itu terwujud hanya jika orang bersangkutan ber-iman, percaya dan mempercayai, dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan, dalam suatu keimanan etis, artinya keimanan bahwa Tuhan menghendaki kebaikan dan menuntut tindakan kebaikan manusia kepada sesamanya. Dan tindakan kebaikan kepada sesama manusia harus didahului dengan diri sendiri menempuh hidup kebaikan, seperti dipesankan Allah kepada para Rasul (QS Al-Mu'minun:51), agar mereka "makan dari yang baik-baik dan berbuat kebajikan." Ketulusan ikatan jiwa, juga memerlukan sikap yang yakin kepada adanya tujuan hidup yang lebih tinggi daripada pengalaman hidup sehari-hari di dunia ini. Ketulusan ikatan jiwa perlu kepada keyakinan bahwa makna dan hakikat hidup manusia pasti akan menjadi kenyataan dalam kehidupan abadi, kehidupan setelah mati, dalam pengalaman bahagia atau sengsara. Karena itu, ketulusan ikatan jiwa kepada keadilan mengharuskan orang memandang hidup jauh di depan, tidak menjadi tawanan keadaan di waktu sekarang dan di tempat ini (dunia) (QS Al-'Araf:169). Tetapi, tegaknya hukum dan keadilan tak hanya perlu kepada komitmen-komeitmen pribadi. Komitmen pribadi yang menyatakan diri dalam bentuk "itikad baik", memang mutlak diperlukan sebagai pijakan moral dan etika dalam masyarakat. Sebab, bukankah masyarakat adalah jumlah keseluruhan pribadi para anggotanya? Apalagi tentang para pemimpin masyarakat atau public figure, maka kebaikan itikad itu lebih-lebih lagi dituntut, dengan menelusuri masa lalu sang calon pemimpin, baik bagi dirinya sendiri maupun mungkin keluarganya. Karena itu, di banyak negara, seorang calon pemimpin formal harus mempunyai catatan perjalanan hidup yang baik melalui pengujian, bukan oleh perorangan atau kelembagaan, tetapi oleh masyarakat luas, dalam suasana kebebasan yang menjamin kejujuran. Namun sesungguhnya, seperti halnya dengan keimanan yang bersifat amat pribadi, itikad baik bukanlah suatu perkara yang dapat diawasi dari diri luar orang bersangkutan. IA dapat bersifat sangat subjektif, dibuktikan oleh hampir mustahilnya ada orang yang tidak mengaku beritikad baik. Kecuali dapat diterka melalui gejala lahir belaka, suatu itikad baik tak dapat dibuktikan, karena menjadi bagian dari bunyi hati sanubari orang bersangkutan yang paling rahasia dan mendalam. Oleh sebab itu, iitikad pribadi saj atidak cukup untuk mewujudkan masyarakat berperadaban. Itikad baik yang merupakan buah keimanan itu harus diterjemahkan menjadi tindakan kebaikan yang nyata dalam masyarakat, berupa "amal saleh", yang secara takrif adalah tindakan membawa kebaikan untuk sesama manusia. Tindakan kebaikan bukanlah untuk kepentingan Tuhan, sebab Tuhan adalah Maha Kaya, tidak perlu kepada apapun dari manusia. Siapa pun yang melakukan kebaikan, maka dia sendirilah --melalui hidup kemasyarakatannya-- yang akan memetik dan merasakan kebaikan dan kebahagiaan. Begitu pula sebaiknya, siapapun yang melakukan kejahatan, maka dia sendiri yang kan mewnanggung akibat kerugian dan kejahatannya. (QS Fushilat:46, Al-Jatsiyah:15). Jika kita perhatikan apa yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari, jelas sekali bahwa nilai-nilai kemasyarakatan yang terbaik sebagian besar dapat terwujud hanya dalam tatanan hidup kolektif yang memberi peluang kepada adanya pengawasan sosial. Tegaknya hukum dan keadilan, mutlak emmerlukan suatu bentuk interaksi sosial yang memberi peluang bagi adanya pengawasan itu. Pengawasan sosial adalah konsekuensi langsung dari itikad baik yang diwujudkan dalam ttindakan kebaikan. Selanjutnya, pengawasan sosial tidak mungkin terselenggara dalam suatu tatanan sosial yang tertutup. Amal soleh ataupun kegiatan "demi kebaikan", dengan sendirinya berdimensi kemanusiaan, karena berlangsung dalam suatu kerangka hubungan sosial, dan menyangkut orang banyak. Suatu klaim berbuat baik untuk masyarakat, apalagi jika pebuatan atau tindakan itudilakukan melaluipenggunaan kekuasaan, tidak dapat dibiarkan berlangsung denan mengabaikan masyarakat, apalagi jika perbuatan atau tindakan dilakukan melalui penggunaan kekuasaan. tidak dapat dibiarkan berlangsung dengan mengabaikan masyarakat itu sendiri dengan berbagai pandangan, penilaian dan pendapat yang ada. Dengan demikian, masyarakat madani akan terwujud hanya jika terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyrakat. Keterbukaan adalah konsekuensi dari kemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara optimis dan positif. Yaitu pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (QS Al-'araf: 172, Al-Rum:30), sebelum terbukti sebaliknya. Kejahatan pribadi manusia bukanlah sesuatu hal yang alami berasal dari dalam kediriannya. Kejahatan terjadi sebagai akibat pengaruh dari luar, dari pola budaya yang salah, yang diteruskan terutama oelh seorang tua kepada anaknya. Karena itu, seperti ditegaskan dalam sebuah hadist Nabi, setiap anak dilahirkan dlam kesucian asal, namun orangtuanyalah yang membuatnya menyimpang dari kesucian asal itu. Ajaran kemanusiaan yang suci itu membawa konsekuensi bahwa kita harus melihat sesama manusia secara optimis dan positif, sdengan menerapkan prasangka baik (husn al-zhan), bukan prasangka buruk (su' al-zhan), kecuali untuk keperluan kewaspadaan seeprlunya dalam keadaan tertentu. Tali persaudaraan sesama manusia akan terbina antara lain jika dalam masyarakat tidak terlalu banyak prasangka buruk akibat pandangan yang pesimis dan negatif kepada manusia (QS al-Hujurat:12). Berdasarkan pandangan kemanusiaan yang optimis-positif itu, kita harus memandang bahwa setiap orang mempunyai potensi untuk benar dan baik. Karena itu, setiap orang mempunyai potensi untuk menaytakan pendapat dan untuk didengar. Dari pihak yang mndengar, kesediaan untuk mendengar itu sendiri memerlukan dasar moral yang amat penting, yaitu sikap rendah hati, berupa kesiapan mental untuk menyadari dan mengakui diri sendiri selalu berpotensi untuk membuat kekeliruan. Kekeliruan atau kekhilafan terjadi karena manusia adalah makhluk lemah (QS Al-Nisa': 28). Keterbukaan adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Keterbukaaan serupa itu dalam kitab suci disebutkan sebagai tanda adanya hidayah dari Allah, dan membuat yang bersangkutan tergolong orang-orang yang berpikiran mendalam (ulu' al-bab), yang sangat beruntung (QS al-Zumar:17-18).

Usaha yang dapat saya lakukan ialah menyelesaikan masalah dengan jalan musyawarah. Musyawarah pada hakikatnya tak lain adalah interaksi positif berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberi hak untuk menyatakan pendapat, dan saling mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat itu. Dalam bahasa lain, musyawarah ialah hubungan interaktif untuk saling mewngingatkan tentang kebenaran dan kebaikan serta ketabahan dalam mencari penyelesaian masalah bersama, dalam suasana persamaan hak dan kewajiban antara warga masyarakat (QS al-'Ashar). Itulah masyarakat demokratis, yang berpangkal dari keteguhan wawasan etis dan moral berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Masyarakat demokratis tidak mungkin tanpa masyarakat berperadaban, masyarakat madani. Berada di lubuk paling dalam dari masyarakat madani adalah jiwa madaniyah, civility, yaitu keadaban itu sendiri. Yaitu sikap kejiwaaan pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selamanya benar, dan tidak ada suatu jawaban yang selamanya benar atas suatu masalah. Dari keadaan lahir sikap yang tulus untuk menghargai sesama manusia, betappaun seorang individu atau suatu kelompok berbeda dengan diri sendiri dan kelompok sendiri. Karena itu, keadaban atau civility menuntut setiap orang dan kelompok masyarakat untuk menghindar dari kebiasaan merendahkan orang atau kelompok lain, sebab "Kalau-kalau mereka yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka yang direndahkan" (QS al-Hujurat:11). Tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan pluralisme, adalah kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Sebab toleransi dan pluralisme tak lain adalah wujud dari "ikatan keadaban" (bond of civility), daolam sarti, sebagaimana telah dikemukakan, bahwa masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan interaksi sosial yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betappaun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri. Bangsa Indonesia memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk nmenegakkan masyarakat madani. Dan kita semua sangat berpengharapan bahwa masyarakat madani akan segera tumbuh semakain kuat di amsa dekat ini. Kemajuan besar yang telah dicapai oleh Orde Baru dala m meningkatkan taraf hidup rakyat dan kecerdasan umum, adalah alasan utam akita untuk berpengaharapan itu. Kita wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berterima kasih kepada para pemimpin bangsa, bahwa keadaaan kita sekarang ini, hampir di segala bidang, jauh lebih baik, sangat jauh lebih baik, daripada dua-tiga dasawarsa yang lalu. Tetapi, sejalan dengan suatu cara Nabi bersyukur kepada Allah, yaitu dengan memohon ampun kepada-Nya, kita pun bersyukur kepada-Nya dengan menyadari dan mengakui berbagai kekurangan kita. Dan kita semua tidak mau menjadi korban keberhasilan kita sendiri, misalnya karena kurang mampu melakukan antisipasi terhadap tuntutan masyarakat yang semakin berkecukupan dan berpendidikan. Terkiaskan denagn makna ungkapan "revolusi sering memakan anaknya sendirinya sendiri", kita semua harus berusaha mencegah jangan sampai "keberhasilan memakan anaknya sendiri" pula. 

4. Sekularisme dalam Kamus Oxford didefinasikan sebagai “wordly or material. Not religious or spiritual” maksudnya keduniaan atau kebendaan, bukan agama atau roh. Para ulama’ telah bersepakat menyatakan bahawa sekularisme menyampingkan agama dari urusan kenegaraan, kemasyarakatan dan ekonomi. Ia meletakkan agama dalam ruang lingkup yang amat sempit dan memberi kebebasan kepada individu menganut agama yang disukainya. Faham sekularisme ini menjadi Ibu kepada puluhan isme lain. Walaupun pada asalnya ia sekedar pengasingan agama daripada dunia tetapi terus berkembang dan berpegang dengan prinsip “here and now”. Secara tidak langsung fahaman ini menghasilkan penolakan terhadap hari akhirat dan manusia bebas melakukan apa saja. Menurut Prof. Dr. Sayyid Muhammad Naquib Al-Attas, beliau menganggap bahwa sekularisme adalah faham kekinidisian, yaitu  penumpuan pada zaman sekarang dan ruang kehidupan duniawi. Bagi manusia sekularis tidak ada ‘nanti’ (hari akhirat) dan tidak ada ‘ sana’ (kehidupan ukhrawi) atau sekurang-kurangnya tidak mempedulikannya. Menurut mereka yang wujud hanya alam fizikal ini dan dengan demikian mereka menolak realiti-realiti metafizik. World-view seperti itu jelas sempit dan terbatas, sekadar nazrah atau pandangan inderawi terhadap al-kawn atau alam fizikal. Namun demikian, ini bertentangan dengan world-view Islami yang meliputi segala kewujudan alam syahadah dan alam ghaib, alam tabi’i dan alam metafizik yang dapat dilihat dengan mata inderawi dan tampak pada pandangan a’kli-nurani. Oleh yang demikian, kerana itulah Prof Al-Attas mendefinasikan world-view Islami sebagai ru’yat al-Islam li al-wujud. Manakala pandangan Dr. Uthman El-Muhammady, di mana beliau telah mengupas istilah sekular daripada sudut barat serta secular dalam bentuk pengetahuan dan amalan dalam Islam. Istilah sekular dari sudut pendidikan, seni (musik), sejarah, sastra dan lain-lain, membawa maksud pendidikan yang tidak berhubung dengan agama atau mengecualikan pengajaran agama dari pendidikan. Dr. Uthman telah membedakan sekular dari sudut negatif dan positif. Dari sudut negatif apabila sekular diamalkan, langsung tidak mempunyai hubungan dengan kerohanian (lebih kepada duniawi) dan juga bertentangan dengan prinsip Islam itu sendiri. Manakala sekular yang positif pula ialah yang dibolehkan dalam Islam, contohnya seseorang yang melakukan kerja yang dicampur dengan fahaman ini untuk membolehkan ia menunaikan ibadah kepada Allah SWT. Namun begitu, beliau menyatakan bahwa lebih wajar sekiranya istilah sekular ini tidak diartikan kepada maksud yang positif (yang boleh diamalkan) dan negatif (yang benar-benar keji) yang pastinya setiap sekular itu hanya menjurus ke arah keduniaan tanpa dikaitkan dengan urusan ukhrawi. Hal ini apabila dikaitkan dengan kerohanian ia berubah menjadi sakral (suci). Istilah sekularisme secara keseluruhannya yang dipetik dari kamus Webster’s Encyclopedia, kamus Al-Mawrid, kamus Dewan dan Oxford English Dictionary jelas menunjukkan bahwa setiap perkara yang dilakukan hanya berhubung dengan dunia tanpa berkaitan dengan Zat Mutlak (Allah SWT).

PLURALISME: Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi. Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar. Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.

Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran.

Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing.

Liberalisme: Berasal dari bahasa latin Liber, yang artinya bebas atau merdeka. Dari sini muncul istilah liberal arts yang berarti ilmu yang sepatutnya dipelajari oleh orang merdeka, yaitu: aritmetika, geometri, astronomi, musik, gramatika, logika dan retorika. Sebagai ajektif, kata liberal dipakai untuk menunjukkan sikap anti-feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas dan terbuka (open-minded) dan oleh karena itu merasa hebat (magnanimous). Dalam politik, liberalisme dimaknai sebagai sebuah sistem yang menentang mati-matian sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya republik-republik dengan sistem demokrasi menggantikan kerajaan atau kesultanan tidak lepas dari liberalisme ini. Dalam bidang ekonomi, liberalisme menunjuk pada sistem pasar bebas, di mana peran dan intervensi pemerintah sangat dibatasi. Kini liberalisme ekonomi menjadi identik dengan kapitalisme. Negara-negara miskin cenderung menjadi wilayah pinggiran bagi perekonomian negara-negara kaya. Peran pemerintah yang mestinya melayani dan melindungi kepentingan rakyatnya, bergeser menjadi melayani dan melindungi kepentingan para pemodal internasional yang telah menginvestasikan modalnya di negara tersebut. Bahkan tidak jarang kebijakan ekonomi negara-negara miskin secara terang-terangan mengambil posisi berlawanan dengan aspirasi rakyat mereka sendiri.

            Agama Kristen mulai bersinar di Eropa ketika pada tahun 313 Kaisar Konstantin mengeluarkan surat perintah (edik) yang isinya memberi kebebasan kepada warga Romawi untuk memeluk Kristen. Bahkan pada tahun 380 Kristen dijadikan sebagai agama negara oleh Kaisar Theodosius. Menurut edik Theodosius semua warga negara Romawi diwajibkan menjadi anggota gereja Katolik. Agama-agama kafir dilarang. Bahkan sekte-sekte Kristen di luar “gereja resmi” pun dilarang. Dengan berbagai keistimewaan ini, Kristen kemudian menyebar ke berbagai penjuru dan dunia, bahkan menjadi sebuah imperium yang otoriter dengan selalu mengatasnamakan kehendak Tuhan. Liberalisme muncul di Eropa sebagai reaksi dan perlawanan atas otoriteritas gereja yang dengan mengatasnamakan Tuhan telah melakukan penindasan. Konon tidak kurang dari 32.000 orang dibakar hidup-hidup atas alasan menentang kehendak Tuhan. Galileo, Bruno dan Copernicus termasuk di antara saintis-saintis yang bernasib malang karena melontarkan ide yang bertentangan dengan ide Gereja. Untuk mengokohkan dan melestarikan otoriteritas itu, Gereja membentuk institusi pengadilan yang dikenal paling brutal di dunia sampai akhir abad 15, yaitu Mahkamah Inquisisi. Karen Amstrong dalam bukunya Holy War: The Crusade and Their Impact on Today’s World (1991 : 456) menyatakan, “Most of us would agree that one of the most evil of all Christian institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the Chatholic Chuch until the end of seventeenth century.”

            Despotisme Gereja ini telah mengakibatkan pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja. Kaum liberal menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja. Liberalisme membolehkan setiap orang melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya. Manusia tidak lagi harus memegang kuat ajaran agamanya, bahkan kalau ajaran agama tidak sesuai dengan kehendak manusia, maka yang dilakukan adalah melakukan penafsiran ulang ayat-ayat Tuhan agar tidak bertabrakan dengan prinsip-prinsip dasar liberalisme. Wajar jika kemudian berbagai tindakan amoral pun seperti homoseksual, seks bebas, aborsi, dan juga berbagai aliran sesat dan menyesatkan dalam agama dianggap legal, karena telah mendapatkan justifikasi ayat-ayat Tuhan yang telah ditafsir ulang secara serampangan dan kacau. Di antara sejumlah tokoh yang berani menentang otoritas Gereja adalah Nicolaus Copernicus (1543 M) dengan teori Heliosentris-nya yang menyatakan bahwa Matahari sebagai pusat Tata Surya. Sebuah teori yang menentang ajaran Gereja yang sekian lama memegang filsafat Ptolomaeus yang menyatakan bahwa Bumilah sebagai pusat (Geo-centris). Perjuangannya diikuti Gardano Bruno (1594M), fisikawan Jerman Johannes Kapler (1571 M), Galileo Galilei (1564 M) dan Isaac Newton (1642 M). John Lock (1704 M) kemudian mengusung liberalisme bidang politik dengan menyodorkan ideologi yang mendorong masyarakat untuk membebaskan diri dari kekangan Gereja waktu itu. Adam Smith (1790M) mengusung liberalisme di bidang ekonomi yang memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menjalankan kegiatan ekonominya tanpa intervensi dari pemerintahan gereja atau pemerintahan raja yang didukung gereja.
Ketika otoritas Gereja runtuh, bangsa Eropa terpecah menjadi dua aliran besar dalam menyikapi agama. Pertama, Aliran Deisme, yaitu mereka yang masih mempercayai adanya Tuhan, tapi tidak memercayai ayat-ayat Tuhan. Tokoh-tokohnya antara lain, Martin Luther, John Calvin, Isaac Newton, John Lock, Immanuel Kant, dsb. Dan kedua, Aliran Materialisme atau Atheisme. Aliran ini menganggap bahwa agama merupakan gejala masyarakat yang sakit. Agama dinilai sebagai candu atau racun bagi masyarakat. Di antara tokohnya, Hegel, Ludwig Feuerbach, dan Karl Marx. Ketidakpercayaan kepada Tuhan diusung pula oleh Charles Darwin (1809-1882 M) melalui bukunya The Origin of Species by Means Natural Selection (1859M). Melalui teori evolusinya, Darwin mencoba memisahkan intervensi Tuhan dalam penciptaan alam dan makhluk hidup di muka bumi ini. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa liberalisme merupakan upaya keluar dari kekangan ajaran Kristen yang bermasalah. Liberalisme telah mengantarkan masyarakat Barat menjadi orang atheis atau paling tidak deis. Di bidang sosial kaum liberalis telah melegalkan homoseksual. Dignity, sebuah organisasi gay Katolik internasional pada tahun 1976 saja sudah memiliki cabang di 22 negara bagian AS. Di Australia ada organisasi serupa Acceptance, di Inggris ada Quest, di Swedia ada Veritas. Fakta yang fenomenal terjadi ketika Nopember 2003 seorang pendeta bernama Gene Robinson yang notabene seorang homoseks, dilantik menjadi Uskup Gereja Anglikan di New Hampshire. Liberalisme mengajarkan bahwa seks bebas dan aborsi sebagai privasi individu yang tidak boleh dicampuri oleh aturan agama atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, selama individu tersebut senang, sukarela, suka sama suka. Masyarakat dan agama tidak boleh menghakimi mereka. Padahal dampak terkejam dari perilaku seks bebas adalah kecenderungan manusia untuk lari dari tanggung jawab. Ketika terjadi kehamilan, jalan yang ditempuh adalah aborsi. Kaum liberalis menuntut emansipasi wanita, kesetaraan gender dengan mengabaikan nilai-nilai agama. Dengan jargon kebebasan (liberty) dan persamaan (egality), kaum feminis secara ekstrem telah memunculkan semangat melawan dominasi laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga. Banyak pria atau wanita yang lebih memilih hidup sendiri. Kebutuhan seksual dipenuhi dengan zina (free-sex), kebutuhan akan anak dipenuhi dengan adopsi dan bertindak sebagai single parent. Jika tidak mau direpotkan dengan anak, maka aborsi jadi solusi. Sejumlah negara Barat telah melakukan “Revolusi Jingga” dengan mengesahkan undang-undang yang melegalkan perkawinan sejenis. Liberalisasi di bidang agama juga sudah merasuk kaum muslimin di Indonesia . Liberalisasi Islam dilakukan melalui tiga bidang penting dalam Islam, yaitu: (1) Liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham pluralisme agama. Paham ini menyatakan bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa hanya agamanya saja yang benar. Menurut mereka, salah satu ciri agama jahat adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri. (2) Liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekontruksi terhadap Al-Qur’an. Para liberalis Islam telah memosisikan diri sebagai epigon terhadap Yahudi dan Kristen yang melakukan kajian “Biblical Criticism”. Kajian kritis terhadap Bible yang memang bermasalah. Menurut liberalis “All scriptures are miracles; semua kitab suci adalah mukjizat. Jadi Al-Qur`an sejajar dengan Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Weda, Bagawad Ghita, Tripitaka, Darmogandul dan Gatoloco (?). (3) Liberalisasi syari’at Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah qath’i dan pasti dibongkar dan dibuat hukum baru yang sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara yang jadi barometernya bukan lagi Al-Qur’an dan As-Sunnah tapi demokrasi, HAM, gender equality (kesetaraan gender) dan pluralisme. Kalau orang menyakini bahwa semua agama benar, bahwa Tuhan semua agama itu sama, hanya berbeda dalam memanggil, bahwa semua kitab suci itu sama mukjizat, masih patutkah dikategorikan sebagai seorang muslim dan mukmin? Wallahu a’lam.

 

5.  Batasan yang diperbolehkan

·         membantu fakir miskin pada waktu hari raya, walaupun beda agama

·         saling menghargai pada saat ibadah atau merayakan hari besar keagamaan

·         hidup rukun dalam masyarakat demi terciptanya kerukunan antar umat beragama

·         tidak memaksakan keyakinan kita pada orang yang beda agama

 

Batasan yang tidak diperbolehkan

·         menganggu saat ibadahan

·         selalu memusuhi orang yang beda agama

·         memaksa orang lain untuk melaksanakan ajaran agama yang kita anut

·         tidak ada rasa persaudaraan karena merasa tidak sejalan

 

6. Kiranya tepatlah dikatakan bila ilmu ekonomi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ambisi dan materi, ilmu ekonomi dititik beratkan pada usaha mencapai tujuan. Allah pencipta manusia dan jin telah menciptakan manusia dari unsure jasmani dan rohani, bukan hanya manusia, semua makhluk tumbuhan dan hewanpun terdiri dari dua unsure tersebut.
Keberadaan jasad manusia, menghendaki kebutuhan-kebutuhan dan cara memenuhinya, tanpa memenuhi kebutuhan tersebut hidup tidak akan lestari, oleh karenanya tidak ada jalan lain untuk tidak memenuhinya selain dengan cara biologis, namun memenuhinya kebutuhan bukan berarti tujuan akhir hidup manusia. Karenanya kita harus meletakkan kebutuhan dalam kemampuan mental dan fisik dengan merubahnya menjadi kebutuhan akan menyembah Allah yang menciptakan kita. Inilah konsep pertama ekonomi islam.
Konsep kedua yaitu, beriman kepada Allah, sebagi muslim kita tidak bisa mentolerir politeisme sedikitpun. Tujuan setiap perbuatan yang bertentangan dengan keimanan terhadap keesaan Allah tidak ada kaitannya dengan islam. Karena dapat merusak dasar-dasar dan sandi islam. Berarti hanya ada dua alternative, monotoisme murni atau politeisme mutlak.
Dalam kebebasan berkehendak manusia tidak dapat memilih apapun, tidak ada pilihan ke-3 dalam keadaan apapun bila setan materialisme hendak mengungguli islam dan hendak menjadikannya sebagai sumber kebutuhan dan tolak ukur martabat maka berarti ia telah sama dengan menyekutukan Allah. Hal ini sangat bertentangan dengan prisip islam karena segala pemujaan atau penyembaan kepada selain Allah tidak akan membantu kepada pencapaian hidup. Cara tersebut bahkan sangat menyesatkan dan semakin menjauhkan para pengikutnya dari islam.
Konsep ekonomi islam yang ke-3, dalam situasi apapun aturan islam harus berlaku, ekonomi adalah bagian penting kehidupan manusia dalam segala bidang.
Islam adalah aturan hidup yang paling lengkap, dalam meletakkan dasar-dasar ekonomi islam diperlukan praktek dasar secara bersamaan untuk nmenunjukkan keeksistensi sebagi suatu keadaan yang tidak dapat dihindarkan. Sistem ekonomi islam tidak dapat dilaksanakan secar terpisah, untuk itu masyarakat harus siap menerapkan semua sistem islam lainnya seperti bidang hokum, sosial dan politik dalam waktu yang samatanpa semua itu aturan ekonomi tidak akan stabil dan tidak akan efektif misinya.
Aturan islam jika dilaksanakan diluar masyarakat muslim maka akan sia-sia aturan ekonomi islam secara komprehensif berbeda dengan aturan lainnya. Islam tidak pernah membolehkan ummatnya menjadi budak nafsu dan ambisi. Selain aturan ekonomi yang utama islam juga melatih orang agar martabatnya meningkat kepada derajat kemanusiaan yang lebih tinggi, islam menyeimbangkan hubungan antara seorang dengan penciptanya, walaupun kaum materialis mempunyai harta dan kekayaan tapi ia tidak mampu mencapai martabat yang mulia dan lebih tinggi dari Islam. Dilihat dari struktur kalimat, sistim ekonomi Islam terdiri dari tiga suku kata, yakni sistim; ekonomi dan Islam. Dalam Kamus Ilmiaqh Populer (Pius A Partanto dkk: 1994), sistim atau system bararti: metode; cara yang teratur (untuk melakukan sesuatu); susunan cara. Dan Ekonomi artinya: segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya; pengaturan rumah tangga. Islam artinya: damai, tenteram; agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan kitab suci Al-Qur’an. Jadi sistim ekonomi Islam adalah: segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya yang dilakukan dengan cara yang teratur, berdasarkan pandangan Islam. Sistim ekonomi Islam dibangun diatas landasan yang kokoh yang merupakan warisan yang tak ternilai sebagai wasiat utama bagi umat Islam yang tidak mungkin manusia akan tersesat selamanya selama berpegang kepada dua wasiat itu yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Para ulama baik dari kalangan ahli fiqih, ahli hadis, maupun ahli tafsir telah banyak menukilkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang berkenaan dengan prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam. Kesemuanya memberikan gambaran yang utuh tentang otensitas ajaran Islam dalam mengatur berbagai asfek kehidupan termasuk di dalamnya dalam urusan muamalah dalam hal ini tentang urusan ekonomi Islam.

Aspek muamalat dalam hukum Islam termasuk aspek yang luas ruang lingkupnya. Dalam Hal ini M. Quraish Shihab (Pengantar:2002;xx1), mengatakan “Pada dasarnya, pembahasan aspek hukum Islam yang bukan termasuk kategori aspek ibadah seperti shalat, puasa dan haji, bisa disebut sebagai aspek muamalat. Karena itu, masalah perdata, pidana pada umunya dapat digolongkan pada bidang muamalat. Dalam perkembangannya, aspek muamalat dalam hukum Islam, dibagi lagi menjadi: munakahat (perkawinan), jinayah (pidana) dan muamalat dalam arti khusus, yaitu aspek ekonomi dan bisnis dalam Islam. Dengan demikian, pada akhirnya materi fikih muamalat hanya terbatas pada aspek ekonomi dan hubungan kerja (bisnis) yang lazim dilakukan seperti jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.Keterangan diatas mempertegas bahwa aktivitas ekonomi dalam pandangan Islam merupakan salah satu bagian dari mu’amalah. Hal ini dijelaskan oleh Quraish Shihab (1988:408-409), dalam bukunya Wawawasan Al-Qur’an sebagai berikut:“Aktivitas antar manusia  - termasuk aktivitas ekonomi – terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu’amalah (interaksi). Pesaan utama Al-Qur’an dalam mu’amalah keuangan atau aktivitas ekonomi adalah: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau  melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara batil…(QS. Al-Baqarah:188)Perangkat nilai dasar menurut AM. Saefuddin (1984:17-41), adalah “implikasi dari asas filsafat system” yang dijadikan kerangka konstruksi sosial dan tingkah laku sistem, yaitu tentang organisasi pemilikan, pembatasan tingkah laku individual, dan norma tingkah laku para pelaku ekonomi. Sedangkan nilai-nilai instrumental system ekonomi menurut Saefuddin, merupakan fungsionalisasi system yang bersifat strategis dan sangat berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat serta pembangunan ekonomi umumnya, yang meliputi: zakat, Pelarangan riba, Kerjasama ekonmi, Jaminan Sosial, dan Peranan Negara Dalam Sistem Ekonomi. Dalam ajaran Islam semua asfek kehidupan memiliki kedudukan tersendiri yang diatur secara lengkap oleh Al Qur’an dan diterjemahkan secara utuh oleh Hadis Rasulullah yang pada akhirnya direkontruksi menjadi sebuah konsepsi teoritis oleh para fuqoha, para ulama dan ilmuwan Islam yang mampu diaplikasikan dalam kehidupan umat. Ilmu ekonomi Islam juga mendapat

tantangan yang cukup berat dari ilmu ekonomi konvensional. Hal ini terjadi mengingat ilmu ekonomi yang berkembang di

dunia Barat dilandasi dengan kebebasan individu dalam melakukan kontrak dengan syarat tidak merugikan satu sama

lain. Konsep-konsep ekonomi konvensional versi Barat perlu diredefinisi agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

syari’at Islam. Di antara konsep-konsep tersebut antara lain:

1. Konsep Harta

Masalah yang timbul dalam konsep harta adalah bahwa ilmu ekonomi konvensional tidak mengenal adanya nilai dalam

pemilikan harta. Sejauh dapat menimbulkan nilai ekonomis, segala sesuatu dapat diakui sebagai harta. Tidak heran bila

barang-barang haram seperti minuman keras dan daging babi termasuk property yang sah untuk dijadikan sebagai salah

satu komoditi bisnis .

2. Konsep Uang

Pembahasan dalam fiqh mu’amalat mengasumsikan bahwa uang yang digunakan masyarakat adalah uang riil

(real money) yaitu emas dan perak. Padahal sejak jaman penjajahan, uang emas dan perak tidak lagi digunakan

sebagai alat tukar. Sebagai gantinya uang kertas menjadi alat tukar yang berlaku di tengah masyarakat. Para ulama

berbeda pendapat tentang hukum uang kertas ini. Ada yang menganggap bahwa uang kertas tidak diterima dalam

syariah karena bukan harta riil dan ada pula yang dapat menerimanya .

3. Konsep Bunga dan Riba

Dalam ilmu ekonomi, bunga merupakan asumsi yang tidak lagi menjadi bahan perdebatan meskipun sampai saat ini

para ekonom masih sulit mencari justifikasi terhadapnya. Dalam ilmu fiqh mu’amalat istilah ini tidak dikenal

meskipun pembahasan tentang hukum riba boleh dikatakan telah selesai dan para ulama sepakat mengharamkannya .

Dengan konsep uang kertas (abstract money), konsep bunga dan riba menjadi pembahasan yang bekelanjutan.

4. Konsep Time Value of Money

Sebagian besar teori tentang menajemen keuangan dibangun berdasarkan konsep nilai dan waktu dari uang yang

mengasumsikan bahwa nilai uang sekarang relatif lebih besar ketimbang di masa yang akan datang. Sedangkan di sisi

lain, tidak didapati penjelasannya dalam fiqh mu’amalat meskipun perdebatan tentangn jual beli tangguh

(ba’i mu’ajjal) termasuk diskusi yang tidak sedikit di antara para ulama .

5. Konsep Modal

Modal dalam pengertian ilmu ekonomi adalah segala benda, baik yang fisik maupun yang abstarak, yang memiliki nilai

ekonomis dan produktif. Termasuk dalam pengertian ini adalah uang dan intellectual property right. Dalam fiqh

mu’amalat klasik, pengertian modal terbatas pada benda fisik. Uang hanya dapat berperan sebagai alat tukar.

Apabila ia ingin menjadi modal yang digunakan untuk memperoleh keuntungan ia harus terlebih dahulu diubah ke dalam

bentuk fisik .

6. Konsep Lembaga

Ilmu ekonomi tidak mempersoalkan adanya individual entity atau abstract entity. Berbeda halnya dengan fiqh

mu’amalat yang objeknya kepada mukallaf secara individual. Hal ini akan membawa dampak bagi analisa tentang

kepemilikan dan hubungannnya dengan kepemilikan .

Problem epistemologis ilmu ekonomi Islam dan tantangan yang diberikan oleh ilmu ekonomi konvensional yang

disebutkan di atas dapat berimplikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada out put yang dihasilkan oleh

jurusan ekonomi Islam. Fiqh mu’amalat yang diajarkan di jurusan ekonomi Islam tidak mampu untuk

menghasilkan para sarjana muslim yang diterima oleh dunia kerja. Alasannya adalah bahwa skill dan penguasaan

terhadap ekonomi real lebih dibutuhkan sektor industri dan dunia kerja dibandingkan dengan keahlian dalam masalah istimbath al-ahkam

 

7. Ekonomi islam,  sistem perekonomian, membantu manusia untuk menyembah Tuhannya yang telah memberi rezki, dan untuk menyelamatkan manusia dari kemiskinan yang bisa mengkafirkan dan kelaparan yang bis mendatangkan dosa. Oleh karena itu, rumusan sistem islam berbeda sama sekali dari sistem-sistem yang lain nya. Sebagai sistem ekonomi, ia memiliki akar dalam syari’ah yang menjadi sumber pandangan dunia, sekaligus tujuan dan strateginya (Zainul Bahar, 1999; Qardhawi, 1997:72). Oleh karena itu, semua aktifitas ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi, perdagangan, tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir kepada Tuhan. Kalau seorang muslim bekerja di bidang produksi, maka pekerjaan itu dilakukan  tidak lain karena ingin memenuhi perintah Allah (Q. S al-mulk (67):15). Ketika menanam, membajak, atau melakukan pekerjaan lainnya, seorang muslim merasa bahwa ia bekerja dalam rangka beribadah kepada Allah. Makin tekun ia bekerja, makin takwa ia kepada Allah. Bertambah rapi pekerjaannya, bertambah dekat kepada Allah, tertanam dalam hati nya bahwa semua itu adalah rezki dari Allah, maka patutlah bersyukur (Q.S al baqoroh (2) : 172).

 

NAMA            : Singgih

NPM               : 090401140059

KELAS           : PGSD B

 

1. Jika hal-hal tersebut terus berkembang di masyarakat, maka kebenaran  yang sesungguhnya tidak akan pernah muncul, bahkan hal-hal tersebut bisa meluas  pada generasi selanjutnya, semakin lama, masyarakat akan turun temurun mewariskan keyakinan seperti itu pada anak dan cucunya, karena hal-hal seperti itu bertentangan dengan agama, maka sebaiknya tidak usah dipercayai karena tidak ada manfaatnya, bahkan bisa mendatangkan rasa syirik dalam hati manusia, mereka akan senantiasa hidup dalam kondisi yang meragukan.

Upaya yang saya lakukan sebagai calon guru adalah membimbing generasi selanjutnya agar tidak ikut-ikutan mempercayai hal-hal tersebut. karena hal-hal tersebut tidak ada dalam al-Quran dan hadist. Kita umat islam harus berpegang teguh pada al-Quran dan hadist dan tidak boleh menyimpang dari keduanya, dengan membimbing generasi muda ini, akan memutus arus kepercayaan yang bisa menimbulkan rasa syirik.

 

2. Dalam sebuah ayat al-Quran, “Dan janganlah engkau turut apa-apa yang engkau tidak ada ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan ditanya,” (QS. Al-Isra:36). Ayat al-Quran tersebut menjelaskan bahwa ilmu merupakan dasar dari segala tindakan manusia. Karena tanpa ilmu segala tindakan manusia menjadi tidak terarah, tidak benar dan tidak bertujuan. Kata ilmu berasal dari kata kerja ‘alima, yang berarti memperoleh hakikat ilmu, mengetahui, dan yakin. Ilmu, yang dalam bentuk jamaknya adalah ‘ulum, artinya ialah memahami sesuatu dengan hakikatnya, dan itu berarti keyakinan dan pengetahuan. Jadi ilmu merupakan aspek teoritis dari pengetahuan. Dengan pengetahuan inilah manusia melakukan perbuatan amalnya. Jika manusia mempunyai ilmu tapi miskin amalnya maka ilmu tersebut menjadi sia-sia.Dalam beberapa riwayat di jelaskan tentang hubungan ilmu dan amal itu. Imam Ali as berkata, “Ilmu adalah pemimpin amal, dan amal adalah pengikutnya.” Demikian juga dengan perkataan Rasulullah saw , “Barangsiapa beramal tanpa ilmu maka apa yang dirusaknya jauh lebih banyak dibandingkan yang diperbaikinya.” Pada riwayat lain dijelakan Imam Ali as berkata, “Ilmu diiringi dengan perbuatan. Barangsiapa berilmu maka dia harus berbuat. Ilmu memanggil perbuatan. Jika dia menjawabnya maka ilmu tetap bersamanya, namun jika tidak maka ilmu pergi darinya.”
            Dari riwayat di atas maka jika orang itu berilmu maka ia harus diiringi dengan amal. Amal ini akan mempunyai nilai jika dilandasi dengan ilmu, begitu juga dengan ilmu akan mempunyai nilai atau makna jika diiringi dengan amal. Keduanya tidak dapat dipisahkan dalam perilaku manusia. Sebuah perpaduan yang saling melengkapi dalam kehidupan manusia, yaitu setelah berilmu lalu beramal. Pengertian amal dalam pandangan Islam adalah setiap amal saleh, atau setiap perbuatan kebajikan yang diridhai oleh Allah SWT. Dengan demikian, amal dalam Islam tidak hanya terbatas pada ibadah, sebagaimana ilmu dalam Islam tidak hanya terbatas pada ilmu fikih dan hukum-hukum agama. Ilmu dalam dalam ini mencakup semua yang bermanfaat bagi manusia seperti meliputi ilmu agama, ilmu alam, ilmu sosial dan lain-lain. Ilmu-ilmu ini jika dikembangkan dengan benar dan baik maka memberikan dampak yang positif bagi peradaban manusia. Misalnya pengembangan sains akan memberikan kemudahan dalam lapangan praktis manusia. Demikian juga pengembangan ilmu-ilmu sosial akan memberikan solusi untuk pemecahan masalah-masalah di masyarakat. Jadi, mengiringi ilmu dengan amal merupakan keharusan. Dalam pandangan Khalil al-Musawi dalam buku Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana, hubungan ilmu dengan amal dapat difokuskan pada dua hal : Pertama, ilmu adalah pemimpin dan pembimbing amal perbuatan. Amal bisa lurus dan berkembang bila didasari ilmu. Berbuat tanpa didasari pengetahuan tidak ubahnya dengan berjalan bukan di jalan yang benar, tidak mendekatkan kepada tujuan melainkan menjauhkan. Dalam semua aspek kegiatan manusia harus disertai dengan ilmu, baik itu yang berupa amal ibadah maupun amal perbuatan lainnya. Dalam ibadah harus disertai dengan ilmu. Jika ada orang yang melakukan ibadah tanpa didasari ilmu tidak ubahnya dengan orang yang mendirikan bangunan di tengah malam dan kemudian menghancurkannya di siang hari. Begitu juga, hal ini pun berlaku pada amal perbuatan yang lain, dalam berbagai bidang. Memimpin sebuah negara, misalnya, harus dengan ilmu. Negara yang dipimpin oleh orang bodoh akan dilanda kekacauan dan kehancuran. Sedangkan kedua, sesungguhnya ilmu dan amal saling beriringan. Barangsiapa berilmu maka dia harus berbuat, baik itu ilmu yang berhubungan dengan masalah ibadah maupun ilmu-ilmu yang lain. Tidak ada faedahnya ilmu yang tidak diamalkan. Amal merupakan buah dari ilmu, jika ada orang yang mempunyai ilmu tapi tidak beramal maka seperti pohon yang tidak menghasilkan manfaat bagi penanamnya. Begitu pula, tidak ada manfaatnya ilmu fikih yang dimiliki seorang fakih jika dia tidak mengubahnya menjadi perbuatan. Begitu juga, tidak ada faedahnya teori-teori atau penemuan-penemuan yang ditemukan seorang ilmuwan jika tidak diubah menjadi perbuatan nyata. Karena wujud dari pengetahuan itu adalah amal dan karya nyatanya. Ilmu tanpa diiringi dengan amal maka hanya berupa konsep-konsep saja. Ilmu yang tidak dilanjutkan dengan perbuatan, mungkin kita dapat menyebutnya sebagai pengetahuan teoritis. Namun, apa faedahnya ilmu teoritis jika kita tidak menerjemahkannya ke dalam ilmu praktis. Jika ilmu tidak diimplementasikan maka akan memberikan dampak yang negatif. Salah-satu penyakit sosial yang paling berbahaya yang melanda berbagai umat – termasuk umat Islam - adalah penyakit pemutusan ilmu-khususnya ilmu-ilmu agama –dari amal perbuatan, dan berubahnya ilmu menjadi sekumpulan teori belaka yang jauh dari kenyataan dan penerapan. Padahal, kaedah Islam menekankan bahwa ilmu senantiasa menyeru kepada amal perbuatan. Keduanya tidak ubahnya sebagai dua benda yang senantiasa bersama dan tidak terpisah satu sama lain. Jika amal memenuhi seruan ilmu maka umat menjadi baik dan berkembang. Namun jika tidak, maka ilmu akan meninggalkan amal perbuatan, dan dia akan tetap tinggal tanpa memberikan faedah apa pun. Jika demikian nilai apa yang dimiliki seorang manusia yang mempunyai segudang teori dan pengetahuan namun tidak mempraktikkannya dalam dunia nyata. Pertalian ilmu dengan amal tidak hanya dituntut dari para pelajar agama dan para ahli yang mendalami suatu ilmu, melainkan juga dituntut dari setiap orang, baik yang memiliki ilmu sedikit ataupun banyak. Namun, tentunya orang-orang yang berilmu memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam hal ini, karena mereka memiliki kemampuan yang lebih. Allah SWT berfirman di dalam surat Ash-Shaff, ayat (2-3), “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. Sungguh besar murka Allah kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” Jika kita memperhatikan ayat-ayat al-Quran, niscaya kita akan menemukan bahwa al-Quran senantiasa menggandengkan ilmu dengan amal. Makna ilmu diungkapkan dalam bentuk kata iman pada banyak tempat, dengan pengertian bahwa iman adalah ilmu atau keyakinan. Di antaranya ialah :“Demi waktu Asar, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran dan kebajikan.” (QS. Al-‘Ashr:1-3). Dalam ayat lain dikatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.” (QS. Al-Kahfi : 107). Demikian juga dengan ayat, “Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagian dan tempat kembali yang baik.” (QS. Ar-Ra’d :29). Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang betapa ilmu dan amal shaleh memiliki kaitan yang erat yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Karena keduanya bagai dua keping mata uang, yang saling memberi arti. Inilah yang sejalan dengan ucapan Imam Ali as, “Iman dan amal adalah dua saudara yang senantiasa beriringan dan dua sahabat yang tidak berpisah. Allah tidak akan menerima salah satu dari keduanya kecuali disertai sahabatnya.”
            Dengan perspektif keterpaduan ilmu dan amal, maka akan memberikan perkembangan kearah perbaikan dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat akan berlomba-lomba dalam memberikan amal shaleh satu sama lain. Imam Ali as berkata, “Jangan sampai ilmumu menjadi kebodohan dan keyakinanmu menjadi keraguan. Jika engkau berilmu maka beramalah, dan jika engkau yakin maka majulah.” Dengan ilmu yang benar, serta amal shaleh maka masyarakat bergerak dari kebodohan menuju kepintaran, dari ketertinggalan menuju kemajuan dan dari kehancuran menuju kebangkitan.

3. Sudah menjadi kewajiban kita semua untuk ikut serta ambil peran dalam usaha bersama bangsa kita untuk mewujudkan masyrakat berperadaban, masyarakat madani, civil society, dinegara kita tercinta, Republik Indonesia. Karena terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adalah Nabi Muhammad Rasulullah sendiri yang memberi teladan kepada umat manusia ke arah pembentukan masyarakat peradaban. Setelah belasan tahun berjuang di kota Mekkah tanpa hasil yang terlalu menggembirakan, Allah memberikan petunjuk untuk hijrak ke Yastrib, kota wahah atau oase yang subur sekitar 400 km sebelah utara Mekkah. Sesampai di Yastrib, setelah perjalanan berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, Nabi disambut oleh penduduk kota itu, dan para gadisnya menyanyikan lagu Thala'a al-badru 'alaina (Bulan Purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair dan lagu yang kelak menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Kemudian setelah mapan dalam kota hijrah itu, Nabi mengubah nama Yastrib menjadi al-Madinat al-nabiy (kota nabi). Secara konvensional, perkataan "madinah" memang diartikan sebagai "kota". Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna "peradaban". Dalam bahasa Arab, "peradaban" memang dinyatakan dalam kata-kata "madaniyah" atau "tamaddun", selain dalam kata-kata "hadharah". Karena itu tindakan Nabi mengubah nama Yastrib menjadi Madinah, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar hendak mendirikan dan membangun mansyarakat beradab. Tak lama setelah menetap di Madinah itulah, Nabi bersama semua penduduk Madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani, dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama-sama. Dan di Madinah itu pula, sebagai pembelaan terhadap masyarakat madani, Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perang membela diri dan menghadapi musuh-musuh peradaban. Jika kita telaah secara mendalam firman Allah yang merupakan deklarasi izin perang kepada Nabi dan kaum beriman itu, kita akan dapat menangkap apa sebenarnya inti tatanan sosial yang ditegakkan Nabi atas petunjuk Tuhan. Diizinkan berperang bagi orang-prang yang diperangi, karena mereka sesungguhnya telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah amat berkuasa untuk menolong mereka.Yaitu mereka yang diusir dari kampung halaman mereka secara tidak benar, hanya karena mereka berkata: "Tuhan kami ialah Allah". Dan kalaulah Allah tidak menolak (mengimbangi) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya runtuhlah gereja-gereja, sinagog-sinagog, dann masjid-masjid yang disitu banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah akan menolong siapa saja yang menolong-NYA (membela kebenaran dan keadilan).Yaitu mereka, yang jika kami berikan kedudukan di bumu, menegakkan sembahyang serta menunaikan zakat, dan mereke a menuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat kejahatan, dan mereka mennyuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat kejahatan. Dan bagi Allah jualah segala kesudahan semua perkara. (Q.S. Al-Hajj-39-41). Dari firman deklarasi izin perang kepada nabi dan kaum beriman itu, bahwa perang dalam masyarakat madani dilakukan karena keperluan harus mempertahankan diri, melawan dan mengalahkan kezaliman. Perang itu juga dibenarkan dalam rangka membela agama dan sistem keyakinan, yang intinya ialah kebebasan menjalankan ibadat kepada Tuhan. Lebih jauh, perang yang diizinkan Tuhan itu adalah untuk melindungi lembaga-lembaga keagamaan seperti biara, gereja, sinagog, dan mesjid (yang dalam lingkungan Asia dapat ditambah dengan kuil, candi, kelenteng, dan seterusnya) dari kehancuran. Perang sebagai suatu keterpaksaan yang diizinkan Allah itu merupakan bagian dari mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang diciptakan Allah untuk menjaga kelestarian hidup manusia. Seperti dunia sekarang ini yang selamat dari "kiamat nuklir" karena perimbangan kekuatan nuklir antara negara-negara besar, khususnya Amerika dan Rusia (yang kemudian masing-masing tidak berani menggunakan senjata nuklirnya—yang disebut "kemacetan nuklir"), masyarakat pun berjalan mulus dan terhindar dari bencana jika di dalamnya terdapat mekanisme pengawasan dan pengimbangan secara mantap dan terbuka (renungkan QS Al-Baqarah:152). Dengan memahami prinsip-prinsip itu, kita juga akan dapat memahami masyarakat madani yang dibangun nabi di Madinah. Membangun masyarakat peradaban itulah yang dilakukan Nabi selama sepuluh tahun di Madinah. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-NYA. Taqwa kepada Allah dalam arti semangat ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam peristilahan Kitab Suci juga disebut semangat Rabbaniyah (QS Alu Imran:79) atau ribbiyah (QS Alu Imran:146). Inilah hablun mim Allah, tali hubungan dengan Allah, dimensi vertikal hidup manusia, salah satu jaminan untuk manusia agar tidak jatuh hina dan nista. Semangat Rabbaniyah atau ribbiyah itu, jika cukup tulus dan sejati, akan memancar dalam semangat perikemanusiaan, yaitu semangat insaniyah, atau basyariyah, dimensi horisontal hidup manusia, hablun min al-nas. Kemudian pada urutannya, semangat perikemanusiian itu sendiri memancar dalam berbagai bentuk hubungan pergaulan manusia yang penuh budi luhur. Maka tak heran jika Nabi dalam sebuah hadisnya menegaskan bahwa inti sari tugas suci beliau adalah untuk "menyempurnakan berbagai keluhuran budi". Masyarakat berbudi luhur atau berakhlak mulia itulah, masyarakat berperadaban, masyarakat madani, "civil society". Masyarakat Madani yang dibangun nabi itu, oleh Robert N. Bellah, seorang sosiologi agama terkemuka disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga setelah nabi sendiri wafat tidak bertahan lama. Timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti dirintis Nabi. Setelah Nabi wafat, masyarakat madani warisan Nabi itu, yang antara lain bercirikan egaliterisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan, hanya berlangsung selama tiga puluh tahunan masa khulafur rasyidin. Sesudah itu, sistem sosial madani dengan sistem yang lebih banyak diilhami oleh semangat kesukuan atau tribalisme Arab pra-Islam, yang kemudian dikukuhkan dengan sistem dinasti keturunan atau geneologis itu sebagai "Hirqaliyah" atau "Hirakliusisme", mengacu kepada kaisar Heraklius, penguasa Yunani saat itu, seorang tokoh sistem dinasti geneologis. Begitu keadaan dunia Islam, terus-menerus hanya mengenal sistem dinasti geneologis, sampai datangnya zaman modern sekarang. Sebagian negara muslim menerapkan konsep negara republik, dengan presiden dan pimpinan lainnya yang dipilih. Karena itu, justru dalam zaman modern inilah, prasarana sosial dan kultural masyarakat madani yang dahulu tidak ada pada bangsa manaoun di dunia, termasuk bangsa Arab, mungkin akan terwujud. Maka kesempatan membangun masyarakat madani menuurut teladan nabi, justru mungkin lebih besar pada masa sekarang ini. Berpangkal dari pandangan hidup bersemangat ketuhanan dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia (QS Fushshilat:33), masyarakat madani tegak berdiri di atas landasan keadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang kepada hukum. Menegakkan hukum adalah amanat Tuhan Yang Maha Esa, yang diperintahkan untuk dilaksanakan kepada yang berhak (QS Al-Nisa:58). Dan Nabi telah memberi telaadan kepada kita. Secara amat setia beliau laksanakan perintah Tuhan itu. Apalagi Al-Qur'an juga menegaskan bahwa tugas suci semua Nabi ialah menegakkan keadilan di antara manusia (QS Yunus:47). Juga ditegakkan bahwa para rasul yang dikirim Allah ke tengah umat manusia dibekali dengan kitab suci dan ajaran keadilan, agar manusia tegak dengan keadilan itu (QS al-Hadid:25). Keadilan harus ditegakkan, tanpa memandang siapa yang akan terkena akibatnya. Keadilan juga harus ditegakkan, meskipun mengenai diri sendiri, kedua orang tua, atau sanak keluarga (QS A-'Nisa:135). Bahkan terhadap orang yang membenci kita pun, kita harus tetap berlaku adil, meskipun sepintas lalu keadilan itu akan merugikan kita sendiri (QS Al-Ma'idah:8). Atas pertimbangan ajaran itulah, dan dalam rangka menegakkan masyarakat madani, Nabi tidak pernah membedakan anatara "orang atas", "orang bawah", ataupun keluaarga sendiri. Beliau pernah menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah karena jika "orang atas" melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi jika "orang bawah" melakukannya pasti dihukum. Karena itu Nabi juga menegaskan, seandainya Fatimah pun, puteri kesayangan beliau, melakukan kejahatan, maka beliau akan menghukumnya sesuai ketentuan yang berlaku. Masyarakat berperadaban tak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, yang dimulai dengan ketulusan komitmen pribadi. Masyarakat berperadaban memerlukan adanya pribadi-pribadi yang dengan tulus mengikatkan jiwanya kepasda wawasan keadilan. Ketulusan ikatan jiwa itu terwujud hanya jika orang bersangkutan ber-iman, percaya dan mempercayai, dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan, dalam suatu keimanan etis, artinya keimanan bahwa Tuhan menghendaki kebaikan dan menuntut tindakan kebaikan manusia kepada sesamanya. Dan tindakan kebaikan kepada sesama manusia harus didahului dengan diri sendiri menempuh hidup kebaikan, seperti dipesankan Allah kepada para Rasul (QS Al-Mu'minun:51), agar mereka "makan dari yang baik-baik dan berbuat kebajikan." Ketulusan ikatan jiwa, juga memerlukan sikap yang yakin kepada adanya tujuan hidup yang lebih tinggi daripada pengalaman hidup sehari-hari di dunia ini. Ketulusan ikatan jiwa perlu kepada keyakinan bahwa makna dan hakikat hidup manusia pasti akan menjadi kenyataan dalam kehidupan abadi, kehidupan setelah mati, dalam pengalaman bahagia atau sengsara. Karena itu, ketulusan ikatan jiwa kepada keadilan mengharuskan orang memandang hidup jauh di depan, tidak menjadi tawanan keadaan di waktu sekarang dan di tempat ini (dunia) (QS Al-'Araf:169). Tetapi, tegaknya hukum dan keadilan tak hanya perlu kepada komitmen-komeitmen pribadi. Komitmen pribadi yang menyatakan diri dalam bentuk "itikad baik", memang mutlak diperlukan sebagai pijakan moral dan etika dalam masyarakat. Sebab, bukankah masyarakat adalah jumlah keseluruhan pribadi para anggotanya? Apalagi tentang para pemimpin masyarakat atau public figure, maka kebaikan itikad itu lebih-lebih lagi dituntut, dengan menelusuri masa lalu sang calon pemimpin, baik bagi dirinya sendiri maupun mungkin keluarganya. Karena itu, di banyak negara, seorang calon pemimpin formal harus mempunyai catatan perjalanan hidup yang baik melalui pengujian, bukan oleh perorangan atau kelembagaan, tetapi oleh masyarakat luas, dalam suasana kebebasan yang menjamin kejujuran. Namun sesungguhnya, seperti halnya dengan keimanan yang bersifat amat pribadi, itikad baik bukanlah suatu perkara yang dapat diawasi dari diri luar orang bersangkutan. IA dapat bersifat sangat subjektif, dibuktikan oleh hampir mustahilnya ada orang yang tidak mengaku beritikad baik. Kecuali dapat diterka melalui gejala lahir belaka, suatu itikad baik tak dapat dibuktikan, karena menjadi bagian dari bunyi hati sanubari orang bersangkutan yang paling rahasia dan mendalam. Oleh sebab itu, iitikad pribadi saj atidak cukup untuk mewujudkan masyarakat berperadaban. Itikad baik yang merupakan buah keimanan itu harus diterjemahkan menjadi tindakan kebaikan yang nyata dalam masyarakat, berupa "amal saleh", yang secara takrif adalah tindakan membawa kebaikan untuk sesama manusia. Tindakan kebaikan bukanlah untuk kepentingan Tuhan, sebab Tuhan adalah Maha Kaya, tidak perlu kepada apapun dari manusia. Siapa pun yang melakukan kebaikan, maka dia sendirilah --melalui hidup kemasyarakatannya-- yang akan memetik dan merasakan kebaikan dan kebahagiaan. Begitu pula sebaiknya, siapapun yang melakukan kejahatan, maka dia sendiri yang kan mewnanggung akibat kerugian dan kejahatannya. (QS Fushilat:46, Al-Jatsiyah:15). Jika kita perhatikan apa yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari, jelas sekali bahwa nilai-nilai kemasyarakatan yang terbaik sebagian besar dapat terwujud hanya dalam tatanan hidup kolektif yang memberi peluang kepada adanya pengawasan sosial. Tegaknya hukum dan keadilan, mutlak emmerlukan suatu bentuk interaksi sosial yang memberi peluang bagi adanya pengawasan itu. Pengawasan sosial adalah konsekuensi langsung dari itikad baik yang diwujudkan dalam ttindakan kebaikan. Selanjutnya, pengawasan sosial tidak mungkin terselenggara dalam suatu tatanan sosial yang tertutup. Amal soleh ataupun kegiatan "demi kebaikan", dengan sendirinya berdimensi kemanusiaan, karena berlangsung dalam suatu kerangka hubungan sosial, dan menyangkut orang banyak. Suatu klaim berbuat baik untuk masyarakat, apalagi jika pebuatan atau tindakan itudilakukan melaluipenggunaan kekuasaan, tidak dapat dibiarkan berlangsung denan mengabaikan masyarakat, apalagi jika perbuatan atau tindakan dilakukan melalui penggunaan kekuasaan. tidak dapat dibiarkan berlangsung dengan mengabaikan masyarakat itu sendiri dengan berbagai pandangan, penilaian dan pendapat yang ada. Dengan demikian, masyarakat madani akan terwujud hanya jika terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyrakat. Keterbukaan adalah konsekuensi dari kemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara optimis dan positif. Yaitu pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (QS Al-'araf: 172, Al-Rum:30), sebelum terbukti sebaliknya. Kejahatan pribadi manusia bukanlah sesuatu hal yang alami berasal dari dalam kediriannya. Kejahatan terjadi sebagai akibat pengaruh dari luar, dari pola budaya yang salah, yang diteruskan terutama oelh seorang tua kepada anaknya. Karena itu, seperti ditegaskan dalam sebuah hadist Nabi, setiap anak dilahirkan dlam kesucian asal, namun orangtuanyalah yang membuatnya menyimpang dari kesucian asal itu. Ajaran kemanusiaan yang suci itu membawa konsekuensi bahwa kita harus melihat sesama manusia secara optimis dan positif, sdengan menerapkan prasangka baik (husn al-zhan), bukan prasangka buruk (su' al-zhan), kecuali untuk keperluan kewaspadaan seeprlunya dalam keadaan tertentu. Tali persaudaraan sesama manusia akan terbina antara lain jika dalam masyarakat tidak terlalu banyak prasangka buruk akibat pandangan yang pesimis dan negatif kepada manusia (QS al-Hujurat:12). Berdasarkan pandangan kemanusiaan yang optimis-positif itu, kita harus memandang bahwa setiap orang mempunyai potensi untuk benar dan baik. Karena itu, setiap orang mempunyai potensi untuk menaytakan pendapat dan untuk didengar. Dari pihak yang mndengar, kesediaan untuk mendengar itu sendiri memerlukan dasar moral yang amat penting, yaitu sikap rendah hati, berupa kesiapan mental untuk menyadari dan mengakui diri sendiri selalu berpotensi untuk membuat kekeliruan. Kekeliruan atau kekhilafan terjadi karena manusia adalah makhluk lemah (QS Al-Nisa': 28). Keterbukaan adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Keterbukaaan serupa itu dalam kitab suci disebutkan sebagai tanda adanya hidayah dari Allah, dan membuat yang bersangkutan tergolong orang-orang yang berpikiran mendalam (ulu' al-bab), yang sangat beruntung (QS al-Zumar:17-18).

Usaha yang dapat saya lakukan ialah menyelesaikan masalah dengan jalan musyawarah. Musyawarah pada hakikatnya tak lain adalah interaksi positif berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberi hak untuk menyatakan pendapat, dan saling mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat itu. Dalam bahasa lain, musyawarah ialah hubungan interaktif untuk saling mewngingatkan tentang kebenaran dan kebaikan serta ketabahan dalam mencari penyelesaian masalah bersama, dalam suasana persamaan hak dan kewajiban antara warga masyarakat (QS al-'Ashar). Itulah masyarakat demokratis, yang berpangkal dari keteguhan wawasan etis dan moral berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Masyarakat demokratis tidak mungkin tanpa masyarakat berperadaban, masyarakat madani. Berada di lubuk paling dalam dari masyarakat madani adalah jiwa madaniyah, civility, yaitu keadaban itu sendiri. Yaitu sikap kejiwaaan pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selamanya benar, dan tidak ada suatu jawaban yang selamanya benar atas suatu masalah. Dari keadaan lahir sikap yang tulus untuk menghargai sesama manusia, betappaun seorang individu atau suatu kelompok berbeda dengan diri sendiri dan kelompok sendiri. Karena itu, keadaban atau civility menuntut setiap orang dan kelompok masyarakat untuk menghindar dari kebiasaan merendahkan orang atau kelompok lain, sebab "Kalau-kalau mereka yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka yang direndahkan" (QS al-Hujurat:11). Tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan pluralisme, adalah kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Sebab toleransi dan pluralisme tak lain adalah wujud dari "ikatan keadaban" (bond of civility), daolam sarti, sebagaimana telah dikemukakan, bahwa masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan interaksi sosial yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betappaun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri. Bangsa Indonesia memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk nmenegakkan masyarakat madani. Dan kita semua sangat berpengharapan bahwa masyarakat madani akan segera tumbuh semakain kuat di amsa dekat ini. Kemajuan besar yang telah dicapai oleh Orde Baru dala m meningkatkan taraf hidup rakyat dan kecerdasan umum, adalah alasan utam akita untuk berpengaharapan itu. Kita wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berterima kasih kepada para pemimpin bangsa, bahwa keadaaan kita sekarang ini, hampir di segala bidang, jauh lebih baik, sangat jauh lebih baik, daripada dua-tiga dasawarsa yang lalu. Tetapi, sejalan dengan suatu cara Nabi bersyukur kepada Allah, yaitu dengan memohon ampun kepada-Nya, kita pun bersyukur kepada-Nya dengan menyadari dan mengakui berbagai kekurangan kita. Dan kita semua tidak mau menjadi korban keberhasilan kita sendiri, misalnya karena kurang mampu melakukan antisipasi terhadap tuntutan masyarakat yang semakin berkecukupan dan berpendidikan. Terkiaskan denagn makna ungkapan "revolusi sering memakan anaknya sendirinya sendiri", kita semua harus berusaha mencegah jangan sampai "keberhasilan memakan anaknya sendiri" pula. 

4. Sekularisme dalam Kamus Oxford didefinasikan sebagai “wordly or material. Not religious or spiritual” maksudnya keduniaan atau kebendaan, bukan agama atau roh. Para ulama’ telah bersepakat menyatakan bahawa sekularisme menyampingkan agama dari urusan kenegaraan, kemasyarakatan dan ekonomi. Ia meletakkan agama dalam ruang lingkup yang amat sempit dan memberi kebebasan kepada individu menganut agama yang disukainya. Faham sekularisme ini menjadi Ibu kepada puluhan isme lain. Walaupun pada asalnya ia sekedar pengasingan agama daripada dunia tetapi terus berkembang dan berpegang dengan prinsip “here and now”. Secara tidak langsung fahaman ini menghasilkan penolakan terhadap hari akhirat dan manusia bebas melakukan apa saja. Menurut Prof. Dr. Sayyid Muhammad Naquib Al-Attas, beliau menganggap bahwa sekularisme adalah faham kekinidisian, yaitu  penumpuan pada zaman sekarang dan ruang kehidupan duniawi. Bagi manusia sekularis tidak ada ‘nanti’ (hari akhirat) dan tidak ada ‘ sana’ (kehidupan ukhrawi) atau sekurang-kurangnya tidak mempedulikannya. Menurut mereka yang wujud hanya alam fizikal ini dan dengan demikian mereka menolak realiti-realiti metafizik. World-view seperti itu jelas sempit dan terbatas, sekadar nazrah atau pandangan inderawi terhadap al-kawn atau alam fizikal. Namun demikian, ini bertentangan dengan world-view Islami yang meliputi segala kewujudan alam syahadah dan alam ghaib, alam tabi’i dan alam metafizik yang dapat dilihat dengan mata inderawi dan tampak pada pandangan a’kli-nurani. Oleh yang demikian, kerana itulah Prof Al-Attas mendefinasikan world-view Islami sebagai ru’yat al-Islam li al-wujud. Manakala pandangan Dr. Uthman El-Muhammady, di mana beliau telah mengupas istilah sekular daripada sudut barat serta secular dalam bentuk pengetahuan dan amalan dalam Islam. Istilah sekular dari sudut pendidikan, seni (musik), sejarah, sastra dan lain-lain, membawa maksud pendidikan yang tidak berhubung dengan agama atau mengecualikan pengajaran agama dari pendidikan. Dr. Uthman telah membedakan sekular dari sudut negatif dan positif. Dari sudut negatif apabila sekular diamalkan, langsung tidak mempunyai hubungan dengan kerohanian (lebih kepada duniawi) dan juga bertentangan dengan prinsip Islam itu sendiri. Manakala sekular yang positif pula ialah yang dibolehkan dalam Islam, contohnya seseorang yang melakukan kerja yang dicampur dengan fahaman ini untuk membolehkan ia menunaikan ibadah kepada Allah SWT. Namun begitu, beliau menyatakan bahwa lebih wajar sekiranya istilah sekular ini tidak diartikan kepada maksud yang positif (yang boleh diamalkan) dan negatif (yang benar-benar keji) yang pastinya setiap sekular itu hanya menjurus ke arah keduniaan tanpa dikaitkan dengan urusan ukhrawi. Hal ini apabila dikaitkan dengan kerohanian ia berubah menjadi sakral (suci). Istilah sekularisme secara keseluruhannya yang dipetik dari kamus Webster’s Encyclopedia, kamus Al-Mawrid, kamus Dewan dan Oxford English Dictionary jelas menunjukkan bahwa setiap perkara yang dilakukan hanya berhubung dengan dunia tanpa berkaitan dengan Zat Mutlak (Allah SWT).

PLURALISME: Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi. Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar. Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.

Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran.

Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing.

Liberalisme: Berasal dari bahasa latin Liber, yang artinya bebas atau merdeka. Dari sini muncul istilah liberal arts yang berarti ilmu yang sepatutnya dipelajari oleh orang merdeka, yaitu: aritmetika, geometri, astronomi, musik, gramatika, logika dan retorika. Sebagai ajektif, kata liberal dipakai untuk menunjukkan sikap anti-feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas dan terbuka (open-minded) dan oleh karena itu merasa hebat (magnanimous). Dalam politik, liberalisme dimaknai sebagai sebuah sistem yang menentang mati-matian sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya republik-republik dengan sistem demokrasi menggantikan kerajaan atau kesultanan tidak lepas dari liberalisme ini. Dalam bidang ekonomi, liberalisme menunjuk pada sistem pasar bebas, di mana peran dan intervensi pemerintah sangat dibatasi. Kini liberalisme ekonomi menjadi identik dengan kapitalisme. Negara-negara miskin cenderung menjadi wilayah pinggiran bagi perekonomian negara-negara kaya. Peran pemerintah yang mestinya melayani dan melindungi kepentingan rakyatnya, bergeser menjadi melayani dan melindungi kepentingan para pemodal internasional yang telah menginvestasikan modalnya di negara tersebut. Bahkan tidak jarang kebijakan ekonomi negara-negara miskin secara terang-terangan mengambil posisi berlawanan dengan aspirasi rakyat mereka sendiri.

            Agama Kristen mulai bersinar di Eropa ketika pada tahun 313 Kaisar Konstantin mengeluarkan surat perintah (edik) yang isinya memberi kebebasan kepada warga Romawi untuk memeluk Kristen. Bahkan pada tahun 380 Kristen dijadikan sebagai agama negara oleh Kaisar Theodosius. Menurut edik Theodosius semua warga negara Romawi diwajibkan menjadi anggota gereja Katolik. Agama-agama kafir dilarang. Bahkan sekte-sekte Kristen di luar “gereja resmi” pun dilarang. Dengan berbagai keistimewaan ini, Kristen kemudian menyebar ke berbagai penjuru dan dunia, bahkan menjadi sebuah imperium yang otoriter dengan selalu mengatasnamakan kehendak Tuhan. Liberalisme muncul di Eropa sebagai reaksi dan perlawanan atas otoriteritas gereja yang dengan mengatasnamakan Tuhan telah melakukan penindasan. Konon tidak kurang dari 32.000 orang dibakar hidup-hidup atas alasan menentang kehendak Tuhan. Galileo, Bruno dan Copernicus termasuk di antara saintis-saintis yang bernasib malang karena melontarkan ide yang bertentangan dengan ide Gereja. Untuk mengokohkan dan melestarikan otoriteritas itu, Gereja membentuk institusi pengadilan yang dikenal paling brutal di dunia sampai akhir abad 15, yaitu Mahkamah Inquisisi. Karen Amstrong dalam bukunya Holy War: The Crusade and Their Impact on Today’s World (1991 : 456) menyatakan, “Most of us would agree that one of the most evil of all Christian institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the Chatholic Chuch until the end of seventeenth century.”

            Despotisme Gereja ini telah mengakibatkan pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja. Kaum liberal menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja. Liberalisme membolehkan setiap orang melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya. Manusia tidak lagi harus memegang kuat ajaran agamanya, bahkan kalau ajaran agama tidak sesuai dengan kehendak manusia, maka yang dilakukan adalah melakukan penafsiran ulang ayat-ayat Tuhan agar tidak bertabrakan dengan prinsip-prinsip dasar liberalisme. Wajar jika kemudian berbagai tindakan amoral pun seperti homoseksual, seks bebas, aborsi, dan juga berbagai aliran sesat dan menyesatkan dalam agama dianggap legal, karena telah mendapatkan justifikasi ayat-ayat Tuhan yang telah ditafsir ulang secara serampangan dan kacau. Di antara sejumlah tokoh yang berani menentang otoritas Gereja adalah Nicolaus Copernicus (1543 M) dengan teori Heliosentris-nya yang menyatakan bahwa Matahari sebagai pusat Tata Surya. Sebuah teori yang menentang ajaran Gereja yang sekian lama memegang filsafat Ptolomaeus yang menyatakan bahwa Bumilah sebagai pusat (Geo-centris). Perjuangannya diikuti Gardano Bruno (1594M), fisikawan Jerman Johannes Kapler (1571 M), Galileo Galilei (1564 M) dan Isaac Newton (1642 M). John Lock (1704 M) kemudian mengusung liberalisme bidang politik dengan menyodorkan ideologi yang mendorong masyarakat untuk membebaskan diri dari kekangan Gereja waktu itu. Adam Smith (1790M) mengusung liberalisme di bidang ekonomi yang memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menjalankan kegiatan ekonominya tanpa intervensi dari pemerintahan gereja atau pemerintahan raja yang didukung gereja.
Ketika otoritas Gereja runtuh, bangsa Eropa terpecah menjadi dua aliran besar dalam menyikapi agama. Pertama, Aliran Deisme, yaitu mereka yang masih mempercayai adanya Tuhan, tapi tidak memercayai ayat-ayat Tuhan. Tokoh-tokohnya antara lain, Martin Luther, John Calvin, Isaac Newton, John Lock, Immanuel Kant, dsb. Dan kedua, Aliran Materialisme atau Atheisme. Aliran ini menganggap bahwa agama merupakan gejala masyarakat yang sakit. Agama dinilai sebagai candu atau racun bagi masyarakat. Di antara tokohnya, Hegel, Ludwig Feuerbach, dan Karl Marx. Ketidakpercayaan kepada Tuhan diusung pula oleh Charles Darwin (1809-1882 M) melalui bukunya The Origin of Species by Means Natural Selection (1859M). Melalui teori evolusinya, Darwin mencoba memisahkan intervensi Tuhan dalam penciptaan alam dan makhluk hidup di muka bumi ini. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa liberalisme merupakan upaya keluar dari kekangan ajaran Kristen yang bermasalah. Liberalisme telah mengantarkan masyarakat Barat menjadi orang atheis atau paling tidak deis. Di bidang sosial kaum liberalis telah melegalkan homoseksual. Dignity, sebuah organisasi gay Katolik internasional pada tahun 1976 saja sudah memiliki cabang di 22 negara bagian AS. Di Australia ada organisasi serupa Acceptance, di Inggris ada Quest, di Swedia ada Veritas. Fakta yang fenomenal terjadi ketika Nopember 2003 seorang pendeta bernama Gene Robinson yang notabene seorang homoseks, dilantik menjadi Uskup Gereja Anglikan di New Hampshire. Liberalisme mengajarkan bahwa seks bebas dan aborsi sebagai privasi individu yang tidak boleh dicampuri oleh aturan agama atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, selama individu tersebut senang, sukarela, suka sama suka. Masyarakat dan agama tidak boleh menghakimi mereka. Padahal dampak terkejam dari perilaku seks bebas adalah kecenderungan manusia untuk lari dari tanggung jawab. Ketika terjadi kehamilan, jalan yang ditempuh adalah aborsi. Kaum liberalis menuntut emansipasi wanita, kesetaraan gender dengan mengabaikan nilai-nilai agama. Dengan jargon kebebasan (liberty) dan persamaan (egality), kaum feminis secara ekstrem telah memunculkan semangat melawan dominasi laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga. Banyak pria atau wanita yang lebih memilih hidup sendiri. Kebutuhan seksual dipenuhi dengan zina (free-sex), kebutuhan akan anak dipenuhi dengan adopsi dan bertindak sebagai single parent. Jika tidak mau direpotkan dengan anak, maka aborsi jadi solusi. Sejumlah negara Barat telah melakukan “Revolusi Jingga” dengan mengesahkan undang-undang yang melegalkan perkawinan sejenis. Liberalisasi di bidang agama juga sudah merasuk kaum muslimin di Indonesia . Liberalisasi Islam dilakukan melalui tiga bidang penting dalam Islam, yaitu: (1) Liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham pluralisme agama. Paham ini menyatakan bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa hanya agamanya saja yang benar. Menurut mereka, salah satu ciri agama jahat adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri. (2) Liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekontruksi terhadap Al-Qur’an. Para liberalis Islam telah memosisikan diri sebagai epigon terhadap Yahudi dan Kristen yang melakukan kajian “Biblical Criticism”. Kajian kritis terhadap Bible yang memang bermasalah. Menurut liberalis “All scriptures are miracles; semua kitab suci adalah mukjizat. Jadi Al-Qur`an sejajar dengan Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Weda, Bagawad Ghita, Tripitaka, Darmogandul dan Gatoloco (?). (3) Liberalisasi syari’at Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah qath’i dan pasti dibongkar dan dibuat hukum baru yang sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara yang jadi barometernya bukan lagi Al-Qur’an dan As-Sunnah tapi demokrasi, HAM, gender equality (kesetaraan gender) dan pluralisme. Kalau orang menyakini bahwa semua agama benar, bahwa Tuhan semua agama itu sama, hanya berbeda dalam memanggil, bahwa semua kitab suci itu sama mukjizat, masih patutkah dikategorikan sebagai seorang muslim dan mukmin? Wallahu a’lam.

 

5.  Batasan yang diperbolehkan

·         membantu fakir miskin pada waktu hari raya, walaupun beda agama

·         saling menghargai pada saat ibadah atau merayakan hari besar keagamaan

·         hidup rukun dalam masyarakat demi terciptanya kerukunan antar umat beragama

·         tidak memaksakan keyakinan kita pada orang yang beda agama

 

Batasan yang tidak diperbolehkan

·         menganggu saat ibadahan

·         selalu memusuhi orang yang beda agama

·         memaksa orang lain untuk melaksanakan ajaran agama yang kita anut

·         tidak ada rasa persaudaraan karena merasa tidak sejalan

 

6. Kiranya tepatlah dikatakan bila ilmu ekonomi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ambisi dan materi, ilmu ekonomi dititik beratkan pada usaha mencapai tujuan. Allah pencipta manusia dan jin telah menciptakan manusia dari unsure jasmani dan rohani, bukan hanya manusia, semua makhluk tumbuhan dan hewanpun terdiri dari dua unsure tersebut.
Keberadaan jasad manusia, menghendaki kebutuhan-kebutuhan dan cara memenuhinya, tanpa memenuhi kebutuhan tersebut hidup tidak akan lestari, oleh karenanya tidak ada jalan lain untuk tidak memenuhinya selain dengan cara biologis, namun memenuhinya kebutuhan bukan berarti tujuan akhir hidup manusia. Karenanya kita harus meletakkan kebutuhan dalam kemampuan mental dan fisik dengan merubahnya menjadi kebutuhan akan menyembah Allah yang menciptakan kita. Inilah konsep pertama ekonomi islam.
Konsep kedua yaitu, beriman kepada Allah, sebagi muslim kita tidak bisa mentolerir politeisme sedikitpun. Tujuan setiap perbuatan yang bertentangan dengan keimanan terhadap keesaan Allah tidak ada kaitannya dengan islam. Karena dapat merusak dasar-dasar dan sandi islam. Berarti hanya ada dua alternative, monotoisme murni atau politeisme mutlak.
Dalam kebebasan berkehendak manusia tidak dapat memilih apapun, tidak ada pilihan ke-3 dalam keadaan apapun bila setan materialisme hendak mengungguli islam dan hendak menjadikannya sebagai sumber kebutuhan dan tolak ukur martabat maka berarti ia telah sama dengan menyekutukan Allah. Hal ini sangat bertentangan dengan prisip islam karena segala pemujaan atau penyembaan kepada selain Allah tidak akan membantu kepada pencapaian hidup. Cara tersebut bahkan sangat menyesatkan dan semakin menjauhkan para pengikutnya dari islam.
Konsep ekonomi islam yang ke-3, dalam situasi apapun aturan islam harus berlaku, ekonomi adalah bagian penting kehidupan manusia dalam segala bidang.
Islam adalah aturan hidup yang paling lengkap, dalam meletakkan dasar-dasar ekonomi islam diperlukan praktek dasar secara bersamaan untuk nmenunjukkan keeksistensi sebagi suatu keadaan yang tidak dapat dihindarkan. Sistem ekonomi islam tidak dapat dilaksanakan secar terpisah, untuk itu masyarakat harus siap menerapkan semua sistem islam lainnya seperti bidang hokum, sosial dan politik dalam waktu yang samatanpa semua itu aturan ekonomi tidak akan stabil dan tidak akan efektif misinya.
Aturan islam jika dilaksanakan diluar masyarakat muslim maka akan sia-sia aturan ekonomi islam secara komprehensif berbeda dengan aturan lainnya. Islam tidak pernah membolehkan ummatnya menjadi budak nafsu dan ambisi. Selain aturan ekonomi yang utama islam juga melatih orang agar martabatnya meningkat kepada derajat kemanusiaan yang lebih tinggi, islam menyeimbangkan hubungan antara seorang dengan penciptanya, walaupun kaum materialis mempunyai harta dan kekayaan tapi ia tidak mampu mencapai martabat yang mulia dan lebih tinggi dari Islam. Dilihat dari struktur kalimat, sistim ekonomi Islam terdiri dari tiga suku kata, yakni sistim; ekonomi dan Islam. Dalam Kamus Ilmiaqh Populer (Pius A Partanto dkk: 1994), sistim atau system bararti: metode; cara yang teratur (untuk melakukan sesuatu); susunan cara. Dan Ekonomi artinya: segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya; pengaturan rumah tangga. Islam artinya: damai, tenteram; agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan kitab suci Al-Qur’an. Jadi sistim ekonomi Islam adalah: segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya yang dilakukan dengan cara yang teratur, berdasarkan pandangan Islam. Sistim ekonomi Islam dibangun diatas landasan yang kokoh yang merupakan warisan yang tak ternilai sebagai wasiat utama bagi umat Islam yang tidak mungkin manusia akan tersesat selamanya selama berpegang kepada dua wasiat itu yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Para ulama baik dari kalangan ahli fiqih, ahli hadis, maupun ahli tafsir telah banyak menukilkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang berkenaan dengan prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam. Kesemuanya memberikan gambaran yang utuh tentang otensitas ajaran Islam dalam mengatur berbagai asfek kehidupan termasuk di dalamnya dalam urusan muamalah dalam hal ini tentang urusan ekonomi Islam.

Aspek muamalat dalam hukum Islam termasuk aspek yang luas ruang lingkupnya. Dalam Hal ini M. Quraish Shihab (Pengantar:2002;xx1), mengatakan “Pada dasarnya, pembahasan aspek hukum Islam yang bukan termasuk kategori aspek ibadah seperti shalat, puasa dan haji, bisa disebut sebagai aspek muamalat. Karena itu, masalah perdata, pidana pada umunya dapat digolongkan pada bidang muamalat. Dalam perkembangannya, aspek muamalat dalam hukum Islam, dibagi lagi menjadi: munakahat (perkawinan), jinayah (pidana) dan muamalat dalam arti khusus, yaitu aspek ekonomi dan bisnis dalam Islam. Dengan demikian, pada akhirnya materi fikih muamalat hanya terbatas pada aspek ekonomi dan hubungan kerja (bisnis) yang lazim dilakukan seperti jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.Keterangan diatas mempertegas bahwa aktivitas ekonomi dalam pandangan Islam merupakan salah satu bagian dari mu’amalah. Hal ini dijelaskan oleh Quraish Shihab (1988:408-409), dalam bukunya Wawawasan Al-Qur’an sebagai berikut:“Aktivitas antar manusia  - termasuk aktivitas ekonomi – terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu’amalah (interaksi). Pesaan utama Al-Qur’an dalam mu’amalah keuangan atau aktivitas ekonomi adalah: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau  melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara batil…(QS. Al-Baqarah:188)Perangkat nilai dasar menurut AM. Saefuddin (1984:17-41), adalah “implikasi dari asas filsafat system” yang dijadikan kerangka konstruksi sosial dan tingkah laku sistem, yaitu tentang organisasi pemilikan, pembatasan tingkah laku individual, dan norma tingkah laku para pelaku ekonomi. Sedangkan nilai-nilai instrumental system ekonomi menurut Saefuddin, merupakan fungsionalisasi system yang bersifat strategis dan sangat berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat serta pembangunan ekonomi umumnya, yang meliputi: zakat, Pelarangan riba, Kerjasama ekonmi, Jaminan Sosial, dan Peranan Negara Dalam Sistem Ekonomi. Dalam ajaran Islam semua asfek kehidupan memiliki kedudukan tersendiri yang diatur secara lengkap oleh Al Qur’an dan diterjemahkan secara utuh oleh Hadis Rasulullah yang pada akhirnya direkontruksi menjadi sebuah konsepsi teoritis oleh para fuqoha, para ulama dan ilmuwan Islam yang mampu diaplikasikan dalam kehidupan umat. Ilmu ekonomi Islam juga mendapat

tantangan yang cukup berat dari ilmu ekonomi konvensional. Hal ini terjadi mengingat ilmu ekonomi yang berkembang di

dunia Barat dilandasi dengan kebebasan individu dalam melakukan kontrak dengan syarat tidak merugikan satu sama

lain. Konsep-konsep ekonomi konvensional versi Barat perlu diredefinisi agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

syari’at Islam. Di antara konsep-konsep tersebut antara lain:

1. Konsep Harta

Masalah yang timbul dalam konsep harta adalah bahwa ilmu ekonomi konvensional tidak mengenal adanya nilai dalam

pemilikan harta. Sejauh dapat menimbulkan nilai ekonomis, segala sesuatu dapat diakui sebagai harta. Tidak heran bila

barang-barang haram seperti minuman keras dan daging babi termasuk property yang sah untuk dijadikan sebagai salah

satu komoditi bisnis .

2. Konsep Uang

Pembahasan dalam fiqh mu’amalat mengasumsikan bahwa uang yang digunakan masyarakat adalah uang riil

(real money) yaitu emas dan perak. Padahal sejak jaman penjajahan, uang emas dan perak tidak lagi digunakan

sebagai alat tukar. Sebagai gantinya uang kertas menjadi alat tukar yang berlaku di tengah masyarakat. Para ulama

berbeda pendapat tentang hukum uang kertas ini. Ada yang menganggap bahwa uang kertas tidak diterima dalam

syariah karena bukan harta riil dan ada pula yang dapat menerimanya .

3. Konsep Bunga dan Riba

Dalam ilmu ekonomi, bunga merupakan asumsi yang tidak lagi menjadi bahan perdebatan meskipun sampai saat ini

para ekonom masih sulit mencari justifikasi terhadapnya. Dalam ilmu fiqh mu’amalat istilah ini tidak dikenal

meskipun pembahasan tentang hukum riba boleh dikatakan telah selesai dan para ulama sepakat mengharamkannya .

Dengan konsep uang kertas (abstract money), konsep bunga dan riba menjadi pembahasan yang bekelanjutan.

4. Konsep Time Value of Money

Sebagian besar teori tentang menajemen keuangan dibangun berdasarkan konsep nilai dan waktu dari uang yang

mengasumsikan bahwa nilai uang sekarang relatif lebih besar ketimbang di masa yang akan datang. Sedangkan di sisi

lain, tidak didapati penjelasannya dalam fiqh mu’amalat meskipun perdebatan tentangn jual beli tangguh

(ba’i mu’ajjal) termasuk diskusi yang tidak sedikit di antara para ulama .

5. Konsep Modal

Modal dalam pengertian ilmu ekonomi adalah segala benda, baik yang fisik maupun yang abstarak, yang memiliki nilai

ekonomis dan produktif. Termasuk dalam pengertian ini adalah uang dan intellectual property right. Dalam fiqh

mu’amalat klasik, pengertian modal terbatas pada benda fisik. Uang hanya dapat berperan sebagai alat tukar.

Apabila ia ingin menjadi modal yang digunakan untuk memperoleh keuntungan ia harus terlebih dahulu diubah ke dalam

bentuk fisik .

6. Konsep Lembaga

Ilmu ekonomi tidak mempersoalkan adanya individual entity atau abstract entity. Berbeda halnya dengan fiqh

mu’amalat yang objeknya kepada mukallaf secara individual. Hal ini akan membawa dampak bagi analisa tentang

kepemilikan dan hubungannnya dengan kepemilikan .

Problem epistemologis ilmu ekonomi Islam dan tantangan yang diberikan oleh ilmu ekonomi konvensional yang

disebutkan di atas dapat berimplikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada out put yang dihasilkan oleh

jurusan ekonomi Islam. Fiqh mu’amalat yang diajarkan di jurusan ekonomi Islam tidak mampu untuk

menghasilkan para sarjana muslim yang diterima oleh dunia kerja. Alasannya adalah bahwa skill dan penguasaan

terhadap ekonomi real lebih dibutuhkan sektor industri dan dunia kerja dibandingkan dengan keahlian dalam masalah istimbath al-ahkam

 

7. Ekonomi islam,  sistem perekonomian, membantu manusia untuk menyembah Tuhannya yang telah memberi rezki, dan untuk menyelamatkan manusia dari kemiskinan yang bisa mengkafirkan dan kelaparan yang bis mendatangkan dosa. Oleh karena itu, rumusan sistem islam berbeda sama sekali dari sistem-sistem yang lain nya. Sebagai sistem ekonomi, ia memiliki akar dalam syari’ah yang menjadi sumber pandangan dunia, sekaligus tujuan dan strateginya (Zainul Bahar, 1999; Qardhawi, 1997:72). Oleh karena itu, semua aktifitas ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi, perdagangan, tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir kepada Tuhan. Kalau seorang muslim bekerja di bidang produksi, maka pekerjaan itu dilakukan  tidak lain karena ingin memenuhi perintah Allah (Q. S al-mulk (67):15). Ketika menanam, membajak, atau melakukan pekerjaan lainnya, seorang muslim merasa bahwa ia bekerja dalam rangka beribadah kepada Allah. Makin tekun ia bekerja, makin takwa ia kepada Allah. Bertambah rapi pekerjaannya, bertambah dekat kepada Allah, tertanam dalam hati nya bahwa semua itu adalah rezki dari Allah, maka patutlah bersyukur (Q.S al baqoroh (2) : 172).

 

 

 

 

 

 

 

NAMA            : Singgih

NPM               : 090401140059

KELAS           : PGSD B

 

1. Jika hal-hal tersebut terus berkembang di masyarakat, maka kebenaran  yang sesungguhnya tidak akan pernah muncul, bahkan hal-hal tersebut bisa meluas  pada generasi selanjutnya, semakin lama, masyarakat akan turun temurun mewariskan keyakinan seperti itu pada anak dan cucunya, karena hal-hal seperti itu bertentangan dengan agama, maka sebaiknya tidak usah dipercayai karena tidak ada manfaatnya, bahkan bisa mendatangkan rasa syirik dalam hati manusia, mereka akan senantiasa hidup dalam kondisi yang meragukan.

Upaya yang saya lakukan sebagai calon guru adalah membimbing generasi selanjutnya agar tidak ikut-ikutan mempercayai hal-hal tersebut. karena hal-hal tersebut tidak ada dalam al-Quran dan hadist. Kita umat islam harus berpegang teguh pada al-Quran dan hadist dan tidak boleh menyimpang dari keduanya, dengan membimbing generasi muda ini, akan memutus arus kepercayaan yang bisa menimbulkan rasa syirik.

 

2. Dalam sebuah ayat al-Quran, “Dan janganlah engkau turut apa-apa yang engkau tidak ada ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan ditanya,” (QS. Al-Isra:36). Ayat al-Quran tersebut menjelaskan bahwa ilmu merupakan dasar dari segala tindakan manusia. Karena tanpa ilmu segala tindakan manusia menjadi tidak terarah, tidak benar dan tidak bertujuan. Kata ilmu berasal dari kata kerja ‘alima, yang berarti memperoleh hakikat ilmu, mengetahui, dan yakin. Ilmu, yang dalam bentuk jamaknya adalah ‘ulum, artinya ialah memahami sesuatu dengan hakikatnya, dan itu berarti keyakinan dan pengetahuan. Jadi ilmu merupakan aspek teoritis dari pengetahuan. Dengan pengetahuan inilah manusia melakukan perbuatan amalnya. Jika manusia mempunyai ilmu tapi miskin amalnya maka ilmu tersebut menjadi sia-sia.Dalam beberapa riwayat di jelaskan tentang hubungan ilmu dan amal itu. Imam Ali as berkata, “Ilmu adalah pemimpin amal, dan amal adalah pengikutnya.” Demikian juga dengan perkataan Rasulullah saw , “Barangsiapa beramal tanpa ilmu maka apa yang dirusaknya jauh lebih banyak dibandingkan yang diperbaikinya.” Pada riwayat lain dijelakan Imam Ali as berkata, “Ilmu diiringi dengan perbuatan. Barangsiapa berilmu maka dia harus berbuat. Ilmu memanggil perbuatan. Jika dia menjawabnya maka ilmu tetap bersamanya, namun jika tidak maka ilmu pergi darinya.”
            Dari riwayat di atas maka jika orang itu berilmu maka ia harus diiringi dengan amal. Amal ini akan mempunyai nilai jika dilandasi dengan ilmu, begitu juga dengan ilmu akan mempunyai nilai atau makna jika diiringi dengan amal. Keduanya tidak dapat dipisahkan dalam perilaku manusia. Sebuah perpaduan yang saling melengkapi dalam kehidupan manusia, yaitu setelah berilmu lalu beramal. Pengertian amal dalam pandangan Islam adalah setiap amal saleh, atau setiap perbuatan kebajikan yang diridhai oleh Allah SWT. Dengan demikian, amal dalam Islam tidak hanya terbatas pada ibadah, sebagaimana ilmu dalam Islam tidak hanya terbatas pada ilmu fikih dan hukum-hukum agama. Ilmu dalam dalam ini mencakup semua yang bermanfaat bagi manusia seperti meliputi ilmu agama, ilmu alam, ilmu sosial dan lain-lain. Ilmu-ilmu ini jika dikembangkan dengan benar dan baik maka memberikan dampak yang positif bagi peradaban manusia. Misalnya pengembangan sains akan memberikan kemudahan dalam lapangan praktis manusia. Demikian juga pengembangan ilmu-ilmu sosial akan memberikan solusi untuk pemecahan masalah-masalah di masyarakat. Jadi, mengiringi ilmu dengan amal merupakan keharusan. Dalam pandangan Khalil al-Musawi dalam buku Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana, hubungan ilmu dengan amal dapat difokuskan pada dua hal : Pertama, ilmu adalah pemimpin dan pembimbing amal perbuatan. Amal bisa lurus dan berkembang bila didasari ilmu. Berbuat tanpa didasari pengetahuan tidak ubahnya dengan berjalan bukan di jalan yang benar, tidak mendekatkan kepada tujuan melainkan menjauhkan. Dalam semua aspek kegiatan manusia harus disertai dengan ilmu, baik itu yang berupa amal ibadah maupun amal perbuatan lainnya. Dalam ibadah harus disertai dengan ilmu. Jika ada orang yang melakukan ibadah tanpa didasari ilmu tidak ubahnya dengan orang yang mendirikan bangunan di tengah malam dan kemudian menghancurkannya di siang hari. Begitu juga, hal ini pun berlaku pada amal perbuatan yang lain, dalam berbagai bidang. Memimpin sebuah negara, misalnya, harus dengan ilmu. Negara yang dipimpin oleh orang bodoh akan dilanda kekacauan dan kehancuran. Sedangkan kedua, sesungguhnya ilmu dan amal saling beriringan. Barangsiapa berilmu maka dia harus berbuat, baik itu ilmu yang berhubungan dengan masalah ibadah maupun ilmu-ilmu yang lain. Tidak ada faedahnya ilmu yang tidak diamalkan. Amal merupakan buah dari ilmu, jika ada orang yang mempunyai ilmu tapi tidak beramal maka seperti pohon yang tidak menghasilkan manfaat bagi penanamnya. Begitu pula, tidak ada manfaatnya ilmu fikih yang dimiliki seorang fakih jika dia tidak mengubahnya menjadi perbuatan. Begitu juga, tidak ada faedahnya teori-teori atau penemuan-penemuan yang ditemukan seorang ilmuwan jika tidak diubah menjadi perbuatan nyata. Karena wujud dari pengetahuan itu adalah amal dan karya nyatanya. Ilmu tanpa diiringi dengan amal maka hanya berupa konsep-konsep saja. Ilmu yang tidak dilanjutkan dengan perbuatan, mungkin kita dapat menyebutnya sebagai pengetahuan teoritis. Namun, apa faedahnya ilmu teoritis jika kita tidak menerjemahkannya ke dalam ilmu praktis. Jika ilmu tidak diimplementasikan maka akan memberikan dampak yang negatif. Salah-satu penyakit sosial yang paling berbahaya yang melanda berbagai umat – termasuk umat Islam - adalah penyakit pemutusan ilmu-khususnya ilmu-ilmu agama –dari amal perbuatan, dan berubahnya ilmu menjadi sekumpulan teori belaka yang jauh dari kenyataan dan penerapan. Padahal, kaedah Islam menekankan bahwa ilmu senantiasa menyeru kepada amal perbuatan. Keduanya tidak ubahnya sebagai dua benda yang senantiasa bersama dan tidak terpisah satu sama lain. Jika amal memenuhi seruan ilmu maka umat menjadi baik dan berkembang. Namun jika tidak, maka ilmu akan meninggalkan amal perbuatan, dan dia akan tetap tinggal tanpa memberikan faedah apa pun. Jika demikian nilai apa yang dimiliki seorang manusia yang mempunyai segudang teori dan pengetahuan namun tidak mempraktikkannya dalam dunia nyata. Pertalian ilmu dengan amal tidak hanya dituntut dari para pelajar agama dan para ahli yang mendalami suatu ilmu, melainkan juga dituntut dari setiap orang, baik yang memiliki ilmu sedikit ataupun banyak. Namun, tentunya orang-orang yang berilmu memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam hal ini, karena mereka memiliki kemampuan yang lebih. Allah SWT berfirman di dalam surat Ash-Shaff, ayat (2-3), “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. Sungguh besar murka Allah kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” Jika kita memperhatikan ayat-ayat al-Quran, niscaya kita akan menemukan bahwa al-Quran senantiasa menggandengkan ilmu dengan amal. Makna ilmu diungkapkan dalam bentuk kata iman pada banyak tempat, dengan pengertian bahwa iman adalah ilmu atau keyakinan. Di antaranya ialah :“Demi waktu Asar, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran dan kebajikan.” (QS. Al-‘Ashr:1-3). Dalam ayat lain dikatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.” (QS. Al-Kahfi : 107). Demikian juga dengan ayat, “Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagian dan tempat kembali yang baik.” (QS. Ar-Ra’d :29). Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang betapa ilmu dan amal shaleh memiliki kaitan yang erat yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Karena keduanya bagai dua keping mata uang, yang saling memberi arti. Inilah yang sejalan dengan ucapan Imam Ali as, “Iman dan amal adalah dua saudara yang senantiasa beriringan dan dua sahabat yang tidak berpisah. Allah tidak akan menerima salah satu dari keduanya kecuali disertai sahabatnya.”
            Dengan perspektif keterpaduan ilmu dan amal, maka akan memberikan perkembangan kearah perbaikan dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat akan berlomba-lomba dalam memberikan amal shaleh satu sama lain. Imam Ali as berkata, “Jangan sampai ilmumu menjadi kebodohan dan keyakinanmu menjadi keraguan. Jika engkau berilmu maka beramalah, dan jika engkau yakin maka majulah.” Dengan ilmu yang benar, serta amal shaleh maka masyarakat bergerak dari kebodohan menuju kepintaran, dari ketertinggalan menuju kemajuan dan dari kehancuran menuju kebangkitan.

3. Sudah menjadi kewajiban kita semua untuk ikut serta ambil peran dalam usaha bersama bangsa kita untuk mewujudkan masyrakat berperadaban, masyarakat madani, civil society, dinegara kita tercinta, Republik Indonesia. Karena terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adalah Nabi Muhammad Rasulullah sendiri yang memberi teladan kepada umat manusia ke arah pembentukan masyarakat peradaban. Setelah belasan tahun berjuang di kota Mekkah tanpa hasil yang terlalu menggembirakan, Allah memberikan petunjuk untuk hijrak ke Yastrib, kota wahah atau oase yang subur sekitar 400 km sebelah utara Mekkah. Sesampai di Yastrib, setelah perjalanan berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, Nabi disambut oleh penduduk kota itu, dan para gadisnya menyanyikan lagu Thala'a al-badru 'alaina (Bulan Purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair dan lagu yang kelak menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Kemudian setelah mapan dalam kota hijrah itu, Nabi mengubah nama Yastrib menjadi al-Madinat al-nabiy (kota nabi). Secara konvensional, perkataan "madinah" memang diartikan sebagai "kota". Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna "peradaban". Dalam bahasa Arab, "peradaban" memang dinyatakan dalam kata-kata "madaniyah" atau "tamaddun", selain dalam kata-kata "hadharah". Karena itu tindakan Nabi mengubah nama Yastrib menjadi Madinah, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar hendak mendirikan dan membangun mansyarakat beradab. Tak lama setelah menetap di Madinah itulah, Nabi bersama semua penduduk Madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani, dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama-sama. Dan di Madinah itu pula, sebagai pembelaan terhadap masyarakat madani, Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perang membela diri dan menghadapi musuh-musuh peradaban. Jika kita telaah secara mendalam firman Allah yang merupakan deklarasi izin perang kepada Nabi dan kaum beriman itu, kita akan dapat menangkap apa sebenarnya inti tatanan sosial yang ditegakkan Nabi atas petunjuk Tuhan. Diizinkan berperang bagi orang-prang yang diperangi, karena mereka sesungguhnya telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah amat berkuasa untuk menolong mereka.Yaitu mereka yang diusir dari kampung halaman mereka secara tidak benar, hanya karena mereka berkata: "Tuhan kami ialah Allah". Dan kalaulah Allah tidak menolak (mengimbangi) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya runtuhlah gereja-gereja, sinagog-sinagog, dann masjid-masjid yang disitu banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah akan menolong siapa saja yang menolong-NYA (membela kebenaran dan keadilan).Yaitu mereka, yang jika kami berikan kedudukan di bumu, menegakkan sembahyang serta menunaikan zakat, dan mereke a menuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat kejahatan, dan mereka mennyuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat kejahatan. Dan bagi Allah jualah segala kesudahan semua perkara. (Q.S. Al-Hajj-39-41). Dari firman deklarasi izin perang kepada nabi dan kaum beriman itu, bahwa perang dalam masyarakat madani dilakukan karena keperluan harus mempertahankan diri, melawan dan mengalahkan kezaliman. Perang itu juga dibenarkan dalam rangka membela agama dan sistem keyakinan, yang intinya ialah kebebasan menjalankan ibadat kepada Tuhan. Lebih jauh, perang yang diizinkan Tuhan itu adalah untuk melindungi lembaga-lembaga keagamaan seperti biara, gereja, sinagog, dan mesjid (yang dalam lingkungan Asia dapat ditambah dengan kuil, candi, kelenteng, dan seterusnya) dari kehancuran. Perang sebagai suatu keterpaksaan yang diizinkan Allah itu merupakan bagian dari mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang diciptakan Allah untuk menjaga kelestarian hidup manusia. Seperti dunia sekarang ini yang selamat dari "kiamat nuklir" karena perimbangan kekuatan nuklir antara negara-negara besar, khususnya Amerika dan Rusia (yang kemudian masing-masing tidak berani menggunakan senjata nuklirnya—yang disebut "kemacetan nuklir"), masyarakat pun berjalan mulus dan terhindar dari bencana jika di dalamnya terdapat mekanisme pengawasan dan pengimbangan secara mantap dan terbuka (renungkan QS Al-Baqarah:152). Dengan memahami prinsip-prinsip itu, kita juga akan dapat memahami masyarakat madani yang dibangun nabi di Madinah. Membangun masyarakat peradaban itulah yang dilakukan Nabi selama sepuluh tahun di Madinah. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-NYA. Taqwa kepada Allah dalam arti semangat ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam peristilahan Kitab Suci juga disebut semangat Rabbaniyah (QS Alu Imran:79) atau ribbiyah (QS Alu Imran:146). Inilah hablun mim Allah, tali hubungan dengan Allah, dimensi vertikal hidup manusia, salah satu jaminan untuk manusia agar tidak jatuh hina dan nista. Semangat Rabbaniyah atau ribbiyah itu, jika cukup tulus dan sejati, akan memancar dalam semangat perikemanusiaan, yaitu semangat insaniyah, atau basyariyah, dimensi horisontal hidup manusia, hablun min al-nas. Kemudian pada urutannya, semangat perikemanusiian itu sendiri memancar dalam berbagai bentuk hubungan pergaulan manusia yang penuh budi luhur. Maka tak heran jika Nabi dalam sebuah hadisnya menegaskan bahwa inti sari tugas suci beliau adalah untuk "menyempurnakan berbagai keluhuran budi". Masyarakat berbudi luhur atau berakhlak mulia itulah, masyarakat berperadaban, masyarakat madani, "civil society". Masyarakat Madani yang dibangun nabi itu, oleh Robert N. Bellah, seorang sosiologi agama terkemuka disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga setelah nabi sendiri wafat tidak bertahan lama. Timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti dirintis Nabi. Setelah Nabi wafat, masyarakat madani warisan Nabi itu, yang antara lain bercirikan egaliterisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan, hanya berlangsung selama tiga puluh tahunan masa khulafur rasyidin. Sesudah itu, sistem sosial madani dengan sistem yang lebih banyak diilhami oleh semangat kesukuan atau tribalisme Arab pra-Islam, yang kemudian dikukuhkan dengan sistem dinasti keturunan atau geneologis itu sebagai "Hirqaliyah" atau "Hirakliusisme", mengacu kepada kaisar Heraklius, penguasa Yunani saat itu, seorang tokoh sistem dinasti geneologis. Begitu keadaan dunia Islam, terus-menerus hanya mengenal sistem dinasti geneologis, sampai datangnya zaman modern sekarang. Sebagian negara muslim menerapkan konsep negara republik, dengan presiden dan pimpinan lainnya yang dipilih. Karena itu, justru dalam zaman modern inilah, prasarana sosial dan kultural masyarakat madani yang dahulu tidak ada pada bangsa manaoun di dunia, termasuk bangsa Arab, mungkin akan terwujud. Maka kesempatan membangun masyarakat madani menuurut teladan nabi, justru mungkin lebih besar pada masa sekarang ini. Berpangkal dari pandangan hidup bersemangat ketuhanan dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia (QS Fushshilat:33), masyarakat madani tegak berdiri di atas landasan keadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang kepada hukum. Menegakkan hukum adalah amanat Tuhan Yang Maha Esa, yang diperintahkan untuk dilaksanakan kepada yang berhak (QS Al-Nisa:58). Dan Nabi telah memberi telaadan kepada kita. Secara amat setia beliau laksanakan perintah Tuhan itu. Apalagi Al-Qur'an juga menegaskan bahwa tugas suci semua Nabi ialah menegakkan keadilan di antara manusia (QS Yunus:47). Juga ditegakkan bahwa para rasul yang dikirim Allah ke tengah umat manusia dibekali dengan kitab suci dan ajaran keadilan, agar manusia tegak dengan keadilan itu (QS al-Hadid:25). Keadilan harus ditegakkan, tanpa memandang siapa yang akan terkena akibatnya. Keadilan juga harus ditegakkan, meskipun mengenai diri sendiri, kedua orang tua, atau sanak keluarga (QS A-'Nisa:135). Bahkan terhadap orang yang membenci kita pun, kita harus tetap berlaku adil, meskipun sepintas lalu keadilan itu akan merugikan kita sendiri (QS Al-Ma'idah:8). Atas pertimbangan ajaran itulah, dan dalam rangka menegakkan masyarakat madani, Nabi tidak pernah membedakan anatara "orang atas", "orang bawah", ataupun keluaarga sendiri. Beliau pernah menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah karena jika "orang atas" melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi jika "orang bawah" melakukannya pasti dihukum. Karena itu Nabi juga menegaskan, seandainya Fatimah pun, puteri kesayangan beliau, melakukan kejahatan, maka beliau akan menghukumnya sesuai ketentuan yang berlaku. Masyarakat berperadaban tak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, yang dimulai dengan ketulusan komitmen pribadi. Masyarakat berperadaban memerlukan adanya pribadi-pribadi yang dengan tulus mengikatkan jiwanya kepasda wawasan keadilan. Ketulusan ikatan jiwa itu terwujud hanya jika orang bersangkutan ber-iman, percaya dan mempercayai, dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan, dalam suatu keimanan etis, artinya keimanan bahwa Tuhan menghendaki kebaikan dan menuntut tindakan kebaikan manusia kepada sesamanya. Dan tindakan kebaikan kepada sesama manusia harus didahului dengan diri sendiri menempuh hidup kebaikan, seperti dipesankan Allah kepada para Rasul (QS Al-Mu'minun:51), agar mereka "makan dari yang baik-baik dan berbuat kebajikan." Ketulusan ikatan jiwa, juga memerlukan sikap yang yakin kepada adanya tujuan hidup yang lebih tinggi daripada pengalaman hidup sehari-hari di dunia ini. Ketulusan ikatan jiwa perlu kepada keyakinan bahwa makna dan hakikat hidup manusia pasti akan menjadi kenyataan dalam kehidupan abadi, kehidupan setelah mati, dalam pengalaman bahagia atau sengsara. Karena itu, ketulusan ikatan jiwa kepada keadilan mengharuskan orang memandang hidup jauh di depan, tidak menjadi tawanan keadaan di waktu sekarang dan di tempat ini (dunia) (QS Al-'Araf:169). Tetapi, tegaknya hukum dan keadilan tak hanya perlu kepada komitmen-komeitmen pribadi. Komitmen pribadi yang menyatakan diri dalam bentuk "itikad baik", memang mutlak diperlukan sebagai pijakan moral dan etika dalam masyarakat. Sebab, bukankah masyarakat adalah jumlah keseluruhan pribadi para anggotanya? Apalagi tentang para pemimpin masyarakat atau public figure, maka kebaikan itikad itu lebih-lebih lagi dituntut, dengan menelusuri masa lalu sang calon pemimpin, baik bagi dirinya sendiri maupun mungkin keluarganya. Karena itu, di banyak negara, seorang calon pemimpin formal harus mempunyai catatan perjalanan hidup yang baik melalui pengujian, bukan oleh perorangan atau kelembagaan, tetapi oleh masyarakat luas, dalam suasana kebebasan yang menjamin kejujuran. Namun sesungguhnya, seperti halnya dengan keimanan yang bersifat amat pribadi, itikad baik bukanlah suatu perkara yang dapat diawasi dari diri luar orang bersangkutan. IA dapat bersifat sangat subjektif, dibuktikan oleh hampir mustahilnya ada orang yang tidak mengaku beritikad baik. Kecuali dapat diterka melalui gejala lahir belaka, suatu itikad baik tak dapat dibuktikan, karena menjadi bagian dari bunyi hati sanubari orang bersangkutan yang paling rahasia dan mendalam. Oleh sebab itu, iitikad pribadi saj atidak cukup untuk mewujudkan masyarakat berperadaban. Itikad baik yang merupakan buah keimanan itu harus diterjemahkan menjadi tindakan kebaikan yang nyata dalam masyarakat, berupa "amal saleh", yang secara takrif adalah tindakan membawa kebaikan untuk sesama manusia. Tindakan kebaikan bukanlah untuk kepentingan Tuhan, sebab Tuhan adalah Maha Kaya, tidak perlu kepada apapun dari manusia. Siapa pun yang melakukan kebaikan, maka dia sendirilah --melalui hidup kemasyarakatannya-- yang akan memetik dan merasakan kebaikan dan kebahagiaan. Begitu pula sebaiknya, siapapun yang melakukan kejahatan, maka dia sendiri yang kan mewnanggung akibat kerugian dan kejahatannya. (QS Fushilat:46, Al-Jatsiyah:15). Jika kita perhatikan apa yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari, jelas sekali bahwa nilai-nilai kemasyarakatan yang terbaik sebagian besar dapat terwujud hanya dalam tatanan hidup kolektif yang memberi peluang kepada adanya pengawasan sosial. Tegaknya hukum dan keadilan, mutlak emmerlukan suatu bentuk interaksi sosial yang memberi peluang bagi adanya pengawasan itu. Pengawasan sosial adalah konsekuensi langsung dari itikad baik yang diwujudkan dalam ttindakan kebaikan. Selanjutnya, pengawasan sosial tidak mungkin terselenggara dalam suatu tatanan sosial yang tertutup. Amal soleh ataupun kegiatan "demi kebaikan", dengan sendirinya berdimensi kemanusiaan, karena berlangsung dalam suatu kerangka hubungan sosial, dan menyangkut orang banyak. Suatu klaim berbuat baik untuk masyarakat, apalagi jika pebuatan atau tindakan itudilakukan melaluipenggunaan kekuasaan, tidak dapat dibiarkan berlangsung denan mengabaikan masyarakat, apalagi jika perbuatan atau tindakan dilakukan melalui penggunaan kekuasaan. tidak dapat dibiarkan berlangsung dengan mengabaikan masyarakat itu sendiri dengan berbagai pandangan, penilaian dan pendapat yang ada. Dengan demikian, masyarakat madani akan terwujud hanya jika terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyrakat. Keterbukaan adalah konsekuensi dari kemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara optimis dan positif. Yaitu pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (QS Al-'araf: 172, Al-Rum:30), sebelum terbukti sebaliknya. Kejahatan pribadi manusia bukanlah sesuatu hal yang alami berasal dari dalam kediriannya. Kejahatan terjadi sebagai akibat pengaruh dari luar, dari pola budaya yang salah, yang diteruskan terutama oelh seorang tua kepada anaknya. Karena itu, seperti ditegaskan dalam sebuah hadist Nabi, setiap anak dilahirkan dlam kesucian asal, namun orangtuanyalah yang membuatnya menyimpang dari kesucian asal itu. Ajaran kemanusiaan yang suci itu membawa konsekuensi bahwa kita harus melihat sesama manusia secara optimis dan positif, sdengan menerapkan prasangka baik (husn al-zhan), bukan prasangka buruk (su' al-zhan), kecuali untuk keperluan kewaspadaan seeprlunya dalam keadaan tertentu. Tali persaudaraan sesama manusia akan terbina antara lain jika dalam masyarakat tidak terlalu banyak prasangka buruk akibat pandangan yang pesimis dan negatif kepada manusia (QS al-Hujurat:12). Berdasarkan pandangan kemanusiaan yang optimis-positif itu, kita harus memandang bahwa setiap orang mempunyai potensi untuk benar dan baik. Karena itu, setiap orang mempunyai potensi untuk menaytakan pendapat dan untuk didengar. Dari pihak yang mndengar, kesediaan untuk mendengar itu sendiri memerlukan dasar moral yang amat penting, yaitu sikap rendah hati, berupa kesiapan mental untuk menyadari dan mengakui diri sendiri selalu berpotensi untuk membuat kekeliruan. Kekeliruan atau kekhilafan terjadi karena manusia adalah makhluk lemah (QS Al-Nisa': 28). Keterbukaan adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Keterbukaaan serupa itu dalam kitab suci disebutkan sebagai tanda adanya hidayah dari Allah, dan membuat yang bersangkutan tergolong orang-orang yang berpikiran mendalam (ulu' al-bab), yang sangat beruntung (QS al-Zumar:17-18).

Usaha yang dapat saya lakukan ialah menyelesaikan masalah dengan jalan musyawarah. Musyawarah pada hakikatnya tak lain adalah interaksi positif berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberi hak untuk menyatakan pendapat, dan saling mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat itu. Dalam bahasa lain, musyawarah ialah hubungan interaktif untuk saling mewngingatkan tentang kebenaran dan kebaikan serta ketabahan dalam mencari penyelesaian masalah bersama, dalam suasana persamaan hak dan kewajiban antara warga masyarakat (QS al-'Ashar). Itulah masyarakat demokratis, yang berpangkal dari keteguhan wawasan etis dan moral berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Masyarakat demokratis tidak mungkin tanpa masyarakat berperadaban, masyarakat madani. Berada di lubuk paling dalam dari masyarakat madani adalah jiwa madaniyah, civility, yaitu keadaban itu sendiri. Yaitu sikap kejiwaaan pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selamanya benar, dan tidak ada suatu jawaban yang selamanya benar atas suatu masalah. Dari keadaan lahir sikap yang tulus untuk menghargai sesama manusia, betappaun seorang individu atau suatu kelompok berbeda dengan diri sendiri dan kelompok sendiri. Karena itu, keadaban atau civility menuntut setiap orang dan kelompok masyarakat untuk menghindar dari kebiasaan merendahkan orang atau kelompok lain, sebab "Kalau-kalau mereka yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka yang direndahkan" (QS al-Hujurat:11). Tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan pluralisme, adalah kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Sebab toleransi dan pluralisme tak lain adalah wujud dari "ikatan keadaban" (bond of civility), daolam sarti, sebagaimana telah dikemukakan, bahwa masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan interaksi sosial yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betappaun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri. Bangsa Indonesia memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk nmenegakkan masyarakat madani. Dan kita semua sangat berpengharapan bahwa masyarakat madani akan segera tumbuh semakain kuat di amsa dekat ini. Kemajuan besar yang telah dicapai oleh Orde Baru dala m meningkatkan taraf hidup rakyat dan kecerdasan umum, adalah alasan utam akita untuk berpengaharapan itu. Kita wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berterima kasih kepada para pemimpin bangsa, bahwa keadaaan kita sekarang ini, hampir di segala bidang, jauh lebih baik, sangat jauh lebih baik, daripada dua-tiga dasawarsa yang lalu. Tetapi, sejalan dengan suatu cara Nabi bersyukur kepada Allah, yaitu dengan memohon ampun kepada-Nya, kita pun bersyukur kepada-Nya dengan menyadari dan mengakui berbagai kekurangan kita. Dan kita semua tidak mau menjadi korban keberhasilan kita sendiri, misalnya karena kurang mampu melakukan antisipasi terhadap tuntutan masyarakat yang semakin berkecukupan dan berpendidikan. Terkiaskan denagn makna ungkapan "revolusi sering memakan anaknya sendirinya sendiri", kita semua harus berusaha mencegah jangan sampai "keberhasilan memakan anaknya sendiri" pula. 

4. Sekularisme dalam Kamus Oxford didefinasikan sebagai “wordly or material. Not religious or spiritual” maksudnya keduniaan atau kebendaan, bukan agama atau roh. Para ulama’ telah bersepakat menyatakan bahawa sekularisme menyampingkan agama dari urusan kenegaraan, kemasyarakatan dan ekonomi. Ia meletakkan agama dalam ruang lingkup yang amat sempit dan memberi kebebasan kepada individu menganut agama yang disukainya. Faham sekularisme ini menjadi Ibu kepada puluhan isme lain. Walaupun pada asalnya ia sekedar pengasingan agama daripada dunia tetapi terus berkembang dan berpegang dengan prinsip “here and now”. Secara tidak langsung fahaman ini menghasilkan penolakan terhadap hari akhirat dan manusia bebas melakukan apa saja. Menurut Prof. Dr. Sayyid Muhammad Naquib Al-Attas, beliau menganggap bahwa sekularisme adalah faham kekinidisian, yaitu  penumpuan pada zaman sekarang dan ruang kehidupan duniawi. Bagi manusia sekularis tidak ada ‘nanti’ (hari akhirat) dan tidak ada ‘ sana’ (kehidupan ukhrawi) atau sekurang-kurangnya tidak mempedulikannya. Menurut mereka yang wujud hanya alam fizikal ini dan dengan demikian mereka menolak realiti-realiti metafizik. World-view seperti itu jelas sempit dan terbatas, sekadar nazrah atau pandangan inderawi terhadap al-kawn atau alam fizikal. Namun demikian, ini bertentangan dengan world-view Islami yang meliputi segala kewujudan alam syahadah dan alam ghaib, alam tabi’i dan alam metafizik yang dapat dilihat dengan mata inderawi dan tampak pada pandangan a’kli-nurani. Oleh yang demikian, kerana itulah Prof Al-Attas mendefinasikan world-view Islami sebagai ru’yat al-Islam li al-wujud. Manakala pandangan Dr. Uthman El-Muhammady, di mana beliau telah mengupas istilah sekular daripada sudut barat serta secular dalam bentuk pengetahuan dan amalan dalam Islam. Istilah sekular dari sudut pendidikan, seni (musik), sejarah, sastra dan lain-lain, membawa maksud pendidikan yang tidak berhubung dengan agama atau mengecualikan pengajaran agama dari pendidikan. Dr. Uthman telah membedakan sekular dari sudut negatif dan positif. Dari sudut negatif apabila sekular diamalkan, langsung tidak mempunyai hubungan dengan kerohanian (lebih kepada duniawi) dan juga bertentangan dengan prinsip Islam itu sendiri. Manakala sekular yang positif pula ialah yang dibolehkan dalam Islam, contohnya seseorang yang melakukan kerja yang dicampur dengan fahaman ini untuk membolehkan ia menunaikan ibadah kepada Allah SWT. Namun begitu, beliau menyatakan bahwa lebih wajar sekiranya istilah sekular ini tidak diartikan kepada maksud yang positif (yang boleh diamalkan) dan negatif (yang benar-benar keji) yang pastinya setiap sekular itu hanya menjurus ke arah keduniaan tanpa dikaitkan dengan urusan ukhrawi. Hal ini apabila dikaitkan dengan kerohanian ia berubah menjadi sakral (suci). Istilah sekularisme secara keseluruhannya yang dipetik dari kamus Webster’s Encyclopedia, kamus Al-Mawrid, kamus Dewan dan Oxford English Dictionary jelas menunjukkan bahwa setiap perkara yang dilakukan hanya berhubung dengan dunia tanpa berkaitan dengan Zat Mutlak (Allah SWT).

PLURALISME: Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi. Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar. Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.

Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran.

Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing.

Liberalisme: Berasal dari bahasa latin Liber, yang artinya bebas atau merdeka. Dari sini muncul istilah liberal arts yang berarti ilmu yang sepatutnya dipelajari oleh orang merdeka, yaitu: aritmetika, geometri, astronomi, musik, gramatika, logika dan retorika. Sebagai ajektif, kata liberal dipakai untuk menunjukkan sikap anti-feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas dan terbuka (open-minded) dan oleh karena itu merasa hebat (magnanimous). Dalam politik, liberalisme dimaknai sebagai sebuah sistem yang menentang mati-matian sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya republik-republik dengan sistem demokrasi menggantikan kerajaan atau kesultanan tidak lepas dari liberalisme ini. Dalam bidang ekonomi, liberalisme menunjuk pada sistem pasar bebas, di mana peran dan intervensi pemerintah sangat dibatasi. Kini liberalisme ekonomi menjadi identik dengan kapitalisme. Negara-negara miskin cenderung menjadi wilayah pinggiran bagi perekonomian negara-negara kaya. Peran pemerintah yang mestinya melayani dan melindungi kepentingan rakyatnya, bergeser menjadi melayani dan melindungi kepentingan para pemodal internasional yang telah menginvestasikan modalnya di negara tersebut. Bahkan tidak jarang kebijakan ekonomi negara-negara miskin secara terang-terangan mengambil posisi berlawanan dengan aspirasi rakyat mereka sendiri.

            Agama Kristen mulai bersinar di Eropa ketika pada tahun 313 Kaisar Konstantin mengeluarkan surat perintah (edik) yang isinya memberi kebebasan kepada warga Romawi untuk memeluk Kristen. Bahkan pada tahun 380 Kristen dijadikan sebagai agama negara oleh Kaisar Theodosius. Menurut edik Theodosius semua warga negara Romawi diwajibkan menjadi anggota gereja Katolik. Agama-agama kafir dilarang. Bahkan sekte-sekte Kristen di luar “gereja resmi” pun dilarang. Dengan berbagai keistimewaan ini, Kristen kemudian menyebar ke berbagai penjuru dan dunia, bahkan menjadi sebuah imperium yang otoriter dengan selalu mengatasnamakan kehendak Tuhan. Liberalisme muncul di Eropa sebagai reaksi dan perlawanan atas otoriteritas gereja yang dengan mengatasnamakan Tuhan telah melakukan penindasan. Konon tidak kurang dari 32.000 orang dibakar hidup-hidup atas alasan menentang kehendak Tuhan. Galileo, Bruno dan Copernicus termasuk di antara saintis-saintis yang bernasib malang karena melontarkan ide yang bertentangan dengan ide Gereja. Untuk mengokohkan dan melestarikan otoriteritas itu, Gereja membentuk institusi pengadilan yang dikenal paling brutal di dunia sampai akhir abad 15, yaitu Mahkamah Inquisisi. Karen Amstrong dalam bukunya Holy War: The Crusade and Their Impact on Today’s World (1991 : 456) menyatakan, “Most of us would agree that one of the most evil of all Christian institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the Chatholic Chuch until the end of seventeenth century.”

            Despotisme Gereja ini telah mengakibatkan pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja. Kaum liberal menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja. Liberalisme membolehkan setiap orang melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya. Manusia tidak lagi harus memegang kuat ajaran agamanya, bahkan kalau ajaran agama tidak sesuai dengan kehendak manusia, maka yang dilakukan adalah melakukan penafsiran ulang ayat-ayat Tuhan agar tidak bertabrakan dengan prinsip-prinsip dasar liberalisme. Wajar jika kemudian berbagai tindakan amoral pun seperti homoseksual, seks bebas, aborsi, dan juga berbagai aliran sesat dan menyesatkan dalam agama dianggap legal, karena telah mendapatkan justifikasi ayat-ayat Tuhan yang telah ditafsir ulang secara serampangan dan kacau. Di antara sejumlah tokoh yang berani menentang otoritas Gereja adalah Nicolaus Copernicus (1543 M) dengan teori Heliosentris-nya yang menyatakan bahwa Matahari sebagai pusat Tata Surya. Sebuah teori yang menentang ajaran Gereja yang sekian lama memegang filsafat Ptolomaeus yang menyatakan bahwa Bumilah sebagai pusat (Geo-centris). Perjuangannya diikuti Gardano Bruno (1594M), fisikawan Jerman Johannes Kapler (1571 M), Galileo Galilei (1564 M) dan Isaac Newton (1642 M). John Lock (1704 M) kemudian mengusung liberalisme bidang politik dengan menyodorkan ideologi yang mendorong masyarakat untuk membebaskan diri dari kekangan Gereja waktu itu. Adam Smith (1790M) mengusung liberalisme di bidang ekonomi yang memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menjalankan kegiatan ekonominya tanpa intervensi dari pemerintahan gereja atau pemerintahan raja yang didukung gereja.
Ketika otoritas Gereja runtuh, bangsa Eropa terpecah menjadi dua aliran besar dalam menyikapi agama. Pertama, Aliran Deisme, yaitu mereka yang masih mempercayai adanya Tuhan, tapi tidak memercayai ayat-ayat Tuhan. Tokoh-tokohnya antara lain, Martin Luther, John Calvin, Isaac Newton, John Lock, Immanuel Kant, dsb. Dan kedua, Aliran Materialisme atau Atheisme. Aliran ini menganggap bahwa agama merupakan gejala masyarakat yang sakit. Agama dinilai sebagai candu atau racun bagi masyarakat. Di antara tokohnya, Hegel, Ludwig Feuerbach, dan Karl Marx. Ketidakpercayaan kepada Tuhan diusung pula oleh Charles Darwin (1809-1882 M) melalui bukunya The Origin of Species by Means Natural Selection (1859M). Melalui teori evolusinya, Darwin mencoba memisahkan intervensi Tuhan dalam penciptaan alam dan makhluk hidup di muka bumi ini. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa liberalisme merupakan upaya keluar dari kekangan ajaran Kristen yang bermasalah. Liberalisme telah mengantarkan masyarakat Barat menjadi orang atheis atau paling tidak deis. Di bidang sosial kaum liberalis telah melegalkan homoseksual. Dignity, sebuah organisasi gay Katolik internasional pada tahun 1976 saja sudah memiliki cabang di 22 negara bagian AS. Di Australia ada organisasi serupa Acceptance, di Inggris ada Quest, di Swedia ada Veritas. Fakta yang fenomenal terjadi ketika Nopember 2003 seorang pendeta bernama Gene Robinson yang notabene seorang homoseks, dilantik menjadi Uskup Gereja Anglikan di New Hampshire. Liberalisme mengajarkan bahwa seks bebas dan aborsi sebagai privasi individu yang tidak boleh dicampuri oleh aturan agama atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, selama individu tersebut senang, sukarela, suka sama suka. Masyarakat dan agama tidak boleh menghakimi mereka. Padahal dampak terkejam dari perilaku seks bebas adalah kecenderungan manusia untuk lari dari tanggung jawab. Ketika terjadi kehamilan, jalan yang ditempuh adalah aborsi. Kaum liberalis menuntut emansipasi wanita, kesetaraan gender dengan mengabaikan nilai-nilai agama. Dengan jargon kebebasan (liberty) dan persamaan (egality), kaum feminis secara ekstrem telah memunculkan semangat melawan dominasi laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga. Banyak pria atau wanita yang lebih memilih hidup sendiri. Kebutuhan seksual dipenuhi dengan zina (free-sex), kebutuhan akan anak dipenuhi dengan adopsi dan bertindak sebagai single parent. Jika tidak mau direpotkan dengan anak, maka aborsi jadi solusi. Sejumlah negara Barat telah melakukan “Revolusi Jingga” dengan mengesahkan undang-undang yang melegalkan perkawinan sejenis. Liberalisasi di bidang agama juga sudah merasuk kaum muslimin di Indonesia . Liberalisasi Islam dilakukan melalui tiga bidang penting dalam Islam, yaitu: (1) Liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham pluralisme agama. Paham ini menyatakan bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa hanya agamanya saja yang benar. Menurut mereka, salah satu ciri agama jahat adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri. (2) Liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekontruksi terhadap Al-Qur’an. Para liberalis Islam telah memosisikan diri sebagai epigon terhadap Yahudi dan Kristen yang melakukan kajian “Biblical Criticism”. Kajian kritis terhadap Bible yang memang bermasalah. Menurut liberalis “All scriptures are miracles; semua kitab suci adalah mukjizat. Jadi Al-Qur`an sejajar dengan Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Weda, Bagawad Ghita, Tripitaka, Darmogandul dan Gatoloco (?). (3) Liberalisasi syari’at Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah qath’i dan pasti dibongkar dan dibuat hukum baru yang sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara yang jadi barometernya bukan lagi Al-Qur’an dan As-Sunnah tapi demokrasi, HAM, gender equality (kesetaraan gender) dan pluralisme. Kalau orang menyakini bahwa semua agama benar, bahwa Tuhan semua agama itu sama, hanya berbeda dalam memanggil, bahwa semua kitab suci itu sama mukjizat, masih patutkah dikategorikan sebagai seorang muslim dan mukmin? Wallahu a’lam.

 

5.  Batasan yang diperbolehkan

·         membantu fakir miskin pada waktu hari raya, walaupun beda agama

·         saling menghargai pada saat ibadah atau merayakan hari besar keagamaan

·         hidup rukun dalam masyarakat demi terciptanya kerukunan antar umat beragama

·         tidak memaksakan keyakinan kita pada orang yang beda agama

 

Batasan yang tidak diperbolehkan

·         menganggu saat ibadahan

·         selalu memusuhi orang yang beda agama

·         memaksa orang lain untuk melaksanakan ajaran agama yang kita anut

·         tidak ada rasa persaudaraan karena merasa tidak sejalan

 

6. Kiranya tepatlah dikatakan bila ilmu ekonomi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ambisi dan materi, ilmu ekonomi dititik beratkan pada usaha mencapai tujuan. Allah pencipta manusia dan jin telah menciptakan manusia dari unsure jasmani dan rohani, bukan hanya manusia, semua makhluk tumbuhan dan hewanpun terdiri dari dua unsure tersebut.
Keberadaan jasad manusia, menghendaki kebutuhan-kebutuhan dan cara memenuhinya, tanpa memenuhi kebutuhan tersebut hidup tidak akan lestari, oleh karenanya tidak ada jalan lain untuk tidak memenuhinya selain dengan cara biologis, namun memenuhinya kebutuhan bukan berarti tujuan akhir hidup manusia. Karenanya kita harus meletakkan kebutuhan dalam kemampuan mental dan fisik dengan merubahnya menjadi kebutuhan akan menyembah Allah yang menciptakan kita. Inilah konsep pertama ekonomi islam.
Konsep kedua yaitu, beriman kepada Allah, sebagi muslim kita tidak bisa mentolerir politeisme sedikitpun. Tujuan setiap perbuatan yang bertentangan dengan keimanan terhadap keesaan Allah tidak ada kaitannya dengan islam. Karena dapat merusak dasar-dasar dan sandi islam. Berarti hanya ada dua alternative, monotoisme murni atau politeisme mutlak.
Dalam kebebasan berkehendak manusia tidak dapat memilih apapun, tidak ada pilihan ke-3 dalam keadaan apapun bila setan materialisme hendak mengungguli islam dan hendak menjadikannya sebagai sumber kebutuhan dan tolak ukur martabat maka berarti ia telah sama dengan menyekutukan Allah. Hal ini sangat bertentangan dengan prisip islam karena segala pemujaan atau penyembaan kepada selain Allah tidak akan membantu kepada pencapaian hidup. Cara tersebut bahkan sangat menyesatkan dan semakin menjauhkan para pengikutnya dari islam.
Konsep ekonomi islam yang ke-3, dalam situasi apapun aturan islam harus berlaku, ekonomi adalah bagian penting kehidupan manusia dalam segala bidang.
Islam adalah aturan hidup yang paling lengkap, dalam meletakkan dasar-dasar ekonomi islam diperlukan praktek dasar secara bersamaan untuk nmenunjukkan keeksistensi sebagi suatu keadaan yang tidak dapat dihindarkan. Sistem ekonomi islam tidak dapat dilaksanakan secar terpisah, untuk itu masyarakat harus siap menerapkan semua sistem islam lainnya seperti bidang hokum, sosial dan politik dalam waktu yang samatanpa semua itu aturan ekonomi tidak akan stabil dan tidak akan efektif misinya.
Aturan islam jika dilaksanakan diluar masyarakat muslim maka akan sia-sia aturan ekonomi islam secara komprehensif berbeda dengan aturan lainnya. Islam tidak pernah membolehkan ummatnya menjadi budak nafsu dan ambisi. Selain aturan ekonomi yang utama islam juga melatih orang agar martabatnya meningkat kepada derajat kemanusiaan yang lebih tinggi, islam menyeimbangkan hubungan antara seorang dengan penciptanya, walaupun kaum materialis mempunyai harta dan kekayaan tapi ia tidak mampu mencapai martabat yang mulia dan lebih tinggi dari Islam. Dilihat dari struktur kalimat, sistim ekonomi Islam terdiri dari tiga suku kata, yakni sistim; ekonomi dan Islam. Dalam Kamus Ilmiaqh Populer (Pius A Partanto dkk: 1994), sistim atau system bararti: metode; cara yang teratur (untuk melakukan sesuatu); susunan cara. Dan Ekonomi artinya: segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya; pengaturan rumah tangga. Islam artinya: damai, tenteram; agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan kitab suci Al-Qur’an. Jadi sistim ekonomi Islam adalah: segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya yang dilakukan dengan cara yang teratur, berdasarkan pandangan Islam. Sistim ekonomi Islam dibangun diatas landasan yang kokoh yang merupakan warisan yang tak ternilai sebagai wasiat utama bagi umat Islam yang tidak mungkin manusia akan tersesat selamanya selama berpegang kepada dua wasiat itu yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Para ulama baik dari kalangan ahli fiqih, ahli hadis, maupun ahli tafsir telah banyak menukilkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang berkenaan dengan prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam. Kesemuanya memberikan gambaran yang utuh tentang otensitas ajaran Islam dalam mengatur berbagai asfek kehidupan termasuk di dalamnya dalam urusan muamalah dalam hal ini tentang urusan ekonomi Islam.

Aspek muamalat dalam hukum Islam termasuk aspek yang luas ruang lingkupnya. Dalam Hal ini M. Quraish Shihab (Pengantar:2002;xx1), mengatakan “Pada dasarnya, pembahasan aspek hukum Islam yang bukan termasuk kategori aspek ibadah seperti shalat, puasa dan haji, bisa disebut sebagai aspek muamalat. Karena itu, masalah perdata, pidana pada umunya dapat digolongkan pada bidang muamalat. Dalam perkembangannya, aspek muamalat dalam hukum Islam, dibagi lagi menjadi: munakahat (perkawinan), jinayah (pidana) dan muamalat dalam arti khusus, yaitu aspek ekonomi dan bisnis dalam Islam. Dengan demikian, pada akhirnya materi fikih muamalat hanya terbatas pada aspek ekonomi dan hubungan kerja (bisnis) yang lazim dilakukan seperti jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.Keterangan diatas mempertegas bahwa aktivitas ekonomi dalam pandangan Islam merupakan salah satu bagian dari mu’amalah. Hal ini dijelaskan oleh Quraish Shihab (1988:408-409), dalam bukunya Wawawasan Al-Qur’an sebagai berikut:“Aktivitas antar manusia  - termasuk aktivitas ekonomi – terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu’amalah (interaksi). Pesaan utama Al-Qur’an dalam mu’amalah keuangan atau aktivitas ekonomi adalah: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau  melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara batil…(QS. Al-Baqarah:188)Perangkat nilai dasar menurut AM. Saefuddin (1984:17-41), adalah “implikasi dari asas filsafat system” yang dijadikan kerangka konstruksi sosial dan tingkah laku sistem, yaitu tentang organisasi pemilikan, pembatasan tingkah laku individual, dan norma tingkah laku para pelaku ekonomi. Sedangkan nilai-nilai instrumental system ekonomi menurut Saefuddin, merupakan fungsionalisasi system yang bersifat strategis dan sangat berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat serta pembangunan ekonomi umumnya, yang meliputi: zakat, Pelarangan riba, Kerjasama ekonmi, Jaminan Sosial, dan Peranan Negara Dalam Sistem Ekonomi. Dalam ajaran Islam semua asfek kehidupan memiliki kedudukan tersendiri yang diatur secara lengkap oleh Al Qur’an dan diterjemahkan secara utuh oleh Hadis Rasulullah yang pada akhirnya direkontruksi menjadi sebuah konsepsi teoritis oleh para fuqoha, para ulama dan ilmuwan Islam yang mampu diaplikasikan dalam kehidupan umat. Ilmu ekonomi Islam juga mendapat

tantangan yang cukup berat dari ilmu ekonomi konvensional. Hal ini terjadi mengingat ilmu ekonomi yang berkembang di

dunia Barat dilandasi dengan kebebasan individu dalam melakukan kontrak dengan syarat tidak merugikan satu sama

lain. Konsep-konsep ekonomi konvensional versi Barat perlu diredefinisi agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan

syari’at Islam. Di antara konsep-konsep tersebut antara lain:

1. Konsep Harta

Masalah yang timbul dalam konsep harta adalah bahwa ilmu ekonomi konvensional tidak mengenal adanya nilai dalam

pemilikan harta. Sejauh dapat menimbulkan nilai ekonomis, segala sesuatu dapat diakui sebagai harta. Tidak heran bila

barang-barang haram seperti minuman keras dan daging babi termasuk property yang sah untuk dijadikan sebagai salah

satu komoditi bisnis .

2. Konsep Uang

Pembahasan dalam fiqh mu’amalat mengasumsikan bahwa uang yang digunakan masyarakat adalah uang riil

(real money) yaitu emas dan perak. Padahal sejak jaman penjajahan, uang emas dan perak tidak lagi digunakan

sebagai alat tukar. Sebagai gantinya uang kertas menjadi alat tukar yang berlaku di tengah masyarakat. Para ulama

berbeda pendapat tentang hukum uang kertas ini. Ada yang menganggap bahwa uang kertas tidak diterima dalam

syariah karena bukan harta riil dan ada pula yang dapat menerimanya .

3. Konsep Bunga dan Riba

Dalam ilmu ekonomi, bunga merupakan asumsi yang tidak lagi menjadi bahan perdebatan meskipun sampai saat ini

para ekonom masih sulit mencari justifikasi terhadapnya. Dalam ilmu fiqh mu’amalat istilah ini tidak dikenal

meskipun pembahasan tentang hukum riba boleh dikatakan telah selesai dan para ulama sepakat mengharamkannya .

Dengan konsep uang kertas (abstract money), konsep bunga dan riba menjadi pembahasan yang bekelanjutan.

4. Konsep Time Value of Money

Sebagian besar teori tentang menajemen keuangan dibangun berdasarkan konsep nilai dan waktu dari uang yang

mengasumsikan bahwa nilai uang sekarang relatif lebih besar ketimbang di masa yang akan datang. Sedangkan di sisi

lain, tidak didapati penjelasannya dalam fiqh mu’amalat meskipun perdebatan tentangn jual beli tangguh

(ba’i mu’ajjal) termasuk diskusi yang tidak sedikit di antara para ulama .

5. Konsep Modal

Modal dalam pengertian ilmu ekonomi adalah segala benda, baik yang fisik maupun yang abstarak, yang memiliki nilai

ekonomis dan produktif. Termasuk dalam pengertian ini adalah uang dan intellectual property right. Dalam fiqh

mu’amalat klasik, pengertian modal terbatas pada benda fisik. Uang hanya dapat berperan sebagai alat tukar.

Apabila ia ingin menjadi modal yang digunakan untuk memperoleh keuntungan ia harus terlebih dahulu diubah ke dalam

bentuk fisik .

6. Konsep Lembaga

Ilmu ekonomi tidak mempersoalkan adanya individual entity atau abstract entity. Berbeda halnya dengan fiqh

mu’amalat yang objeknya kepada mukallaf secara individual. Hal ini akan membawa dampak bagi analisa tentang

kepemilikan dan hubungannnya dengan kepemilikan .

Problem epistemologis ilmu ekonomi Islam dan tantangan yang diberikan oleh ilmu ekonomi konvensional yang

disebutkan di atas dapat berimplikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada out put yang dihasilkan oleh

jurusan ekonomi Islam. Fiqh mu’amalat yang diajarkan di jurusan ekonomi Islam tidak mampu untuk

menghasilkan para sarjana muslim yang diterima oleh dunia kerja. Alasannya adalah bahwa skill dan penguasaan

terhadap ekonomi real lebih dibutuhkan sektor industri dan dunia kerja dibandingkan dengan keahlian dalam masalah istimbath al-ahkam

 

7. Ekonomi islam,  sistem perekonomian, membantu manusia untuk menyembah Tuhannya yang telah memberi rezki, dan untuk menyelamatkan manusia dari kemiskinan yang bisa mengkafirkan dan kelaparan yang bis mendatangkan dosa. Oleh karena itu, rumusan sistem islam berbeda sama sekali dari sistem-sistem yang lain nya. Sebagai sistem ekonomi, ia memiliki akar dalam syari’ah yang menjadi sumber pandangan dunia, sekaligus tujuan dan strateginya (Zainul Bahar, 1999; Qardhawi, 1997:72). Oleh karena itu, semua aktifitas ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi, perdagangan, tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir kepada Tuhan. Kalau seorang muslim bekerja di bidang produksi, maka pekerjaan itu dilakukan  tidak lain karena ingin memenuhi perintah Allah (Q. S al-mulk (67):15). Ketika menanam, membajak, atau melakukan pekerjaan lainnya, seorang muslim merasa bahwa ia bekerja dalam rangka beribadah kepada Allah. Makin tekun ia bekerja, makin takwa ia kepada Allah. Bertambah rapi pekerjaannya, bertambah dekat kepada Allah, tertanam dalam hati nya bahwa semua itu adalah rezki dari Allah, maka patutlah bersyukur (Q.S al baqoroh (2) : 172).